*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
“Siapa yang tidak tunduk kepada Gusti Ratu Warna Mekararum, akan aku buru sampai mati!” teriak Alma Fatara bertenaga dalam tinggi dari tengah lembah yang berbau anyir darah.
Seruan itu jelas membuat lebih seribu pasukan Kerajaan Jintamani yang mundur jadi takut. Jika Alma Fatara hanya seorang pendekar biasa, mungkin mereka bisa adu cepat kejar-kejaran. Namun, mereka sudah menyaksikan bahwa pendekar cantik jelita berusia belia itu bisa melakukan sesuatu yang sangat mustahil. Sudah pasti ancamannya itu bukan sekedar ancaman penggertak nyali, tapi ancaman yang 99,9 persen bisa diwujudkan.
“Kalian sudah kalah, wajib bagi kalian tunduk kepada penguasa sah Kerajaan Jintamani, yaitu Gusti Prabu Marapata, bukan kepada Senopati Gending Suro. Kemarilah kalian!” teriak Alma Fatara benar-benar serius.
“Pasukaaan, majuuu!” teriak Panglima Pulung Seket kepada seluruh pasukan yang berkumpul di sisi utara lembah. Dia masih terdengar gagah meski statusnya sekarang adalah panglima taklukan.
Lebih seribu prajurit yang sebagian besar adalah pasukan pedang bergerak kembali masuk ke tengah lembah, melewati mayat-mayat yang berantakan di lembah itu. Ngeri ya ngeri, sedih ya sedih, melihat rekan-rekan mereka bergelimpangan tanpa nyawa dengan raga yang hancur. Namun, itulah perang, sakit hatinya begitu pahit.
“Kalian bertiga, maju ke sini!” teriak Alma Fatara kepada ketiga rekan seperjalanannya yang nun jauh di pinggir hutan.
“Eh, buruan maju, kita dipanggil Alma!” kata Magar Kepang kepada Garam Sakti dan Ning Ana.
“Tapi pasukan itu juga maju,” kata Ning Ana.
“Tidak apa-apa mereka sudah takluk. Kau tidak dengar tadi?” kata Garam Sakti.
“Ayo!” ajak Magar Kepang sambil berjalan lebih dulu.
“Yeee! Kita menaaang! Hihihi!” teriak Ning Ana girang sambil berlari kencang lebih dulu meninggalkan Magar Kepang yang pastinya sulit untuk berlari.
Sementara Garam Sakti tetap menjadi pengawal Magar Kepang yang merupakan atasannya.
“Cincang yang melawan! Tusuk perutnya, penggal lehernya, tendang bokongnya! Semua berlutut!” teriak Ning Ana kencang sambil berlari menuju posisi Alma Fatara. Namun, teriakan barbar Ning Ana itu tidak terdengar oleh siapa-siapa karena dia berteriak di alam luas tanpa tenaga dalam.
Tidak berapa lama, pasukan datang dengan berlari kecil, tiba beberapa tombak di depan Alma Fatara yang berdiri dengan jubah dan rambut berkibar-kibar.
Meski tidak begitu rapi, tetapi pasukan itu tetap dalam formasi barisan. Mereka meninggalkan gerobak-gerobak logistik di ujung utara lembah.
Panglima Pulung Seket yang masih berkuda turun dari kudanya.
“Berlutut kepada Pendekar!” teriak Panglima Pulung Seket berkomando.
“Hormat kami, Pendekar!” seru semua prajurit sambil turun berlutut di hadapan Alma Fatara.
“Hahaha!” tawa Alma Fatara yang memperlihatkan dua gigi ompongnya.
Untung para prajurit itu semuanya menunduk. Lagi pula jika prajurit itu melihat kelucuan gigi Alma, mereka pasti menahan tawa karena takut dipenggal hanya gegara menertawakan gigi perempuan itu.
