*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
“Apa yang kau dapat, Sudigatra?” tanya Ratu Warna Mekararum dengan berbisik.
“Aku melihat ada ruangan besar dan megah. Di sana ada banyak prajurit yang berdiri diam berjaga,” jawab Sudigatra.
“Itu adalah ruangan di Istana Keprabuan. Pada temboknya ada beberapa pintu rahasia. Jika ada banyak prajurit, berarti Senopati Gending Suro sudah memikirkan tentang kemungkinan adanya penyusup lewat jalan rahasia,” kata Ratu Tua, masih dalam mode berbisik.
“Hahaha!”
Tiba-tiba mereka semua mendengar suara tawa beberapa orang, tapi terdengar jauh.
“Matikan obor!” teriak sang ratu cepat kepada personel pemegang obor, tapi suaranya ditekan rendah.
Beberapa personel yang memegang obor segera memadamkan obor mereka. Seketika lorong dan titik simpang lima itu berubah gelap gulita.
“Hahaha!”
Kembali terdengar suara tawa beberapa suara lelaki, tapi kini lebih keras yang menandakan bahwa orang-orang pemilik tawa itu semakin dekat. Sepertinya mereka akan muncul dari salah satu lorong. Lamat-lamat, terdengar pula mereka berbicara satu sama lain.
“Jika hanya beberapa prajurit, langsung bunuh semua!” bisik sang ratu kepada Sudigatra.
Sudigatra hanya mengangguk dalam gelap.
Agak lama kemudian, semakin jelas obrolan beberapa lelaki yang datang mendekat dari salah satu lorong. Secara perlahan muncul bias cahaya.
“Aku yakin, pasukan kadiapaten itu hanya dikorbankan. Dengan jumlah sebanyak itu, mereka bisa apa menghadapi benteng!” kata salah satu lelaki dengan nada sesumbar.
“Hahaha! Nah itu dia yang aku maksud. Itu strategi perang yang konyol!” kata lelaki kedua sambil tertawa, seolah-olah dia pakar perang.
“Pemberontak itu memakai nama Gusti Ratu Tua, padahal Gusti Ratu Tua sudah mati dan menjadi dedemit di tengah laut. Hahaha!” kata lelaki ketiga.
“Hahaha!” tawa mereka.
Panas telinga Ratu Warna Mekararum mendengar obrolan yang mengejek dirinya dan taktik perangnya.
Suara tawa ketiga orang itu semakin keras terdengar seiring jarak mereka dengan titik pertemuan semakin dekat. Cahaya obor yang mereka bawa kian menerangi persimpangan tersebut.
Sementara itu, pasukan Ratu Tua benar-benar senyap tanpa suara, bahkan mereka pun menjaga suara napas mereka agar sehalus mungkin, jika perlu tidak usah bernapas.
“Di tengah laut itu, pasti Gusti Ratu Tua menjadi idola dedemit-dedemit yang usianya ratusan tahun!” lanjut orang itu agar dia menjadi bintang komedinya.
“Hahahak!” tawa ketiga orang itu semakin bar-bar.
Dan akhirnya, tibalah mereka di persimpangan. Sambil berjalan, mereka menyempatkan diri untuk menengok melihat lorong-lorong lain yang gelap. Ketiganya mengenakan seragam prajurit warna biru gelap dan membawa satu obor.
Tiba-tiba ada tiga sosok bayangan yang berkelebat cepat menyergap ketiga prajurit itu dari dalam lorong tempat pasukan Ratu Tua bersembunyi. Ketiga sosok itu kompak langsung menyambar leher ketiga prajurit dan mencekiknya dengan lengan kanan.
Ketiga prajurit itu ditarik ke belakang sehingga jatuh tanpa bisa melawan. Kemudian ....
Krek krek krek!
Tiga suara tulang patah terdengar jelas ketika para penyergap itu memelintir kepala ketiga prajurit dengan kuat. Ketiga prajurit yang tadi begitu bahagia langsung mati dan tidak merasakan sakit lagi.
“Lucuti pakaiannya dan pakai!” perintah Ratu Tua kepada ketiga murid Perguruan Pisau Merah yang mengeksekusi ketiga prajurit itu.
Setelah mengamankan ketiga mayat prajurit yang dalam kondisi busikit (bugil sisa sedikit) karena pakaian seragamnya dilucuti, Ratu Tua kembali memimpin pergerakan memasuki satu lorong.
Kini di dalam rombongan itu ada tiga personel yang berseragam prajurit Kerajaan Jintamani. Obor pun kembali dinyalakan dalam jumlah yang terbatas.
Setelah berjalan beberapa puluh tombak, mereka berhenti sejenak, karena Ratu Tua yang memimpin berhenti untuk melakukan sesuatu.
Jreg!
Ternyata, di dinding sebelah kiri ada pintu batu rahasia dan tangga yang menurun. Kemudian satu per satu mereka masuk dan turun. Ketika pintu batu itu ditutup kembali, dinding tersebut terlihat natural kembali. Namun, tidak lupa murid perguruan yang ditugaskan tetap membuat tanda.
Setelah turun dari pintu rahasia, ternyata mereka berhenti di sebuah lorong dan berkumpul di sebuah ruangan yang sempit untuk seratus orang, sehingga mereka harus mengurai mundur ke lorong.
Di dalam ruangan itu tidak ada jalan lagi, kecuali sebuah tangga batu yang menuju ke langit-langit, tetapi pada bagian itu, langit-langitnya terbuat dari papan kayu.
