Part 12

Nandini yang melihat keterkejutan Fatimah usai menerima telepon penasaran dan juga khawatir. Lekas ia bertanya, "Ada apa Kak?." ucap Nandini memegang pundak sang kakak.

"Wati meninggal, Nandini." lirih Fatimah.

"Innalillahi wa innalillahi rajiun!." Jawab Nandini.

Fatimah bergegas berganti baju, tidak sempat untuk mandi. Tidak lupa dia mencari tas dan memasukkan handphone nya ke dalam tas.

"Kakak pergi ke rumah sakit dulu." ucap Fatimah kepada Adiknya.

"Iyah Kak."

.

.

.

Sesampainya di rumah sakit, sudah ada Zidan di sana. Ternyata Zidan juga di hubungi oleh pihak rumah sakit.

"Zidan!." panggilnya setelah sudah begitu dekat dengan Zidan.

"Fatimah!. kamu harus menghubungi pihak keluarga Wati." ucap Zidan.

Kemudian Fatimah mencari Handphone nya di dalam tas lalu mencari kontak Ibu nya Wati.

Dddrt,

Dddrt,

Dddrt,

"Tidak di angkat!." ucapnya ke pada Zidan.

Beberapa panggilan tidak di angkat oleh Ibu nya Wati, Jadi Fatimah dan Zidan memutuskan untuk membawa jenazah Almarhum Wati ke kampung.

Kemudian Zidan segera menyelesaikan semua administrasi dari rumah sakit untuk memulangkan jenazah termasuk juga menyewa Ambulans.

Setelah selesai Fatimah dan Zidan masuk ke dalam mobil milik Fatimah dengan Zidan yang menyetir. Mobil melaju dengan iringan Ambulans di belakangnya.

Setibanya di kampung, sudah ada bendera kuning yang berkibar di gang menuju rumah Wati. Sebelumnya Fatimah menghubungi pihak aparat setempat yang ia tahu karena Ibu nya Wati tidak juga menjawab panggilannya.

Setelah Aparat setempat mendatangi pihak keluarga dan menyampaikan langsung kepada Bapa Wati, Bapa Wati histeris mendengar kabar meninggalnya anaknya. Bahkan dia tidak tahu kalau sebelumnya Wati kecelakaan.

Itu artinya Ibu Wati tidak menyampaikan apapun tentang keadaan Wati kepada suaminya.

Rumah itu sudah ramai di penuhi pelayat, mata-mata sembab seolah menyiratkan kesedihan termasuk Bapa Wati dan adik-adiknya.

Jenazah sudah di masukkan ke dalam rumah di bantu oleh para tetangga dan petugas medis yang mengantar jenazah.

Fatimah melewati beberapa pelayat sambil mengucapkan permisi dan tersenyum kepada beberapa orang yang ia kenal.

"Jigana mah lain sakit liver!." (Sepertinya bukan sakit Liver!.)

"Sakit AIDS."

"Meureun baheula keur di jakarta, manehna damel janten awewe teu bener." (Mungkin dulu waktu di Jakarta dia jadi perempuan yang tidak baik.)

Fatimah menoleh pada sekumpulan Ibu-ibu yang bergerombol di salah satu sudut pekarangan. Salah satu dari mereka pun menyadari, Fatimah tengah mencuri dengar pergunjingan itu. Ia kemudian memberi isyarat kepada teman-temannya untuk berhenti bergosip. Seolah mengerti tanpa di suruh dua kali, kemudian gerombolan Ibu-Ibu tadi membubarkan diri sambil tertunduk memalingkan wajah. Mungkin merasa malu karena sudah terciduk meng-ghibahi seseorang yang sudah meninggal.

Tanpa banyak kata, Fatimah dan Zidan memasuki rumah yang tergolong mewah. Rumah yang di bangun dari hasil kerja keras Wati selama di kota.

"Fatimah apa yang terjadi dengan Wati di sana?." tanya Asep, Bapak dari Wati.

"Wati kecelakaan pak." Jawab Fatimah.

Asep limbung dan tak bisa menahan bobot tubuhnya, namun di bantu oleh Zidan untuk duduk. "Ya Allah, Malang sekali nasib mu, Nak!."

"Sudahlah Pak itu karma karena dia di sana kerja gak bener." ucap Marni.

Asep menatap tajam Marni "Hussh Bu, Wati itu anak mu!."

"Cuman Anak tiri!." Jawab Marni lalu berjalan menjauh menuju kamarnya.

