*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
“Kau dari pasukan kadipaten yang dipimpin oleh Pendekar Genggam Sekam?” tanya Adipati Lalang Lengir kepada prajurit utusan.
“Benar, Gusti Adipati,” jawab si prajurit lalu menyodorkan sebuah tusuk rambut bagus. “Pendekar Genggam Sekam memberikan ini.”
Adipati Lalang Lengir jadi percaya mutlak setelah menerima tusuk rambut milik Ratu Warna Mekararum.
“Di mana pasukan kalian?” tanya Adipati Lalang Lengir.
“Di balik bukit itu!” tunjuk si prajurit ke arah bukit yang masih terlihat di kala petang itu.
“Pasukan kadipaten mana saja yang bergabung?”
“Kadipaten Blekuk, Kadipaten Pitikilang, dan Putulowa.”
“Jadi pasukan kalian akan menyergap pasukan berkuda yang menuju ke sini?” tanya Adipati cantik itu lagi.
“Benar, Gusti.”
“Kembalilah, pesanmu sudah aku terima!”
“Baik, Gusti.”
Setelah itu, sang prajurit menghormat dan berbalik pergi menuju ke kudanya.
Sementara Adipati Lalang Lengir segera mengumpulkan semua pemimpin pasukan.
“Dari Alas Tiga Air ada ratusan pasukan berkuda Jintamani yang pulang ke mari. Pendekar Tongkat Berat bersama pasukan tiga kadipaten lain akan menyergap pasukan itu di balik bukit sana.”
Adipati Lalang Lengir menunjuk ke arah bukit yang hampir tidak terlihat oleh kegelapan malam.
“Bisa saja pasukan berkuda itu lolos dari penyergapan dan sampai ke sini. Segera atur pasukan untuk hilang dari jalanan. Kita siapkan penyergapan susulan!”
“Baik,” jawab semua adipati.
Sementera itu, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Panglima Gigir Sluduk berlari santai saja, padahal malam sudah tiba. Sebagian prajurit berkuda itu membawa obor.
Awalnya ketika meninggalkan lembah di utara Alas Tiga Air, pasukan berkuda itu berlari kencang. Namun, tidak lama setelah meninggalkan lembah, Panglima Gigir Sluduk memerintahkan pasukannya berlari santai saja.
“Panglima, apakah tidak sebaiknya kita bergegas?” tanya kepala prajurit yang mendampingi Panglima, namanya Pajrit Bling Joko.
“Untuk apa bergegas? Aku sedang memikirkan jawaban jika Gusti Senopati bertanya kenapa hanya kita yang pulang. Jika aku menjawab bahwa pasukan kita yang lima ribu itu habis dibunuh oleh satu orang pendekar, wanita, masih belia, apakah itu masuk akal?” kata Panglima Gigir Sluduk.
“Iya, Gusti. Tapi, bagaimana jika ada pasukan musuh di depan sana? Bukankah pemberontak yang mengaku Ratu Tua itu akan menyerang kita?” kata Pajrit Bling Joko.
“Tidak ada pasukan musuh. Tadi pagi kita berangkat dan di hari yang sama kita kembali. Jika ada pasukan musuh, pasti kita sudah bertemu di jalan. Itu namanya strategi kipas sate, musuh yang tidak punya pasukan hanya mengembuskan kabar-kabar ancaman, tetapi faktanya hanya beberapa orang pendekar saja pemberontak itu. Tujuannya hanya untuk membuat Istana tidak tenang dan merasa terancam,” kata Panglima Gigir Sluduk.
Set! Ceb!
“Akk!” jerit Pajrit Bling Joko ketika tahu-tahu di lehernya telah menancap sebatang anak panah.
Hal itu sangat mengejutkan Panglima Gigir Sluduk. Belum lagi dia berteriak memberi komando kepada pasukannya ....
Ceb ceb ceb ...!
“Akk! Akh! Akk ...!”
Sudah terdengar suara jeritan prajurit yang bersusul-susulan, seiring berjatuhannya para prajurit berkuda dan obor-obornya.
Serangan panah yang berdatangan dari dua arah yang berseberang nyaris tidak terlihat di dalam kegelapan.
“Lari yang kencaaang! Hea hea!” teriak Panglima Gigir Sluduk.
“Hea hea!” teriak para prajurit berkuda yang panik agar kudanya berlari cepat meninggalkan jalan di kaki bukit itu.
Ceb ceb ceb ...!
“Akh! Akk! Akh ...!
Setelah serangan panah gelombang pertama, kembali datang gelombang serangan panah kedua. Semakin banyak prajurit yang berjatuhan dari punggung kudanya ketika tubuh mereka mendapat souvenir anak panah.
Wut wut wut ...!
Di antara kebisingan kematian itu, tiba-tiba terdengar jelas suara gesekan putaran benda dengan udara. Itu membuat Panglima Gigir Sluduk tegang dalam laju berkudanya.
Dlak! Blugk!
“Ukh!” keluh Panglima Gigir Sluduk ketika dia jatuh tersungkur bersama kudanya di tanah jalanan.
Itu terjadi setelah di dalam gelap ada benda yang terbang rendah, berputar-putar dan menghantam kaki depan kuda sang panglima. Benda yang adalah sebatang tongkat besi itu mematahkan tulang kuat kedua kaki depan kuda.
Bdak!
