*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
Alma Fatara yang seorang diri, membiarkan dirinya dikepung oleh ribuan prajurit tombak dan pedang.
Pasukan tombak membentuk formasi lingkaran tebal yang mengurung posisi Alma Fatara dengan menyisakan ruang kosong di sekitar Alma beberapa tombak.
“Hahh!” teriak para prajurit itu serentak mengeluarkan semua bau mulutnya sambil menutup barisan mereka dengan tameng dan tombak-tombak diulurkan mengancam, siap menyerang Alma Fatara jika ada perintah.
Pasukan tombak itu dipimpin oleh Panglima Gagang Lembu.
Barisan melingkar itu memiliki lebih tujuh lapis yang rapat. Seekor cecurut pun mungkin tidak akan bisa lolos dari pengepungan itu. Beberapa tombak di belakang pasukan tombak ada barisan pasukan pedang yang membentuk lingkaran lebih besar tapi lebih tipis. Pasukan itu juga memasang formasi siap dengan tameng yang rapat.
Pasukan pedang itu dipimpin oleh Panglima Pulung Seket.
Di sisi utara dari pengepungan dua ribuan prajurit tombak dan pedang, ada ratusan pasukan panah yang berposisi siap memanah jika diperintahkan. Tiga barisan terdepan duduk dengan berlutut satu kaki. Empat barisan belakang berdiri dengan prajurit paling jangkung berdiri di barisan terakhir, sehingga mereka tidak terhalangi oleh kepala rekan-rekannya yang di depan.
Pasukan panah ini dikomandoi oleh Panglima Utama Surap Bentala, karena Panglima Jambango sudah mati oleh tombakan Alma Fatara.
Sementara itu jauh di selatan, tepatnya di pinggiran Alas Tiga Air, gadis remaja cantik jelita bernama Ning Ana tampak cemas karena tidak bisa melihat keberadaan Alma yang tertutupi oleh pengepungan di tengah lembah.
Berbeda dengan Magar Kepang dan Garam Sakti, mereka terlihat tenang, tidak menunjukkan rasa khawatir. Sepertinya mereka sudah yakin kepada Alma Fatara seribu persen.
Buru-buru Ning Ana berlari ke belakang.
“Sayang mungilku, mau ke mana kau?” tanya Garam Sakti yang memang adalah kekasih dari Ning Ana. Jangan ditanya kenapa Ning Ana yang masih remaja menjadi kekasih Garam Sakti yang tinggi besar berotot dan berusia hampir kepala tiga pula.
“Aku mau naik pohon agar bisa melihat Kak Alma!” sahut Ning Ana yang menuju ke sebuah pohon besar di pinggiran hutan itu.
“Biar aku yang membawamu naik!” tawar Garam Sakti.
“Tapi jangan menaikiku, Kakang. Aku belum muat!” teriak Ning Ana yang pikirannya lebih dulu tua dari fisiknya.
“Iya, aku pun tidak berani!” sahut Garam Sakti sambil berlari mengejar Ning Ana.
“Hahaha!” tawa Magar Kepang yang mendengar dialog saru itu.
Sementara itu jauh di ujung utara lembah, Pajrit Gandul Kulon dan Pajrit Kukus Asmara yang menjadi pemimpin pasukan yang membelot, terlibat perbincangan serius sambil memerhatikan peperangan dari jauh.
“Gandul Kulon, lalu nasib kita bagaimana? Aku jadi gamang?” tanya Pajrit Kukus Asmara dengan nada mengayun seperti lelaki pingitan.
“Perempuan itu bukan manusia. Seorang diri dia menghancurkan puluhan pasukan kuda. Semua panah belalang dihancurkan. Sekali serang saja dia bisa membunuh lebih dari sepuluh orang. Jika kita tidak mundur, pasti kita juga akan mati nantinya,” tandas Pajrit Gandul Kulon.
“Tapi lihat, sekarang perempuan itu sudah dikepung. Pasti dia tidak akan lolos menghadapi ribuan prajurit seorang diri,” kata Pajrit Kukus Asmara dengan wajah yang mengerenyit terus, seolah-olah dia ingin menangis dengan kondisi saat itu.
“Sudah, kita lihat saja. Jika memang perempuan itu menang, berarti kita tunduk menyerah dan beralih berbakti kepada Gusti Ratu Warna Mekararum,” kata Pajrit Gandul Kulon.
“Kalau perempuan itu mati?” tanya Pajrit Kukus Asmara.
“Kita kabur dan berhenti menjadi prajurit. Jika tidak, kita akan dibunuh oleh Panglima Utama.”
“Bukankan Gusti Ratu Warna Mekararum sudah mati?”
“Buktinya Gusti Ratu punya pasukan.”
Kembali ke tengah medan perang.
“Apakah kerja seorang panglima hanya mengorbankan prajuritnya dan berlindung di belakang punggung pasukannya? Hahaha!” seru Alma Fatara yang mulai melancarkan provokasinya lalu tertawa lebar tanpa malu memperlihatkan gigi ompongnya.
Namun, ketegangan para prajurit yang berada di level genting itu, seolah-olah membuat mereka tidak bisa tertawa.
Memerahlah telinga dan wajah ketiga panglima pasukan Kerajaan Jintamani yang masih memimpin pasukan, terutama Panglima Utama Surap Bentala selaku penglima tertinggi.
“Kurang ajar setan!” desis Surap Bentala kepada dirinya sendiri. “Dia mau mempermalukan aku di depan pasukanku sendiri.”
