*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*
Seribu dua ratus tiga puluh tujuh prajurit yang kini menjadi pasukan di bawah pimpinan Panglima Dewi alias Alma Fatara Dewi Dua Gigi.
Mereka masih memiliki banyak logistik. Bahan makanan sangat banyak dan berlebih untuk pasukan itu saja. Banyak perlengkapan yang sangat dibutuhkan oleh pasukan di masa-masa beristirahat atau di luar perang.
Mungkin karena suka dengan model pembawaan Pajrit Kukus Asmara, Alma Fatara menugaskan kepala prajurit itu untuk menjadi utusan pembawa pesan.
“Kukus!” sebut Alma pada saat menjelang malam itu, di saat dia dan pasukan barunya siap berangkat menuju Ibu Kota.
“Siaaap, Panglima Dewi!” pekik Pajrit Kukus Asmara yang langsung mendayu di depan.
“Hahaha!” tawa Alma Fatara pendek mendengar kekhasan itu.
“Pergi temui pemimpin pasukan kadipaten yang ada di depan benteng Ibu Kota. Sampaikan kabar bahwa pasukan Panglima Dewi dalam perjalanan ke Ibu Kota!” perintah Alma Fatara.
“Siaaap, Panglima!” pekik Pajrit Kukus Asmara masih melengking dan mendayu.
“Jika ada yang menghadang dan membunuhmu, sebut nama Ning Ana!” kata Ning Ana pula yang berdiri selalu di dekat Alma Fatara.
Kali ini Kukus Asmara tidak menjawab, karena dia bingung untuk menerjemahkan maksud dari omongan Ning Ana.
“Untuk apa menyebut namamu?” justru Alma yang bertanya kepada Ning Ana.
“Agar jika dia dibunuh bisa mengingat wajah cantikku. Jadi dia bisa mati bahagia,” jawab Ning Ana lantang.
“Hahaha!” tawa Alma Fatara.
“Siaaap!” pekik Pajrit Kukus Asmara.
“Hahahak!” pekikan kepala prajurit itu justru membuat Alma kian terbahak. Lalu katanya setelah tawanya reda, “Sudah, pergilah. Jangan lupa membawa obor agar kau terlihat gagah!”
“Siap, Panglima!” jawab Kukus Asmara dengan suara yang berat dan menggelegar, seperti suara lelaki sejati. Setelah itu dia berbalik pergi untuk melaksanakan tugas.
“Hahaha!” Alma Fatara masih tertawa sambil memegangi perutnya. Suara lelaki sejati Kukus Asmara berhasil mengejutkannya sehingga tawanya berkelanjutan.
Setelah Pajrit Kukus Asmara pergi dengan berkuda dan membawa obor, Alma Fatara mendatangi Panglima Pulung Seket.
“Paman Panglima, apakah semua prajurit sudah memakai tanda tali di kepalanya?” tanya Alma Fatara.
“Sudah, Panglima Dewi,” jawab Panglima Pulung Seket yang saat itu mengikat kepalanya dengan seutas tali yang tidak begitu besar. Itu adalah tanda sebagai pembeda dengan pasukan Kerajaan Jintamani yang pro Senopati Gending Suro.
“Apakah semuanya sudah makan?” tanya Alma lagi.
“Sudah, Panglima Dewi,” jawab Panglima Pulung Seket.
“Apakah Paman sudah makan?”
“Sudah dua kali, Panglima Dewi.”
“Bagus. Seorang panglima harus punya tenaga dua kali lipat dari pasukannya. Hahaha!”
Alma Fatara lalu pergi menaiki kudanya. Panglima Pulung Seket, Ning Ana, Magar Kepang dan Garam Sakti segera mengikuti naik kuda. Demi keamanan, Ning Ana satu kuda dengan Garam Sakti.
Ning Ana sebenarnya bisa berkuda, tetapi kuda yang sering dia naiki adalah kambing kesayangannya.
Kekurangan kuda membuat para pemimpin itu memakai kuda penarik gerobak perbekalan.
Pasukan sudah berbaris dengan banyak menyalakan obor. Satu obor berlaku untuk dua orang. Jadi, meski kondisi alam sudah gelap, mereka tetap terlihat begitu ramai dan terang.
“Pasukan Pembebas Jintamani, berangkaaat!” pekik Panglima Pulung Seket keras membahana.
“Pasukan siaaap!” teriak setiap kepala prajurit menyambut seruan itu.
Maka, pasukan berjumlah seribu dua ratus tiga puluh tujuh orang itu mulai bergerak teratur berjalan kaki mengikuti kuda para pemimpin yang berjalan biasa.
Sementara itu di tempat lain, Genggam Sekam kembali mengirim utusan kepada pasukan pimpinan Adipati Lalang Lengir.
Saat mendekati posisi penyergapan pasukan Adipati Lalang Lengir, sang utusan berpapasan dengan beberapa kuda tanpa penunggang. Itu adalah sedikit dari kuda yang kabur berbalik arah. Dengan itu, sang utusan bisa menerka apa yang terjadi di depan sana.
Maka, ketika mendekati titik kekacauan yang ada banyak mayat di jalanan, sang utusan berinisiatif agar tidak menjadi korban salah orang.
“Utusan Pasukan Pembebas Jintamani! Utusan Pasukan Pembebas Jintamani!” teriak prajurit utusan sambil mengangkat tinggi obornya dan menggerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri.
Prajurit utusan itu berulang kali berteriak. Hingga akhirnya ada beberapa prajurit yang muncul menghadang kudanya.
“Aku utusan Pasukan Pembebas Jintamani! Aku diutus Pendekar Tongkat Berat!” teriak sang utusan panik, khawatir jika tahu-tahu ada anak panah telah bersarang di lehernya.
