Alma3 Ratu Siluman
*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
Barisan panjang pasukan berseragam biru gelap keluar mengular dari dalam benteng Ibu Kota Kerajaan Jintamani. Pasukan itu dipimpin oleh para panglima yang duduk gagah di punggung kudanya masing-masing. Para panglima itu bisa dikenali dari model pakaiannya yang berwarna putih dengan asesoris tertentu di kepalanya. Keris yang menjadi salah satu senjatanya juga menunjukkan kedudukan mereka.
Ada ratusan pasukan berkuda, ratusan pasukan pemanah, ribuan pasukan bertombak, ribuan pasukan berpedang, pengangkut barang-barang, pendorong puluhan pedati yang mengangkut mesin-mesin panah, dan pengangkut lainnya.
Langsung sebut saja bahwa jumlah pasukan itu sebesar lima ribu prajurit. Setiap divisi membawa panjinya masing-masing dengan bendera utama berwarna dasar merah bergambar matahari bersinar.
Pasukan berkekuatan lima ribu prajurit itu dipimpin oleh seorang perwira yang bernama Panglima Surap Bentala. Ia membawahi empat panglima lainnya yang masing-masing memimpin pasukan berkuda, pasukan panah, pasukan tombak, dan pasukan pedang.
Jauh dari jalan yang di lalui pasukan Kerajaan Jintamani itu, ada dua orang yang bersembunyi di atas kerimbunan sebatang pohon asam. Sangat jelas bahwa mereka tidak mungkin terlihat dari kejauhan, terlebih posisi pohon berada di antara pepohonan besar yang lain di luar benteng Ibu Kota.
Dua orang yang memantau di atas pohon asam adalah seorang lelaki dan seorang wanita.
Si lelaki berbadan besar berotot tidak berbaju, tapi bercelana. Meski kulitnya hitam, tapi kekekarannya membuat badannya jadi tampan. Uniknya dia memelihara kumis tebal bermodel poni. Meski hanya pendekar kelas menengah ke bawah, tetapi dengan adanya kumis tebal, penampilannya lebih greget. Lelaki yang berusia tiga puluhan tahun itu bernama Debur Angkara, seorang pendekar desa pesisir yang ikut berpetualang jauh bersama seorang pendekar wanita belia nan sakti.
Si wanita masih sangat muda dan cantiknya menyegarkan. Ia mengenakan pakaian warna kuning gading. Ia bernama Ayu Wicara, gadis Desa Turusikil yang berkesaktian dangkal, tapi mendapat amanah dari ayahnya untuk ikut berpetualang menambah jam terbang.
“Rupanya sunat tantangan perangnya berhasil,” kata Ayu Wicara.
“Bukan sunat, tapi surat, Sayang,” kata Debur Angkara meluruskan dengan senyuman. Jika hanya berdua tanpa orang lain, pemuda garang tapi pemalu kepada wanita itu berani menyebut Ayu Wicara “Sayang”.
“Hihihi!” tawa Ayu Wicara malu-malu manja sambil memeluk lengan kekar Debur Angkara yang menyandang senjata berupa dua golok berwarna biru di pinggang belakangnya. Kalau di depan takut tersunat katanya.
“Eh eh eh! Jangan taril-tarik!” pekik Debur Angkara karena lengannya dipeluk tapi menimbulkan daya tarik, sehingga keseimbangan duduk mereka di dahan jadi oleng.
“Aaa!” jerit Ayu Wicara saat mereka berdua meluncur jatuh bersama.
Ketika jatuh itu, Debur Angkara sebagai seorang lelaki refleks melakukan perlindungan dengan langsung memeluk tubuh mungil Ayu Wicara, sehingga ketika menghantam bumi, Ayu Wicara jatuh beralaskan badan berotot kekasihnya itu.
Bdak!
“Aaakk!” erang Debur Angkara kesakitan. Pasalnya, punggungnya menghantam akar batang dari pohon asam itu.
“Kakang Bubur, kenapa kau?” tanya Ayu Wicara terkejut melihat abang sayang mengerang kesakitan.
“Kakang Debur, bukan Bubur,” kata Debur Angkara mengoreksi kekasihnya yang fitrahnya suka terpeleset kata.
“Iya, iya. Tapi kau kenapa?” tanya Ayu Wicara.
“Pinggangku serasa patah,” jawab Debur Angkara masih mengerenyit sakit.
“Ah tidak apa-apa,” kata Ayu Wicara sambil menarik tangan Debur Angkara agar bangkit berdiri. “Ayo kita kembali menemui Gusti Nenek Batu!”
“Nenek Ratu, bukan Nenek Batu,” ucap Debur Angkara meralat lagi sambil bergerak bangkit.
“Iya, ayo!” ajak Ayu Wicara.
Sepasang kekasih itu lalu berlari pergi. Mereka melewati medan yang cukup rumit karena memang area berhutan itu jarang didatangi oleh manusia.