“Wahai pasukan-pasukan yang gagah berani, simpat dulu keberanian kalian. Biarkan panglima kalian maju bertarung denganku untuk menunjukkan bahwa dia tidak sekedar berlindung di bawah pangkatnya!” seru Alma Fatara lagi. “Jika kalian memang meminta kematian, pasti akan aku berikan. Sabar sebentar!”
Para prajurit yang sudah mengepung Alma Fatara di barisan paling depan saling pandang dengan rekan di kanan dan kirinya.
“Jangan terpedaya. Sesakti-saktinya seorang pendekar, dia tidak akan luput dari ribuah senjata kita!” bisik seorang prajurit kepada teman di sampingnya.
“Perempuan itu sedang mencoba mengacaukan pikiran kita, jangan terpedaya!” teriak seorang kepala regu kepada pasukan yang dipimpinnya.
“Hahaha!” tawa Alma Fatara setelah tidak ada respon dari panglima pasukan musuh. Dia lalu berteriak lantang membahana, “Ternyata panglima kalian lebih pengecut daripada kalian yang maju terdepan untuk mati!”
“Jaga bicaramu, Perempuan Setan!” teriak Panglima Utama Surap Bentala membahana sambil muncul berlari menginjaki beberapa kepala prajurit untuk masuk ke dalam ruang kepungan, tepatnya mendarat gagah di hadapan Alma Fatara.
“Kurang ajar! Kau masih terlalu belia rupanya!” maki Surap Bentala karena terkejut setelah melihat jelas sosok dan paras Alma Fatara.
“Hahahak!” tawa Alma Fatara mendengar makian Surap Bentala.
Tawa Alma Fatara membuat Surap Bentala terkejut karena melihat kelucuan gigi gadis cantik itu. Sebenarnya dia ingin tertawa, tapi takut dituduh menghina dan meremehkan lawan.
“Aku bahkan memiliki satu pengawal perempuan yang jauh lebih muda dariku. Apakah perlu aku suguhkan sebagai lawan tandingmu, Paman?” tanya Alma.
“Menghadapimu saja aku merasa malu. Benar-benar menjatuhkan kehormatanku sebagai pemimpin pasukan besar ini!” kata Surap Bentala lantang demi menjaga wibawanya di depan pasukannya.
“Jika kau tidak melawanku sekarang juga, maka kau akan lebih malu, Paman. Kau tidak bisa mundur lagi, kehormatan dan pangkatmu dipertaruhkan di sini!” tandas Alma Fatara.
“Pasukaaan!” teriak Surap Bentala keras kepada pasukannya.
“Siap!” jawab semua prajurit serentak, sehingga suara ribuan orang itu terdengar menggetarkan jiwa serta lembah dan alam sekitarnya.
Jika seandainya ada prajurit yang sudah mati tapi pura-pura hidup, pasti dia akan mati lagi karena mendengar suara pasukan itu.
“Bukan aku yang tidak ksatria melawan wanita semuda ini, tapi Bocah Setan ini yang terlalu kurang ajar meminta mati!” koar Surap Bentala keras, demi menjaga maruahnya di depan pasukan.
“Hahahak!” tawa Alma Fatara.
“Bunuh! Bunuh! Bunuh …!” teriak para prajurit yang benci kepada Alma karena telah membantai rekan-rekan mereka, tidak peduli bahwa Alma seperti anak kucing cantik yang begitu lucu dan menggemaskan.
“Hei, diam!” bentak Alma keras yang bertenaga dalam tinggi.
Bentakan keras itu mengejutkan karena menusuk gendang-gendang telinga mereka. Sampai-sampai mereka berhenti berteriak “bunuh” dengan wajah mengerenyit menahan sakit.
“Begini saja, Paman,” kata Alma Fatara kepada panglima yang bersenjatakan pedang. “Jika Paman mati, berarti pasukan Paman tunduk semua kepadaku. Jika aku yang mati, perang berakhir. Bagaimana, Paman?”
“Tidak!” tolak Surap Bentala. “Jika kau mati, peperangan berakhir. Jika aku mati, pasukanku akan mencacahmu!”
“Baik!” jawab Alma mantap.
“Pasukan!” teriak Surap Bentala.
“Siap!” jawab pasukan itu serentak, menggema selembah hingga ke dalam hutan.
“Jika aku mati, jangan ragu bunuh Bocah Setan ini!”
“Siap!” jawab ribuan pasukan itu.
“Pasukan!” teriak Alma Fatara juga dengan keras.
“Siap!” jawab pasukan itu juga.
“Hahahak!” tertawa terbahaklah Alma Fatara mendengar pasukan itu menjawab seruannya, membuat pasukan itu kesal sendiri dan merasa bego sendiri.
Alma kembali berteriak.
“Jika kalian tidak mau mati bersama, jangan menyerangku jika panglima kalian mati!”
Kali ini tidak ada yang menyuhuti seruan Alma Fatara. Namun, seruan itu membuat pasukan itu dilanda kebimbangan.
“Ayo kita mulai, Paman. Jangan tahan-tahan!” seru Alma Fatara. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Senajudifa
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-05-16
1
@MeG4 ⍣⃝క🎸N⃟ʲᵃᵃ𝓐𝔂⃝❥
ketawa aja paman jangan ditahan nanti kamu kabesekan loh paman🤣🤣🤣
2023-03-21
1
@MeG4 ⍣⃝క🎸N⃟ʲᵃᵃ𝓐𝔂⃝❥
jawaban nya karena ning ana hanya menyukai pria dewasa 🤣🤣
2023-03-21
1