“Tahan! Itu utusan dari pihak kita!” teriak satu suara lelaki dari dalam kegelapan. “Matikan obornya!”
Buru-buru prajurit utusan mematikan obornya. Maka tempat itupun kembali gelap total.
Sementara itu, Panglima Galagap dilanda rasa penasaran terhadap pasukan musuh yang tidak menampakkan diri. Dia berkeyakinan bahwa pasukan musuh masih ada tapi menyembunyikan diri. Namun, dia butuh bukti untuk menguatkan keyakinannya.
“Lempar!” perintah Panglima Galagap.
Dag dag dag!
Tiga mesin pelontar sederhana melemparkan tiga gentong kayu kecil jauh ke depan benteng.
Brak! Brak! Brak!
Ketiga gentong kayu itu pecah menghantam tanah di kegelapan.
“Bodoh!” maki Panglima Galagap kepada dirinya sendiri. Ia baru sadar dengan kebodohannya, tapi dia tetap memerintahkan prajuritnya untuk melepaskan panah api, “Panah minyaknya!”
“Kami tidak bisa melihat di mana gentongnya jatuh, Gusti,” kata prajurit panah bingung.
“Di terka-terka saja. Ayo panah!” perintah Panglima Galagap agar tidak disalahkan.
Set set set!
Maka, setelah membakar anak panah yang sudah dipasang di mesin panah belalang, para prajurit segera melepas panah apinya.
Namum, panah-panah api itu menancap di tanah yang kering. Tidak ada satu pun yang berhasil mengenai minyak yang pecah.
“Lempar gentong-gentongnya ke titik api!” perintah Panglima Galagap lagi, menemukan solusi.
Dak dak dak!
Maka tiga gentong berisi minyak kembali dilempar dengan target jatuh di titik-titik api.
Sementara itu, dari jauh, dari tempat yang gelap, Pasukan Pembebas Jintamani pimpinan Adipati Lalang Lengir memantau apa yang dilakukan oleh Pasukan Keamanan Ibu Kota.
Braks! Braks! Braks!
Rupanya lemparan prajurit pelontar gentong minyak jitu juga. Drum jatuh pecah di sekitar titik-titik api. Api besar langsung tercipta di tiga titik. Namun, itu terlalu kecil untuk memberi penerangan bagi area kosong yang luas di depan benteng.
“Lempar!” perintah Panglima Galagap. Dia butuh gentong minyak yang lebih banyak untuk menciptakan lautan api.
Maka prajurit pun kembali melempar gentong minyak tiga-tiga.
Akhirnya terciptalah lautan api yang cukup luas, yang memanjang melebar. Namun, hingga pasukan benteng itu menghabiskan tiga puluh gentong untuk membuat lautan api yang besar, tetapi terangnya belum bisa menjangkau keberadaan seorang pun prajurit musuh.
Memang, posisi Pasukan Pembebas Jintamani terlalu jauh untuk dijangkau oleh cahaya api.
“Sudah, buang-buang minyak saja!” rutuk Panglima Galagap kesal.
Dia lalu berbalik pergi menuju tangga. Sementara para prajurit hanya saling pandang.
Tidak berapa lama kemudian ....
“Siapa yang lancang memakan buburku?!” teriak Panglima Galagap menggelegar. Ia begitu marah saat melihat mangkok buburnya sudah habis.
Gemetar ketakutanlah para kepala prajurit yang menjadi teman makan sang panglima. Namun, mereka sama-sama menunjuk ke satu orang yang wajahnya paling pucat dan dengkulnya paling gemetar. Baru kali ini mereka melihat sang panglima semarah itu.
Pajrit yang bernama Kerismon itu memang sebelumnya tidak ada di saat para pajrit makan bubur kacang merah bersama sang panglima. Ketika datang dan melihat ada bubur menganggur di meja, tanpa tanya lagi dia langsung sikat sambil aktif bercerita tentang istrinya yang mau melahirkan, padahal hitungan umurnya masih kurang satu bulan lima hari.
“Kerismooon!” teriak Panglima Galagap dengan wajah merah kelam dan melotot seperti orang yang tersedak biji mangga.
“Hamba, Gusti Panglima,” sahut Pajrit Kerismon dengan suara bergetar jelas.
“Kenapa kau makan buburku, hah?!”
“Anu, Gusti. Hamba hanya ... hanya mau kecipratan tuah dari Gusti Panglima,” jawab Pajrit Kerismon yang ternyata otaknya jalan di kala dia takut.
“Apa maksudmu?” tanya sang panglima masih membentak, tapi tinggi nadanya turun dua oktaf.
“Gusti Panglima selama ini adalah orang yang selalu aku puja-puja. Jadi, aku memakan buburnya agar kelak aku bisa mendapat tuah dan kecipratan nasib baik menjadi seorang panglima. Yaaa, setidaknya jadi pengawal panglima,” jawab Pajrit Kerismon.
“Oooh seperti itu. Ya sudah, aku maafkan. Sebagai hukumannya, ambilkan aku dua mangkuk bubur kacang merah hangat,” kata Panglima Galagap dengan nada melunak.
“Si-si-siap, Gusti Panglima!” ucap Pajrit Kerismon seraya tersenyum. Saking gembiranya, dia sampai tergagap. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
ikutan bengek sama kelakuan kukus 😆😆😆😭
2023-09-10
1
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 Butter ᝯׁ֒ꫀᥣᥣіᥒᥱ༅
kukus? ku kira kue kukus 😭🚶♀️ seketika lgsung laper🤸♂️🤸♂️🤸♂️
2023-09-10
1
Senajudifa
gmn ceritax om😁😁
2023-07-24
1