*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
Lembah itu berada di utara Alas Tiga Air. Lembah dan hutan saling menyambung menjadi satu.
Pada sisi selatan lembah, tepatnya di luar hutan, ada sebuah tenda yang dibangun. Tenda itu tidak tertutup, tetapi terbuka yang didirikan di atas delapan tiang kayu dan beratap selembar kain berwarna biru terang, sehingga jika dilihat dari jauh sudah terlihat menarik.
Di bawah tenda hanya rerumputan tanpa ada karpet permadani, yang ada hanya sepotong kayu besar berbentuk silinder.
Pada potongan kayu yang diletakkan berposisi tidur, duduk dua orang wanita cantik yang usianya tidak begitu jauh.
Gadis yang paling tua masih terbilang belia dengan usia enam belas tahun, tapi memiliki perawakan yang cukup bongsor. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan jubah hitam dan baju hitam, tapi tidak dengan kulitnya yang putih bersih bak warna susu segar. Rambutnya terurai panjang hingga punggung. Wajahnya memiliki kejelitaan yang high quality. Dijamin, setiap lelaki yang memandangnya pasti jatuh hati, minimal jatuh hati di dalam jantung. Ia adalah Alma Fatara yang berjuluk Dewi Dua Gigi, tokoh utama dalam kisah kita bersama.
Gadis kedua juga memiliki paras yang begitu memikat dengan hidung bangir dan bibir bawah yang model belah, memberi daya tarik tinggi bagi mata para lelaki pemuja kecantikan. Namun sayang, gadis itu dua tahun lebih muda dari Alma Fatara, artinya usianya sekitar empat belas tahun. Tubuhnya yang tidak sebongsor Alma Fatara membuatnya terlihat masih ingusan, meski saat itu ia tidak ingusan. Dia bernama Ning Ana, seorang gadis dari Desa Bungitan yang nekat kabur dari keluarganya karena ingin ikut mengembara bersama rombongan Alma Fatara.
Ning Ana telah menambah pengalaman dan wawasan keduniapersilatannya. Kini ia bukan lagi gadis desa. Ia telah melihat banyak kematian, bahkan ia pernah terjun di dalam perang. Kini pun dia akan terlibat dalam perang yang mungkin sebentar lagi akan tergelar. Padahal, dia hanyalah gadis biasa yang awalnya tidak mengerti ilmu kependekaran. Namun kini, jiwa pendekar telah ia miliki sejak ikut dengan Alma Fatara, terlebih ia sempat berguru di Perguruan Pisau Merah dalam beberapa hari.
Mereka tidak hanya berdua. Di belakang mereka ada dua orang lelaki besar yang berdiri seperti algojo.
Lelaki pertama adalah seorang lelaki gemuk berperut gendut. Ia mengenakan baju bagus warna hijau daun dan celana warna hitam. Kepalanya diikat dengan kain hijau pula. Di lehernya ada selingkar kalung rantai warna perak setebal jari kelingking. Maklum orang kaya yang di kampungnya dikenal dengan istilah “kaum bersandal”. Ia bernama Magar Kepang. Sebelum ikut berpetualang bersama Alma Fatara, statusnya adalah Kepala Desa Iwakculas, orang terkaya dari tiga desa nelayan di Pantai Parasemiris.
Orang kedua bertubuh tinggi besar dengan badan yang lebih berotot dari Debur Angkara si kumis poni. Ia masih muda dengan umur di bawah tiga puluh tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya bercalana warna hitam. Ada sebilah keris bagus warna hijau gelap yang terselip di sabuknya. Senjata itu bernama Keris Petir Api. Adapun ia sendiri bernama Garam Sakti. Sebelum ikut Alma Fatara, jabatannya adalah Pendekar Desa Iwakculas.
Sekedar bocoran, Garam Sakti adalah kekasih Ning Ana, anak perempuan yang suka nekat, termasuk nekat mencintai seorang Garam Sakti yang usia dan besar tubuhnya memiliki margin yang lebar darinya. Meski Garam Sakti telah menolak cinta Ning Ana karena takut dituding melakukan eksploitasi terhadap gadis di bawah umur, tetapi gadis kecil itu tidak peduli, dengan dalih sudah cinta setengah hidup.
Alma Fatara dan ketiga sahabatnya itu sedang menunggu kedatangan pasukan dari Kerajaan Jintamani yang mereka undang untuk datang berperang di lembah tersebut.
“Alma, apakah tidak sebaiknya kita memasak sesuatu dulu untuk dimakan?” usul Magar Kepang yang adalah seorang lelaki tanpa bekal ilmu beladiri sedikit pun. Kekuatannya adalah uang. Dialah yang membiayai perjalanan Alma Fatara sejauh ini.