“Dengarkan! Perkanalkan ... eh perkanalkan. Perkenalkan, aku yang cantik tapi belum dewasa ini, namaku Alma Fatara, julukanku Dewi Dua Gigi. Hahaha!” seru Alma Fatara bangga dan lucu sendiri. “Sebut aku Panglima Dewi jika kalian tidak mau aku gebuk bokong kalian!”
“Baik, Panglima Dewi!” sebut pasukan itu serempak, termasuk Panglima Pulung Seket.
“Bagus! Hahaha!” puji Alma lalu tertawa seperti juragan jengkol. Kemudian sebutnya, “Panglima!”
“Hamba, Panglima Dewi!” sahut Panglima Pulung Seket lantang sambil mengangkat wajahnya menatap kepada pimpinan barunya.
“Apakah kau bersedia mengabdi kepada Gusti Prabu Marapata dan Gusti Ratu Warna Mekararum?” tanya Alma Fatara.
“Bersedia! Hamba bersumpah, mengabdi kepada Gusti Prabu Marapata dan Gusti Ratu Warna Mekararum!” teriak Panglima Pulung Seket.
“Bagus. Siapa namamu, Paman?” tanya Alma Fatara.
“Hamba Panglima Pulung Seket!” jawab sang panglima lantang.
“Paman Pulung, bayaranmu sebagai perwira aku naikkan separuh dari upahmu!” kata Alma Fatara seenaknya, seolah-olah dia yang menggaji para prajurit itu.
Terkejutlah para prajurit mendengar keputusan Alma Fatara itu. Jelas mereka juga berharap akan mendapat kenaikan gaji sebagai prajurit.
“Apakah semua prajurit ini ada di bawah perintahmu?” tanya Alma lagi
“Benar, Panglima!” jawab Panglima Pulung Seket.
“Habisi semuanya! Tusuk hidungnya, potong lidahnya, tusuk bokongnya, penggal lehernya!” teriak Ning Ana yang akhirnya tiba di sisi kiri Alma Fatara.
Para prajurit cukup terkejut mendengar teriakan barbar Ning Ana, membuat mereka mengangkat wajah untuk melihat perempuan lain yang berteriak itu. Setelah melihat Ning Ana, terbeliaklah mereka melihat gadis remaja yang begitu cantik. Mereka terpesona, tetapi tidak langsung bernyanyi “Terpesona”.
Memang kecantikan Ning Ana begitu tinggi di usia remajanya. Namun, kecantikan itu tidak diimbangi dengan karakter yang baik. Bisa didengar dari teriakannya yang barbar.
“Kak Alma, apakah kita sudah menang?” tanya Ning Ana dengan gaya yang jumawa, seolah-olah kemenangan itu juga bagian dari kontribusinya.
“Iya,” jawab Alma seraya tersenyum, memperlihatkn gigi ompongnya, membuat sejumlah prajurit tersenyum melihat keompongan itu.
“Kalau begitu, kita bunuh saja semuanya, Kak Alma!” kata Ning Ana dengan wajah yang serius, membuat para prajurit yang masih berlutut itu mendelik.
Alma Fatara menepak pelan kepala Ning Ana.
“Aku sudah membunuh lebih banyak dari ini, jika yang ini dibunuh semua juga, lalu siapa yang akan mengagumi kecantikanmu?” kata Alma Fatara kepada gadis yang lebih muda dua tahun darinya itu.
“Hihihi! Iya, betul juga. Kalau begitu, semuanya kita pelihara!” kata Ning Ana sembari senyum malu-malu genit.
Alma Fatara lalu kembali beralih kepada pasukan itu.
“Senopati Gending Suro adalah pengkhianat. Dia dan pasukan yang mengabdi kepadanya akan diperangi. Kalian akan aku bawa untuk memerangi pasukan Senopati. Aku beri pilihan kepada kalian semua. Berperang bersamaku dan upah kalian akan dinaikkan setengah hingga seterusnya, atau kalian mundur dan berhenti menjadi prajurit. Jika kalian memilih berperang, tetaplah berlutut. Jika kalian memilih memilih mundur, bangkitlah dan pergilah dengan nyawa yang aman!” seru Alma Fatara.
