*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
Piuk piuk piuk …!
Prajurit yang bernama Gawe Isang itu meniup-niup helaian daun yang sengaja dia bawa satu ranting ke atas benteng.
“Hei, Musang Kurap!” teriak prajurit penjaga pintu gerbang Ibu Kota yang bernama Delik Aduan sambil mendongak full kepada rekannya sesama prajurit benteng. Sepertinya dia tidak hafal nama rekannya itu.
Gawe Isang jadi menghentikan tiupan daunnya dan merunduk ke bawah dengan wajah bertanya.
“Ada apa, Musang Mendoan?” tanya Gawe Isang dengan balas menggelari rekan beda posisi itu.
“Kau jangan bermain daun seperti itu, nanti disangka ada musuh yang bermain sandi!” hardik Delik Aduan.
“Aaaah! Mana ada musuh yang bisa bermain daun sepertiku!” bantah Gawe Isang lalu menarik kembali wajahnya ke atas.
Piuk piuk piuk …!
Gawe Isang yang berada di atas dinding benteng bersama beberapa rekannya itu, kembali bermain tiup daun.
“Dasar kepala kayu! Di dengar Panglima Galagap baru tahu rasa dia!” gerutu Delik Aduan kepada beberapa rekannya yang berjaga di gerbang benteng timur Ibu Kota.
“Sudah, biarkan saja. Dia hanya mau pamer kehebatan meniup daun, tapi apa yang bisa dibanggakan dengan pintar meniup daun. Hahaha!” kata rekan Delik Aduan yang bernama Banding Undak.
“Hahaha!” tawa Delik Aduan.
“Yang perlu dibanggakan adalah keahlian memainkan tombak seperti aku ini,” kata Banding Undak sambil memutar-mutar batang tombaknya dengan satu tangan saja seperti baling-baling bukan bambu.
“Kau benar, Banding. Pandai meniup daun tidak akan bisa menyelamatkan nyawa dan tidak akan memikat putri Panglima! Hahaha!” kata Delik Aduan sengaja dikeraskan, agar orang yang disindir mendengar.
Delik Aduan dan Banding Undak lalu tertawa bersama rekan-rekannya di bawah.
Gawe Isang yang mendengar itu hanya mendengus kesal sambil memoncongkan bibir seksinya.
Namun, tiba-tiba Gawe Isang terkejut ketika melihat jauh ke depan.
“Ada pasukan musuh dataaang! Ada pasukan musuh dataaang!” teriak Gawe Isang keras dengan wajah tegang. Ia bahkan berteriak kepada rekan-rekannya yang berjaga di bawah.
“Alah, dia mencoba mengerjai kita,” kata Delik Aduan dengan bibir mencibir tidak percaya.
“Lawakan tidak laku! Hahaha!” kata Banding Undak pula lalu tertawa beramai-ramai.
Namun, berbeda dengan sesama prajurit yang berjaga di atas benteng. Mendengar teriakan Gawe Isang itu, mereka juga memandang ke arah depan jauh. Dan hasilnya, mereka terkejut.
Dari balik ketinggian kontur tanah bermunculan sejumlah panji-panji seiring munculnya barisan kepala manusia yang berjejer melebar ke samping. Bukan hanya satu saf, tetapi beberapa saf. Meski jumlahnya tidak sebanyak pasukan Kerajaan Jintamani yang pergi di hari itu juga, tetapi itu jumlah yang cukup besar untuk menyerang benteng Ibu Kota.
Tidak berapa lama, semakin jelas bahwa pasukan itu berseragam prajurit hijau-hitam. Sebagian lagi berseragam serba merah. Bisa ditaksir jumlah pasukan itu sekitar dua ribu kekuatan.
Jika dihitung-hitung, ada satu bendera besar pasukan dan tujuh panji berbeda warna. Bendera pasukan berwarna dasar merah dengan gambar matahari bersinar warna ungu, berbeda dengan warna matahari Kerajaan Jintamani yang berwarna putih.
“Matahari berwarna ungu ini akan mengingatkan bahwa aku, Ratu Warna Mekararum, pernah hidup bertahun-tahun lamanya dalam siksaan racun ganas!” seru Ratu Warna Mekararum kepada para adipati setianya ketika memutuskan untuk memiliki bendera pasukan.
“Ada pasukan musuh datang! Ada pasukan musuh datang!” teriak para prajurit di atas benteng bersahut-sahutan memberi tahu rekan-rekannya.
Delik Aduan dan Banding Undak bersama rekan-rekannya di bawah jadi bengong mendengar kepanikan di atas.
“Cepat tutup gerbang!” teriak prajurit di atas kepada mereka yang di bawah.
Kooong …! Kooong …!
Terompet tanduk domba yang melingkar ditiup panjang dengan nada khusus yang memberi tahu bagi mereka yang mengerti bahwa ada musuh datang menyerang.
