*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
Akhirnya sekitar lebih dua puluh prajurit berkuda yang dipimpin oleh Genggam Sekam dan Sumirah, tiba di titik berkumpulnya pasukan pimpinan Adipati Lalang Lengir.
Pertemuan gelap-gelapan antapemimpin pasukan pun terjadi. Namun, pertemuan dalam gelap itu tidak ada modus sedikit pun. Sumirah yang punya hubungan khusus dengan Genggam Sekam pun tidak mau usil mencuri kesempatan di dalam gelap. Maklum, Sumirah memiliki tipikal berani terhadap lelaki untuk urusan ser-seran.
“Kami semua akan menyamar sebagai pasukan Jintamani yang kalah dan minta masuk ke dalam benteng,” ujar Genggam Sekam menyampaikan rencananya. “Alangkah baiknya jika separuh dari pasukan Perguruan Pisau Merah ikut menyamar dan menyusup masuk.”
“Baik, kita dapat banyak kuda dan punya banyak seragam mayat prajurit Jintamani. Dua puluh murid Pisau Merah akan bergabung menyamar,” kata Adipaksa, murid utama Perguruan Pisau Merah yang memimpin pasukan perguruan.
Jadi, dengan bergabungnya dua puluh prajurit Perguruan Pisau Merah yang kemudian menyamar sebagai prajurit Jintamani, maka ada lebih dari 40 prajurit berkuda yang dipimpin oleh Genggam Sekam.
Sebagai tanda bahwa mereka adalah pasukan berkuda Kerajaan Jintamani, salah satu prajurit membawa panji pasukan yang sebelumnya Genggam Sekam pungut di titik penyergapan pertama.
Pasukan berkuda itupun menyiapkan diri di dalam kegelapan. Beberapa prajurit ada yang memakai baju terbalik karena tidak jelas mana bagian depan dan mana bagian bawah. Namun, itu tidak jadi masalah, asal jangan salah pasang celana.
Sementara itu bagi Sumirah, karena dia wanita sendiri, jadi dia harus menutupi kewanitaannya demi kelancaran pasukan penyamaran itu. Maksudnya menutupi wajah dan kepalanya serta menyamarkan sembulan dua gunungnya.
“Pasukan, siaaap?” teriak Genggam Sekam bertanya.
“Siaaap!” jawab puluhan prajurit yang sudah siap di kudanya masing-masing.
Suara teriakan mereka tidak akan sampai ke pendengaran prajurit di atas benteng timur Ibu Kota karena jarak yang jauh.
“Majuuu!” teriak Genggam Sekam.
“Heah heah heah!”
Pasukan itupun menggebah kuda-kudanya dengan keras. Mereka pun berlari kencang di jalan gelap yang sudah dirapikan dan sudah tidak ada batang pohon yang melintang lagi. Mereka tetap tidak membawa obor penerang.
Sementara itu di depan sana, lautan api sudah mengecil. Meski masih menyala, tetapi diduga kuat bisa dilompati dan diterabas oleh para kuda.
“Musang Kurap!” panggil Delik Aduan kepada Gawe Isang. Mereka berdua menjadi operator pelontar gentong minyak di atas benteng pada malam itu.
“Ada apa, Musang Mendoan?” tanya Gawe Isang dengan lirikan yang sinis.
“Aku sayup-sayup mendengar suara lari pasukan berkuda,” kata Delik Aduan.
“Ah, kau mengigau,” kata Gawe Isang tanpa serius menanggapi.
“Ada pasukan kuda yang datang!” teriak Banding Undak yang berposisi di mesin panah belalang. Dia dengan serius menunjuk ke depan jauh.
Semua prajurit di atas benteng segera dengan serius memandang jauh ke depan, ke dalam kegelapan yang ada di seberang lautan api.
Panglima Galagap yang baru mulai makan bubur kacang merah hangatnya yang kedua, jadi terdiam dengan posisi sendok sudah di depan mulut yang menganga. Telinganya yang lebih tajam pendengarannya dibandingkan para prajurit biasa, telah mendengar jelas suara lari pasukan berkuda.
“Jangan ada yang mencuri buburku!” teriak Panglima Galagap sambil cepat berlari menuju tangga.
Di tangga, panglima yang urusan buburnya belum kelar-kelar itu, melakukan dua lompatan saja untuk sampai ke atas benteng.
“Gusti Panglima, ada pasukan berkuda!” lapor Pajrit Kerismon.
“Aku sudah lihat,” kata Panglima Galagap.
Memang, pasukan berkuda pimpinan Genggam Sekam sudah muncul dari dalam kegelapan dan mendekati pagar api.
Semakin dekat kepada api, maka penampakan pasukan berkuda itu semakin terlihat. Model dan warna seragam sudah menunjukkan identitas pasukan itu, terlebih salah satu prajurit terdepan membawa panji yang dikenali.
“Buka pintu gerbaaang!” teriak Genggam Sekam sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu gerbang benteng.
