*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
Pasukan koalisi kadipaten yang dinamai Pasukan Pembebas Jintamani kini mengepung benteng timur Ibu Kota Kerajaan Jintamani. Sejak awal pengepungan, belum ada peperangan yang terjadi. Pasukan Keamanan Ibu Kota pun bersiaga di atas dan di dalam benteng.
Sebagian Pasukan Pembebas Jintamani bersiaga di garis depan, sedangkan dua per tiga dalam mode istirahat. Selain untuk menurunkan ketegangan, juga untuk mengumpulkan tenaga.
Ibu Kota Kerajaan Jintamani memiliki dua pintu gerbang, yaitu timur dan barat. Namun, Pasukan Pembebas Jintamani tidak mengepung benteng sisi barat. Ratu Warna Mekararum beralasan sederhana.
“Kita tidak mengepung benteng barat karena kita kekurangan pasukan. Pasukan kerajaan akan terlalu jauh jika mereka ingin keluar dari gerbang barat dan membokong pasukan kita di gerbang timur,” kata Ratu Warna Mekararum saat mengatur strategi bersama para adipati sebelum berangkat ke medan perang. “Di barat Jintamani ada barak militer dan mereka bisa saja mengirim pasukan ke Ibu Kota, tetapi tidak akan menjadi ancaman jika Alma lebih cepat datang menyusul ke Ibu Kota.”
Itulah sekelumit isi rapat Pasukan Pembebas Jintamani.
Sementara itu, Ratu Warna Mekararum memimpin pasukan dari Perguruan Pisau Merah menyusup masuk ke Istana lewat jalan rahasia. Sebagai orang yang paling tua di Istana, Warna Mekararum yang digelari Ratu Tua sangat tahu tentang selak beluk dan berbagai rahasia yang ada di Istana.
Pasukan Perguruan Pisau Merah yang berjumlah seratus orang dipimpin oleh seorang murid utama perguruan yang bernama Sudigatra.
Sudigatra adalah seorang lelaki bertubuh sedang tapi berotot, terlihat dari otot lengannya karena bajunya berlengan pendek. Ia mengenakan pakaian merah-merah. Wajahnya pun memiliki struktur yang kokoh.
Membawa pasukan seratus orang untuk melewati jalan rahasia yang terkadang sempit memang tidak efektif, tetapi sang ratu tua membutuhkan kekuatan cukup besar untuk menghadapi rintangan di depan, yang pastinya akan tidak bersahabat.
Untuk masuk ke sebuah gua yang menjadi jalan masuk ke jalan rahasia, mereka harus melewati rawa dangkal yang cukup lebar.
“Buka alas kaki dan celana kalian!” perintah Ratu Warna Mekararum kepada Sudigatra.
Terkejut Sudigatra dan murid-murid Perguruan Pisau Merah yang mendengar perintah itu.
“Pakaian basah bisa meninggalkan jejak,” jelas Ratu Tua.
“Baik, Gusti,” ucap Sudigatra. Lalu perintahnya kepada pasukannya, “Buka alas kaki dan celana kalian!”
Mau tidak mau, malu tidak malu, mereka semua segera melepas sepatu tali dan celananya. Demikian pula dengan Sudigatra sendiri.
Sementara sang ratu tidak melakukan hal yang sama.
“Bopong aku sampai seberang!” perintah Ratu Warna Mekararum kepada Sudigatra.
“Baik, Gusti,” ucap Sudigatra patuh.
Setelah merapikan letak celana dan sepatunya di leher, Sudigatra lalu berjongkok membelakangi di depan Ratu Tua. Sang ratu tanpa sungkan naik duduk di tengkuk Sudigatra. Setelah itu, Sudigatra berdiri menggendong si nenek di bahunya.
Sudigatra turun lebih dulu ke rawa yang berair dan berlumpur. Awalnya hanya sedalam betis, tetapi kemudian menjadi sedalam paha setelah berjalan lebih ke tengah.
Seratus murid yang sudah tidak bercelana, tetapi masih bercawat, juga ikut turun ke rawa. Mereka mengikat celana dan sepatunya di leher, bahkan ada yang mengikatnya di kepala.
“Ah, sayang murid perempuan tidak ada yang ikut,” sesal seorang murid sambil tersenyum lebar.
“Dasar otak mesum!” umpat rekannya lalu tertawa bersama rekan yang lain.
Perguruan Pisau Merah memang juga menurunkan sejumlah murid perempuan dalam peperangan itu, tetapi mereka semua tidak diikutkan dalam rombongan Ratu, mereka ikut dalam pasukan pimpinan murid utama Adipaksa mengepung benteng timur Ibu Kota.
Setibanya di seberang rawa, mereka semua membersihkan kaki mereka dari lumpur. Setelah itu, celana dan sepatu kembali dipakai.