“Usul yang bagus, Paman Magar. Laksanakan!” Yang menjawab bukannya Alma Fatara, tetapi Ning Ana sambil menengok kepada Magar Kepang yang usianya sudah separuh baya.
“Hahahak!” tawa Alma Fatara meledak mendengar sahutan Ning Ana, membuat gigi ompongnya terlihat jelas.
Rupanya julukan Dewi Dua Gigi bermakna dewi yang kehilangan dua gigi atas depannya.
“Tapi, sepertinya pasukan musuh sudah tiba, Paman,” kata Alma.
Mereka lalu melemparkan pandangan ke ujung lembah nun jauh.
Awalnya yang mereka lihat adalah beberapa kibaran bendera dan panji, menyusul kemunculan kepala-kepala prajurit pasukan berkuda. Semakin mendekat, maka semakin banyak manusia yang berjalan di dalam barisan. Jumlahnya sudah pasti ribuan. Tepatnya lima ribu prajurit.
Pasukan berwarna biru gelap itu dipimpin oleh lima panglima dengan panglima utama bernama Panglima Surap Bentala.
Kemunculan mereka secara utuh di ujung lembah membuat Magar Kepang, Garam Sakti dan Ning Ana merasa ciut. Membandingkan jumlah mereka berempat dengan lima ribu kekuatan prajurit ditambah kuda-kudanya, apalah yang bisa dibanggakan.
Namun, sangat berbeda dengan Alma Fatara. Mau berapa ribu pun jumlah pasukan musuh, itu tidak membuatnya gentar sedikit pun. Ia bahkan tersenyum melihat kemunculan musuh yang datang dengan barisan pasukan berkuda yang gagah di sisi depan.
Magar Kepang dan Garam Sakti memang sudah pernah melihat kehebatan Alma Fatara dalam menghancurkan satu pasukan kerajaan, tapi tetap saja mereka sedikit gemetar.
“Ning Ana, majulah sebagai utusan. Sampaikan kepada pemimpin pasukan itu untuk menyerah dan tunduk atas perintah Ratu Warna Mekararum. Jika tidak mau, mereka akan dihancurkan sehancur-hancurnya!” perintah Alma Fatara.
“Si-si-siap!” ucap Ning Ana tergagap, menunjukkan ketakutannya.
“Jangan takut. Utusan tidak akan disentuh oleh senjata dan pukulan!” kata Alma Fatara.
“Siaaap!” teriak Ning Ana keras sambil berdiri untuk mengusir rasa gentarnya.
Dia menggenggam gagang pisau merahnya yang ada terselip di pinggang. Ia tarik napas panjang sambil menatap tegar ke arah pasukan nun jauh di ujung lembah.
“Semangat, Ning Ana!” ucap sang kekasih, Garam Sakti memberi semangat.
Ning Ana yang sudah membulatkan tekad dan mengusir kegentarannya, lalu berlari maju menuju ke arah pasukan besar yang terus bergerak lebih memasuki lembah.
“Gusti Panglima, di mana pasukan musuh?” tanya Panglima Gigir Sluduk kepada Panglima Utama Surap Bentala.
“Jangan lengah, sepertinya ini adalah perangkap. Perhatikan dengan teliti daerah sekitar!” seru Panglima Surap Bentala kepada keempat panglima bawahannya.
“Ada anak yang datang,” kata Panglima Gigir Sluduk. Lalu perintahnya, “Siap panah!”
“Tahan! Itu pasti anak pembawa pesan!” seru Panglima Surap Bentala mencegah.
Sang panglima lalu mengangkat tangan kanan memberi tanda agar pasukan berhenti.
“Panglima Gigir, temui utusan itu, dengarkan apa maunya!” perintah Panglima Surap Bentala.
“Baik, Gusti Panglima!” ucap Panglima Gigir patuh.
Dia lalu menggebah kudanya yang kemudian berlari kencang menyongsong kedatangan Ning Ana yang datang dengan berlari seperti anak kambing yang menerobos rerumpuntan lembah.
Tidak berapa lama, Ning Ana menghentikan larinya seiring tibanya sang kuda panglima di depannya.
Saat itu, jantung si gadis tanggung berdebar-debar. Namun, dia berusaha tampil berani. Dia jelas tidak mau terlihat takut di hadapan musuh. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🇬 🇨 🇦 🇸 ¹
awokaowk keliatan klo ompong🤣🤣🤣 berjendela giginyanitu🤣🏃♀️
2024-04-27
0
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
masih kecil lo si Ana nekat banget sih dia apalagi jatuh cinta sama om" 😁
2024-04-26
1
ˢ⍣⃟ₛ🇸𝗘𝗧𝗜𝗔𝗡𝗔ᴰᴱᵂᴵ🌀🖌
cinta nya setengah hidup, berati dia sekarang setengah mati dong
2024-04-22
2