Maka terdengarlah sebagian kecil prajurit itu saling kasak-kusuk dengan temannya. Ada pula yang hanya menengok ke kanan dan ke kiri untuk melihat reaksi rekannya. Ada pula yang teguh diam menatap ke depan, menikmati dua kecantikan jelita di depan sana.
Setelah pasukan itu diberi waktu untuk berpikir dan bernapas tanpa tekanan, ternyata tidak ada seorang pun prajurit yang bangun berdiri. Itu menunjukkan bahwa mereka semua memilih gaji dinaikkan setengah dari gaji sepurnama.
“Baik, bangunlah kalian semua!” seru Alma Fatara.
Maka Panglima Pulung Kepeng dan semua pasukannya bergerak berdiri.
“Pasukan siapa yang berkhianat lebih dulu sebelum pasukan maju mengepung aku tadi?” tanya Alma Fatara.
“Pasukan hamba, Panglima Dewi!” sahut Pajrit Gandul Kulon sambil mengangkat tombaknya tinggi-tinggi.
“Pasukana hamba, Panglima Dewiii!” teriak Pajrit Kukus Asmara mendayu bergelombang sambil angkat pedang bersarungnya.
Mendengar suara Pajrit Kukus Asmara, Alma Fatara jadi kerutkan kening. Ia menduga dirinya salah mendengar suara.
“Kalian berdua maju ke sini!” panggil Alma Fatara.
Jika Pajrit Gandul Kulon berlari gagah menuju ke depan Alma Fatara, maka Pajrit Kukus Asmara berlari melenggang dengan satu tangan ditekuk ke atas di sisi kanan, tangan kiri melenggang seperti tukang jamu berjalan. Dadanya kemajuan dan bokongnya ketinggalan.
“Jiahahahak ...!” tawa terbahak Alma Fatara melihat gaya lari Pajrit Kukus Asmara. Dia sampai memegangi perutnya.
Pajrit Kukus Asmara hanya tersenyum-senyum ketika dia dan Pajrit Gandul Kulon berdiri sikap sempurna di depan Alma Fatara dan Ning Ana.
“Siapa nama kalian? Hahaha!” tanya Alma Fatara dengan masih menyisakan tawanya.
“Hamba Pajrit Gandul Kulon dari pasukan tombak, memimpin lima puluh prajurit!” jawab Pajrit Gandul Kulon lantang seperti prajurit sungguhan.
“Hamba Pajrit Kukus Asmara dari pasukan pedang, memimpin lima puluh prajurit!” jawab Pajrit Kukus Asmara kembali mendayu semi merdu. Terlihat kedua tangannya bergerak-gerak kecil seolah-olah tidak betah diam, sepertinya ingin melambai-lambai.
“Hahahak!” tawa Alma lagi gegara mendengar nada bicara Pajrit Kukus Asmara yang mendayu dengan gestur jari tangan yang melambai.
Lalu perintahnya kepada Panglima Pulung Seket.
“Paman Panglima, atur dan rapikan kembali pasukan sebelum kita berangkat ke Ibu Kota Jintamani!”
“Baik, Dewi Alma!” jawab Panglima Pulung Seket.
“Tugas kalian, catat semua unsur pasukan dan apa saja yang sekarang kita miliki. Lalu laporkan kepadaku!” perintah Alma Fatara kepada kedua kepala prajurit di depannya.
Setelah itu, Magar Kepang dan Garam Sakti tiba di dekat Alma Fatara. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
Alma selalu menyesuaikan dirinya yakk🤭, mana disaat serius mana juga di saat bercanda..
good 🧚♀️🧚♀️
2023-08-29
2
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
buahahahsh knpa harus gigi ompong dulu weh🤣🤣🤣🤣🤣🤭
kan kerennya si Alma jdi ilang
2023-08-29
2
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
selalu suka sama karakter ning ana disini.. meski takut tpi tetap mencoba memberanikan diri walau pada akhirnya ia tetap ketar ketir 🤭🤭🤭🤣
2023-08-29
2