Ratu Warna Mekararum lalu memimpin pasukan itu masuk ke sebuah gua yang mulutnya tertutupi oleh tanaman liar. Hanya orang-orang yang kenal tempat itu yang tahu bahwa di situ ada sebuah gua.
Mereka harus menyalakan beberapa obor sebagai alat penerang. Mereka kemudian menyusuri lorong gua yang ternyata adalah sebuah jalan panjang yang berliku, tapi tidak seberliku kisah cinta mereka masing-masing. Mereka masuk dalam kondisi kaki yang sudah kering dan bersih dari lumpur, dan juga sudah bercelana lagi.
Dilihat dari model dindingnya, bisa diduga bahwa gua itu bukanlah gua alami, tetapi gua buatan.
Sang ratu memerintahkan Sudigatra untuk membuat tanda di dinding karena kemungkinan besar mereka akan melalui lorong itu lagi. Sebab, dalam perjalanan lorong yang panjang, beberapa kali Ratu Warna Mekararum membuka sebuah pintu batu rahasia yang menghubungkan dengan jalan lain.
Dalam perjalanan di lorong rahasia yang katanya akan tembus ke dalam Istana Jintamani, para personel pasukan dilarang keras untuk berbicara atau bergurau sehingga menimbulkan suara tawa.
Setelah melakukan perjalan sekitar dua jam lamanya karena pergerakan mereka lambat dengan banyaknya personel, akhirnya Ratu Warna Mekararum memerintahkan berhenti pada satu titik.
Semua murid diperintahkan berdiri merapat di salah satu dinding lorong, karena mereka berada di dekat simpang lima. Di depan adalah titik pertemuan lima lorong, yang artinya bisa saja ada orang lain yang muncul dari salah satu lorong lain.
Ratu Warna Mekararum memberi lambaian jari kepada Sudigatra agar lebih mendekat kepadanya. Sudigatra segera lebih mendekat kepada si nenek.
Ratu Warna Mekararum lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Sudigatra untuk berbisik.
“Bawa beberapa orang, pergi telusuri lorong itu sampai ke dinding buntu!” perintah Ratu Warna Mekararum sambil menunjuk salah satu lorong yang bisa mereka lihat langsung. “Di dinding buntu itu ada celah cahaya yang sangat kecil yang terhubung ke salah satu ruangan di dalam Istana. Pergilah, laporkan apa yang bisa kau dapat di sana!”
Sudigatra hanya mengangguk. Dia lalu bangkit dan menunjuk empat murid utama perguruan yang level tingkatannya masih di bawahnya. Ia memberi isyarat agar mereka mengikutinya.
Sebelum menyeberang ke lorong yang dimaksud, Sudigatra lebih dulu menengok ke arah lorong yang lain dan menyimak apakah ada suara lain atau tidak. Setelah memastikan aman, dia segera menyeberangi titik pertemuan lima lorong itu dan masuk ke lorong yang dimaksud sang ratu.
Mereka berlima hanya mengandalkan satu obor kecil. Sementara Ratu Warna Mekararum dan pasukan perguruan bersenjata pisau terbang itu menunggu.
Sudigatra dan keempat rekannya terus menyusuri lorong. Ternyata tidak butuh waktu lama untuk sampai ke jalan buntu dari lorong tersebut. Mereka tidak menemukan jalan lain selain dinding batu.
Sudigatra memerintahkan murid pembawa obor untuk jauh dari dinding buntu.
Benar kata sang ratu, dari lorong yang gelap itu, mereka bisa melihat satu titik terang yang merupakan lubang kecil ke dunia luar.
Sudigatra segera mendekati celah yang besarnya hanya segaris kuku. Dia mencoba untuk mengintip lewat celah tersebut.
Lewat celah kecil itu, ternyata Sudigatra melihat bagian sebuah ruangan besar yang megah, tetapi ruangan itu memiliki penjagaan sejumlah prajurit yanag berdiri diam.
Meski ada jumlah prajurit yang cukup banyak di ruangan besar itu, tetapi suasananya sepi karena tidak ada yang berbicara. Sepertinya celah itu berada di sebuah dinding dari ruangan megah dan besar tersebut.
Setelah mendapatkan sedikit visual lewat intipan tersebut, Sudigatra lalu memberi kode kepada keempat rekannya untuk kembali. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
wadohhhh ko celana pun dibuka 🤭🤭🏃♂️🏃♂️🏃♂️🏃♂️
2023-08-27
0
Senajudifa
mantap om
2023-05-25
0
🍭ͪ ͩ𝓚ˢᵍⁿAnny1 😘
ada gua buatan juga yah🤭🤭🤭🤭
2023-05-16
2