Meski suara Genggam Sekam belum sampai ke telinga Panglima Galagap, tetapi sang panglima sudah mengerti maksudnya. Namun, sang panglima tidak langsung merespon.
Cahaya api tidaklah seterang cahaya matahari, jadi cahaya api di malam itu tidak bisa memberi gambaran secara terang benderang para penunggang kuda tersebut, terlebih Genggam Sekam menyembunyikan tongkat besinya di badan kuda.
“Gusti Panglima, mereka dikejar musuh!” teriak Pajrit Kerismon.
“Iya, aku juga lihat!” sahut Panglima Galagap.
Memang, Panglima Galagap dan pasukannya cukup dibuat terkejut, ketika melihat kemunculan lebih seratus prajurit yang berlari keluar dari kegelapan di belakang pasukan berkuda. Terkesan bahwa pasukan pelari itu sedang mengejar pasukan berkuda.
Pasukan berkuda sudah melompati pagar api dengan mudah.
“Buka pintu gerbaaang!” teriak Genggam Sekam lagi sambil memandang ke atas benteng dan menunjuk pintu gerbang yang tertutup rapat.
Kali ini, Panglima Galagap dan pasukannya sudah bisa mendengar teriakan Genggam Sekam.
“Buka pintu gerbang! Panah belalang, bidik pasukan musuh!” perintah Panglima Galagap kepada pasukannya.
“Buka pintu gerbang! Pasukan berkuda ingin masuuuk!” teriak Pajrit Kerismon kepada Para prajurit yang bertugas di balik pintu gerbang.
Pasukan Genggam Sekam yang sudah melewati pagar api, terus melaju kencang menuju gerbang benteng.
Sementara itu, seratus pasukan berseragam prajurit kadipaten yang mengejar pasukan berkuda terpaksa berhenti di depan pagar api, karena mereka tidak bisa melompati api yang masih setinggi dada orang berdiri.
“Panah!” perintah Adipati Panji Gumo yang memimpin pasukan pelari yang pura-pura mengejar.
Puluhan prajurit yang berhenti di depan api segera memasang pose memanah. Mereka membidik ke arah pasukan berkuda yang mereka kejar.
Set set set ...!
Puluhan anak panah dilepas melambung ke udara tinggi. Padahal sebenarnya mereka asal memanah karena hanya pura-pura, demi keberhasilan drama pasukan berkuda. Maka pastinyaa tidak ada satu pun anak panah yang mengenai prajurit berkuda ataupun kudanya.
“Panaaah!” perintah Panglima Galagap kepada operator mesin panah belalang.
Set set set ...!
“Munduuur!” teriak Adipati Panji Gumo saat melihat ada serangan panah dari atas benteng.
Buru-buru pasukan Adipati Panji Gumo berbalik dan berlari menjauhi pagar api.
“Aaak!” jerit seorang prajurit yang telat mundur.
Satu dari hujan panah itu mengenai paha kiri si prajurit, sementara puluhan panah yang lain menancap di tanah sekitarnya.
Melihat ada rekannya yang terluka, dua orang prajurit kadipaten segera berbalik menjemput prajurit yang terpanah lalu memapahnya untuk mundur, sebelum datang lagi hujan panah dari atas benteng.
“Buka pintu gerbaaang!” Genggam Sekam masih berteriak sambil mendekati pintu gerbang yang mulai dibuka bersama pasukan.
Di bawah penerangan obor-obor dari atas benteng, Panglima Galagap mencoba memerhatikan para prajurit berkuda itu dengan seksama. Meski tidak begitu jelas, Panglima Galagap yakin bahwa dia tidak mengenal wajah penunggang yang memimpin pasukan itu. Namun, itu bukan ukuran untuk curiga. Sebab, dia tentunya tidak mungkin harus mengenal semua wajah prajurit Kerajaan Jintamani, apalagi beda divisi.
Gerbang pintu benteng timur pun akhirnya terbuka lebar. Pasukan berkuda pimpinan Genggam Sekam masuk dengan leluasa melewati pintu gerbang dan Panglima Galagap sendiri tidak curiga.
Genggam Sekam terus membawa pasukannya masuk ke Ibu Kota dan meninggalkan area benteng. Dia tidak mau langsung membongkar penyamaran dan berurusan dengan pasukan penjaga benteng. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
𝑘𝑎𝑢 𝑏𝑒𝑛𝑒𝑟 𝐷𝑒𝑙𝑖𝑘.... 𝑘𝑒𝑙𝑒𝑛 𝑚𝑎𝑢 𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑖𝑡𝑢 🚶♀️🚶♀️🚶♀️
2023-09-13
1
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ 𝑑𝑔𝑛 𝑠𝑡𝑟𝑎𝑡𝑒𝑔𝑖𝑠 😶😶
2023-09-13
1
Senajudifa
what?? musang kurap??😁😁
2023-07-24
1