“Ayo cepat tutup gerbangnya!” teriak Delik Aduan menjadi panik duluan di antara prajurit penjaga pintu gerbang benteng Ibu Kota.
Delik Aduan dan Banding Undak segera masuk bersama rekan lainnya. Mereka segera menutup pintu gerbang dan menguncinya.
Tiupan terompet yang memberi tanda bahwa ada pasukan musuh datang menyerang, membuat para pemimpin prajurit di dalam Ibu Kota segera memobilisasi regunya masing-masing dan pergi menuju ke benteng Ibu Kota,
Tong tong tong …!
Di dalam Ibu Kota pun ramai dipukul kentongan bambu yang memberi peringatan tentang potensi terjadinya perang.
Warga Ibu Kota berubah panik dan memilih pulang berkumpul di rumah masing-masing. Mereka harus meng-cancel aktivitas di luar rumah untuk saat itu. Apalagi pergerakan Pasukan Keamanan Ibu Kota terlihat ramai menuju ke arah benteng timur.
Panglima Galagap yang baru saja disuguhkan kopi panasnya di kedai teh, langsung menyeruput air hitamnya yang masih berasap sampai habis. Untung dia tidak memesan mie rebus duo pula, sehingga tidak perlu menyeruput lebih banyak air panas.
“Mak Cantial, tolong catat ke dalam tagihan bulananku!” teriak Panglima Galagap sambil bangkit dan meraih pedang bersarungnya yang tergeletak di sisinya.
“Bagaimana jika kau mati dalam perang, Gusti Panglima?” tanya Mak Cantial, wanita separuh baya lebih tujuh tahun yang rambutnya cepat memutih.
“Cari mayatku dan ambil baju perangku untuk kau jual,” jawab Panglima Galagap sambil berjalan ke luar kedai.
Seorang prajurit datang berlari mendekatinya ketika dia justru mendekati kudanya.
“Gusti Panglima, ada pasukan musuh datang mendekat!” lapor prajurit itu sambil menjura hormat.
“Aku sudah tahu. Kembalilah ke posisimu!” perintah Panglima Galagap.
“Baik, Gusti Panglima!”
Panglima Galagap lalu naik ke atas punggung kudanya. Ia kemudian menggebah kudanya menuju ke benteng Ibu Kota.
Di sana, telah berkumpul pasukan Ibu Kota yang jumlahnya hanya kisaran seribu personel. Sebagian besar pasukan itu berkumpul di bawah. Sementara yang ada di atas benteng adalah pasukan panah.
Ternyata, di atas benteng ada tiga alat pelontar kayu yang besarnya tidak begitu besar di banding alat pelontar batu yang biasa dibawa ke medan perang. Selain itu, ada drum-drum kayu kecil sebesar satu pelukan istri bertubuh langsing. Drum-drum itu diangkut dari bawah lewat tangga batu di sisi dalam benteng.
Di atas benteng juga kini dinyalakan api di wadah batu. Ada tiga wadah batu yang besar.
“Gusti Panglima! Gusti Panglima!” sebut para prajurit sambil menghormat kepada Panglima Galagap yang berjalan berlalu di atas benteng.
Dengan busungan dada besarnya, besar untuk kategori lelaki, Panglima Galagap memandang jauh ke depan.
Jauh di depan sana, telah tergelar pasukan yang sudah berhenti maju. Posisinya berada di luar jangkauan lesatan anak panah.
Pasukan itu terbagi dalam tujuh kelompok pasukan sesuai dengan jumlah panji. Setiap pemimpin kelompok pasukan menunggang kuda paling depan. Para pemimpin pasukan itu adalah para adipati enam kadipaten dan seorang murid senior Perguruan Pisau Merah.
Secara keseluruhan, pasukan itu dipimpin oleh seorang adipati perempuan yang bernama Adipati Lalang Lengir, Adipati Kadipaten Sorangan dengan panji berwarna hitam.
Adapun yang lainnya adalah Adipati Garongjaga dari Kadipaten Rangkas Kelud berpanji warna cokelat, Adipati Butak Jelaga dari Kadipaten Duno berpanji putih, Adipati Kendrang dari Kadipaten Bentangan dengan panji biru, Adipati Panji Gumo dari Kadipaten Bukit Aren berpanji hijau, Plt. Adipati Kadipaten Pagamuyung yang bernama Danggar Bojo dengan panji kuning, dan pendekar yang bernama Adipaksa yang berstatus murid utama Perguruan Pisau Merah dengan panji merah. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Barokah 99ˢ⍣⃟ₛ
iya, nih mana ada sih musuh ngecoh memakai daun. mungkin dia hanya ingin bermain saja
2024-04-24
0
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
wkwkwk baru tau ada kepala kayu, taunya kepala batu🤣
2023-08-20
2
Soni
kalo Om Rudi gimana, baju apa yang bisa dijual untuk bayar hutang? he.... ✌️
2023-05-18
1