“Naik dan buka kuncian pintu papan itu!” perintah Ratu Tua kepada Sudigatra.
Sudigatra hanya mengangguk. Dia segera menaiki anak tangga yang setinggi tiga kali tinggi tubuh mereka.
Ternyata, kunci yang dimiliki oleh langit-langit berbentuk pintu persegi itu model slot. Perlu sedikit usaha untuk membukanya karena faktor karat.
Clek!
Setelah terbuka, papan itu jatuh menggantung pada engselnya. Ternyata, di balik pintu itu masih ada lapisan papan lain.
Ratu Tua menyuruh Sudigatra turun. Giliran Ratu Tua yang naik.
Ratu Warna Mekararum sejenak menempelkan telinganya ke papan itu, sampai lehernya seperti patah. Setelah agak lama menelisik, seolah-olah mencari suara dari alam gaib, Ratu Tua lalu menarik wajahnya kembali tegak.
Tok! Totok! Tototok!
Sang ratu lalu melakukan ketokan pelan yang berpola. Setelah itu, dia terdiam seperti menunggu tanggapan dari balik papan.
Namun, setelah menunggu selama enam puluh cubitan genit, tidak juga terdengar ada tanggapan dari balik papan.
Sebenarnya, suara ketukan tadi terdengar pelan di dalam ruangan yang ada di atas ruang bawah tanah itu. Namun, itu mengejutkan sepasang manusia yang ada dan sedang terdiam di atas.
Ruangan yang ada di atas Ratu dan pasukannya adalah sebuah ruangan besar dan mewah, penuh hiasan ruangan berharga dan beberapa rak kayu besar. Ada beberapa pohon lilin yang menyala, meski saat itu masih sore hari.
Dilihat dari adanya ranjang mewah yang berkelambu kain sutra transparan, bisa disimpulkan bahwa itu adalah sebuah kamar tidur.
Memang seorang lelaki dan seorang wanita yang ada di dalamnya saat itu, memiliki fisik yang bersih, jauh berbeda dari orang kebanyakan yang suka hidup di alam terbuka. Mereka tampan dan cantik di usianya yang separuh baya sedikit lebih dan kurangnya. Model pakaian keduanya yang santai tetap terlihat mewah dan baru dengan perhiasan yang tidak begitu banyak di badan, tetapi bernilai tinggi.
Si lelaki yang rambutnya terurai seperti perempuan, tapi bertelanjang dada, bukan perempuan yang bertelanjang dada, dalam posisi sedang berbaring di atas ranjang. Dia jadi bangun duduk saat mendengar suara ketukan pelan yang bersumber dari bawah ranjangnya. Pria berkumis tipis tapi berjenggot segenggam tangan itu adalah Prabu Marapata, Raja Kerajaan Jintamani.
Sedangkan yang wanita mengenakan pakaian pinjung warna merah sebatas dada atas dengan bahu yang terbuka bebas. Ada dua jenis kalung yang melingkar di leher putihnya. Wanita yang sedang berekspresi sedih itu juga tersentak kecil ketika mendengar suara yang menurutnya aneh, karena di ruangan itu tidak ada lantai atau dinding papan. Wanita bergincu merah itu adalah Permaisuri Palilin, teman hidup sang raja.
Permaisuri Palilin segera mendekati suaminya.
“Suara apa itu, Kanda Prabu?” tanya sang permaisuri dengan tatapan agak takut.
Prabu Marapata hanya menggeleng, pertanda dia pun tidak tahu. Dia kemudian menunjuk lurus ke bawah, ke kasur yang didudukinya. Maksudnya “suaranya dari bawah ranjang.”
Setelah tidak ada tanggapan dari ruang atas, Ratu Warna Mekararum lalu kembali mengetuk.
Tok! Totok! Tototok!
Meski sudah pernah mendengar sebelumnya, tetap saja ketukan kedua itu kembali mengejutkan Prabu Marapata dan istrinya. Kali ini mereka yakin bahwa suara ketukan papan itu bersumber dari lantai tepat di bawah ranjang.
Memang, semua lantai di kamar luas itu dilapisi oleh karpet tebal.
Kali ini Prabu Marapata buru-buru turun dari ranjangnya dan membungkuk. Dia segera mencari sisi ujung karpet yang menutupi lantai di bawah ranjang.
“Angkat kaki ranjangnya!” suruh Prabu Marapata kepada istrinya.
Mendengar ada suara dari ruang atas, Ratu Warna Mekararum segera kembali mengetuk.
Tok! Totok! Tototok!
Ketika Prabu Marapata sudah bisa membongkar karpet di bawah ranjang, mereka melihat ada lantai papan berbentuk persegi di tengah-tengah lantai semen. Papan itu memiliki kunci model slot. Kunci yang posisinya di atas membuat pintu itu tidak bisa dibuka dari bawah.
“Pola ketukan itu sama seperti ketika Ibunda Ratu membangunkan aku sewaktu kecil!” kata Prabu Marapata berbisik, setelah dia teringat cara ibunya mengetuk pintu kamarnya ketika dia di usia kecil.
Terkejutlah Permaisuri Palilin.
“Apakah itu Gusti Ratu Tua?” terka Permaisuri Palilin. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
R. Yani aja
yang ini kunci slotnya karatan nggak?
2024-04-22
1
R. Yani aja
rak kayunya, isinya apa om?
2024-04-22
1
R. Yani aja
otak gue ngeleg. baca "personel pembawa obor" jadi ponsel pembawa obor... lah maksudnya gimana??? 🤣🤣🤣✌✌✌
2024-04-22
1