Mereka berdua pergi memasuki hutan yang lebih lebat yang ada di luar Ibu Kota Kerajaan Jintamani. Namun, pada akhirnya mereka tiba di sebuah celah tebing batu yang ditutupi oleh tanaman rambat menyerupai tirai alam.
Plok plok plok!
Debur Angkara bertepuk tangan tiga kali.
Itu bukan tepukan untuk bermain sulap prok prok prok, tetapi itu kode.
Plok plok plok!
Tiba-tiba terdengar suara tepukan balasan yang terdengar jelas bersumber dari balik tirai tanaman rambat.
Tidak sampai sepuluh detik, tirai tanaman rambat tersibak oleh seorang lelaki berpakaian prajurit, baju warna hijau dan celana warna hitam.
“Silakan, Pendekar,” kata lelaki itu seraya menahan tirai tanaman rambat dengan tangannya agar tetap terbuka.
Debur Angkara dan Ayu Wicara segera masuk. Setelah keduanya masuk ke celah tebing, prajurit itu diam sejenak sambil memandangi daerah sekitar, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikuti kedua pendekar tersebut. Setelah dinilai aman, prajurit itupun masuk ke balik tirai.
Ternyata di balik tirai ada jalan yang diapit dua dinding batu lalu sampai kepada lahan berhutan yang ramai oleh aktivitas para prajurit yang berkemah. Selain prajurit berseragam hijau-hitam, ada pula para lelaki dan wanita yang berpakaian serba merah. Mereka memiliki sederet pisau warna merah di sabuk pakaiannya.
Debur Angkara dan Ayu Wicara langsung menuju ke sebuah tenda paling besar dari beberapa tenda yang dibangun.
Debur Angkara melaporkan kedatangannya kepada prajurit yang berjaga di pintu tenda. Salah satu dari dua prajurit yang berjaga pergi masuk ke dalam tenda. Tidak berapa lama, si prajurit kembali keluar dan mempersilakan pasangan pendekar itu masuk.
Di dalam tenda terlihat ada seorang wanita tua berambut putih, berkulit putih cerah dan berpakaian serba putih. Nenek itu sedang menghadapi sebuah meja kayu sederhana yang di atas banyak tumpukan batu yang ditata, sehingga membentuk sebuah pola sesuatu.
Bersama nenek yang adalah Ratu Warna Mekararum itu berdiri seorang wanita bertubuh indah. Keindahannya terlihat dari kelangsingan pinggang, besarnya pinggul dan sembulan dada indahnya yang tertutup ketat dengan pinjung warna hitam. Wanita berbaju hitam itu memiliki usia sekitar empat puluhan tahun. Sejumlah perhiasan menghiasi kepala dan tubuhnya. Dia adalah Adipati Lalang Lengir, yang saat ini berstatus sebagai Panglima Perang Pasukan Pembebas Jintamani.
“Sembah hamba, Gusti Ratu!” ucap Debur Angkara dan Ayu Wicara bersamaan sambil turun berlutut menghormat.
Ratu Warna Mekararum lalu berbalik menghadap kepada kedua pendekar tersebut. Adipati Lalang Lengir juga berbalik, membuat kecantikannya terlihat jelas dengan dandanan yang matang.
“Bangunlah!” perintah Ratu Warna Mekararum.
Debur Angkara dan Ayu Wicara segera bangkit. Mereka merasa gembira karena bisa bertindak seperti utusan sungguhan untuk seorang ratu, meski seorang ratu yang terbuang.
“Pasukan Kerajaan Jintamani sudah keluar dari benteng Ibu Kota, Gusti Ratu,” lapor Debur Angkara.
“Bagus, kita tinggal menunggu laporan Remuk Pusaka dari perbatasan luar Ibu Kota,” kata Ratu Warna Mekararum kepada Adipati Lalang Lengir. Lalu perintahnya, “Siapkan pasukan untuk pergi ke depan benteng Ibu Kota. Aku dan pasukan Pisau Merah akan menyusup melalui jalan rahasia yang tembus ke dalam Istana.”
“Baik, Gusti Ratu,” ucap Adipati Lalang Lengir patuh. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
⍨⃝ᴳᶜᴬˢ¹✿ᵇᵘᵗᵗᵉʳ𝒜𝓃𝒿𝒽𝓊🍄
lah kirain sunat beneran 🤣🤣🤣 ternyata surat wwkk
2024-04-27
0
🍒⃞⃟•§¢•🎀Cantika🆁🅰🅹🅰❀∂я🤎
hebat ya debur sama ayu Wicaksana membela ratu mekar Arum
2024-04-27
0
🍒⃞⃟•§¢•🎀Cantika🆁🅰🅹🅰❀∂я🤎
namanya debur ku kira🤧ayang ayu Wicaksana
2024-04-27
0