“Akkh!” pekik Panglima Gigir Sluduk saat dia bangkit jutru diseruduk kuda pasukannya sendiri.
Panglima Gigir Sluduk yang kelimpungan karena tidak tahu arah lagi, tetap berusaha bangkit di dalam gelap.
“Fukr!” Panglima Gigir Sluduk menyemburkan darah dari dalam mulutnya.
Ceb!
“Aakh!” jerit sang panglima untuk terakhir kalinya saat lehernya tertancap tembus sebatang anak panah. Entah panah siapa yang telah memberinya tanda kematian.
Sementara itu, dari ratusan prajurit berkuda, kira-kira separuh dari jumlah berhasil lolos meninggalkan jalan kematian itu.
Kira-kira seratus lima puluh satu prajurit berkuda berhasil lolos meninggalkan jalan itu.
“Seraaang!” teriak Adipati Argopuro lebih dulu kepada pasukannya.
“Seraaang!” teriak ratusan prajurit yang langsung bermunculan dari sisi kanan jalan dan menyerang para prajurit yang belum mati dengan satu panah, tetapi tertinggal oleh kuda-kudanya.
“Aak! Akk! Akk ...!” jerit para prajurit yang sudah menderita luka panah, ketika pedang dan tombak menusuki tubuh mereka memberi kematian.
Rupanya ada juga para prajurit kadipaten yang keluar untuk menangkapi kuda-kuda yang tanpa penunggang.
Hingga akhirnya, insiden di jalan kaki bukit itu selesai yang menewaskan banyak prajurit dan lebih dua puluh kuda berhasil ditangkap. Beberapa obor dinyalakan untuk melihat jelas situasinya.
“Gusti Adipati, perintahkan prajurit yang handal untuk menukar pakaian prajuritnya dengan pakaian prajurit Jintamani sesuai jumlah kuda yang kita dapat. Aku akan membawa pasukan menyusup ke dalam Ibu Kota,” kata Genggam Sekam kepada ketiga adipati yang sudah keluar dari tempat pengintaian.
Setelah memungut kembali tongkat besinya, Genggam Sekam meraih satu mayat prajurit Jintamani lalu mulai melucuti pakaiannya.
Sementara itu di benteng timur Ibu Kota.
“Panglima! Ada cahaya obor di kejauhan!” teriak seorang prajurit di atas benteng kepada Panglima Galagap yang sedang makan bubur kacang merah hangat di bawah.
“Jangan ada yang mengambil buburku!” pesan Panglima Galagap kepada pajrit teman makannya.
Panglima Galagap lalu berjalan pergi menuju tangga untuk naik ke atas benteng.
Setibanya di atas, dia dan para prajurit melihat jauh ke depan benteng di mana kegelapan yang ada. Di jarak yang jauh, mereka melihat beberapa titik api yang bergerak pelan. Kegelapan dan jarak yang jauh membuat sang panglima dan orang-orangnya tidak bisa melihat apa-apa kecuali beberapa titik api.
Namun kemudian, mereka hanya melihat titik-titik api itu padam semua.
Sebenarnya yang terjadi di tempat yang nun jauh di depan adalah sisa pasukan berkuda, yang berhasil lolos dari penyergapan di kaki bukit harus berhenti semua. Pada satu titik, di jalan yang diapit oleh dua tanah tinggi, pasukan berkuda yang beberapa prajurit membawa obor dihadang oleh tumpukan dua tumbangan batang pohon.
Jalan yang ditutup itu seketika menjadi firasat buruk bagi para prajurit berkuda.
“Panah!” tiba-tiba terdengar satu komando suara wanita yang lantang.
Ceb ceb ceb ...!
“Akk! Ak! Akh ...!”
Maka para prajurit itu berjeritan ketika mereka mendapat serangan panah seperti sebelumnya. Keberadaan dua batang pohon yang menutup jalan membuat mereka tidak bisa maju. Kondisi mereka yang tidak bisa melihat musuh karena gelap, hanya bisa mendengar, membuat mereka kocar-kacir, tidak bisa melawan dan hanya menjadi mangsa yang empuk. Panah-panah yang tidak bisa mereka lihat tahu-tahu sudah menancap di tubuh-tubuh mereka.
Kuda-kuda pun menjadi kacau dan bingung harus lari ke mana, kecuali lari berbalik arah tanpa membawa tuannya lagi.
Posisi penyergapan yang jauh dari benteng membuat Panglima Galagap dan pasukannya tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam kegelapan di sana, bahkan suara jerit kematian para prajurit berkuda itu tidak terdengar sedikit pun.
Memang, Adipati Lalang Lengir telah memerintahkan pasukannya mundur lebih jauh dari benteng dengan cara bergerak tanpa penerangan api. Hal itu membuat mereka seolah-olah telah mundur dan sudah tidak ada di posisinya yang semula, di mana hingga sore sebeumnya mereka masih terpantau bersiaga menghadap ke arah benteng.
Dengan demikian, maka habislah pasukan berkuda Kerajaan Jintamani. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
serasa kea leher aku juga kena tancap anak panahnya, 😭😭 reflek menjerit megang leher...
keren lah kak thor,, pendeskrian kejadiannya bner2 ngenda bgt feelnya ke pembaca 👏👏👏👏
2023-09-10
1
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
wah lgsung di sergap 👀👀
2023-09-10
1
Senajudifa
bagus kuda tinggalin aj tuanmu yg ngga guna itu😁😁
2023-07-22
1