Fatimah heran dengan sikap Bu Marni dia juga tidak menyangka di hadapan jenazah Wati Bu Marni tega berkata buruk dan menjelekkan Almarhumah. Jika Wati masih hidup dia pasti sedih mendengar apa yang di katakan Ibu tirinya, bagaimanapun Wati bekerja keras di Kota demi keluarga nya.

Bulir air mata membasahi pipi mulus Fatimah, dia duduk terpekur di hadapan jenazah temannya. Terus memperhatikan orang-orang yang sedang membungkus tubuh Wati dengan kain kafan sambil sesekali mengusap air mata menggunakan punggung tangannya.

Mendadak rasa nyeri menyelubungi hati, merasa takut jika tiba-tiba Tuhan mengutus malaikat kematian untuk mencabut nyawanya sementara dia belum bertobat.

Dia tidak ingin meninggal dalam keadaan seperti Wati temannya yang terlihat begitu menakutkan.

.

.

.

Pukul sebelas siang, jenazah Wati di makanan di pemakaman umum tidak jauh dari tempat tinggal Wati.

Asep, Bapak Wati menangis meraung-raung melihat tubuh anaknya di masukkan ke dalam Liang Lahat, bahkan hampir tidak sadarkan diri ketika para penggali kubur menimbun tubuh anak sulungnya dengan tanah.

Dia begitu terpukul, selalu di liputi rasa bersalah sebab sampai nafas terakhir Wati pun dia tidak ada untuk menemani anaknya.

"Maafin Bapak, sayang. Maafkan Bapak karena sudah lalai menjaga kamu. Seharusnya Bapak yang banting tulang kerja di kota, mungkin kamu tidak akan jadi seperti ini!." lirih Asep sambil menabur bunga di atas pusara anaknya.

"Sudah Pak, ini sudah takdir Tuhan!." ucap Zidan sambil memegang pundak Asep. Fatimah menoleh ke arah Zidan sempat tertegun dengan perkataan Zidan kepada Bapaknya Wati, dia menyadari bahwa Zidan akhir-akhir ini sering membahas tentang Tuhan, bahkan dia juga menyuruh nya untuk berhenti melakukan pekerjaan haram.

Setelah membaca doa, satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman.

Kini tinggal Fatimah, Zidan dan keluarga Wati lainnya yang masih berada di dekat pusara, sebab baik Fatimah maupun yang lainnya merasa tidak tega meninggalkan Asep sendiri di pekuburan. Asep di temani anak-anaknya sedangkan istri nya tidak ikut ke pemakaman.

"Ayo, Pak. Sebaiknya kita pulang sekarang. Ikhlaskan kepergian putri Bapak supaya Almarhumah tenang di alam sana." ucap Zidan lalu membantu Asep untuk berdiri.

"Saya berhutang budi kepada Nak Zidan dan Nak Fatimah yang berkenan menolong anak saya selama di kota, saya betul-betul tidak tahu kalau Wati kecelakaan. Kalau saya tahu, saat itu juga saya akan datang ke kota menemani Wati. Jadi saya mengucapkan banyak terima kasih kepada kalian." lirih Asep masih nampak bekas air mata di wajah pria paruh baya yang sudah renta itu.

"Kita memang tidak tahu kapan azal menjemput kita, jadi Bapak tidak perlu merasa bersalah. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mendoakan Almarhumah supaya di terima di sisi Tuhan, di ampunilah dosa-dosanya dan semoga di tempatkan bersama dengan orang -orang sholeh." ungkap Zidan panjang lebar.

Lagi-lagi Fatimah tertegun mendengar perkataan Zidan. Fatimah merasa laki-laki di sampingnya itu bukan laki-laki yang ia kenal selama ini. Fatimah mengenal Zidan sebagai pria yang urakan, mabuk-mabukan dan suka bermain bersama wanita, bahkan pertemuannya pertama kali di kota ialah di tempat Cafe Madam Sindy.

Namun akhir-akhir ini memang Fatimah tidak pernah melihat Zidan datang ke Cafe dan saat pertama kali bertemu kembali dengan Zidan, laki-laki itu benar-benar berubah.

"Hei Fatimah!. Kenapa kamu melamun?." tanya Zidan membunyarkan ia dari lamunannya.

"Eng-enggak.". jawab Fatimah kikuk.

"Kita pulang sekarang?." tanya Zidan.

Fatimah menganguk dan mengikuti Zidan dari belakang. Pak Asep beserta anak-anaknya sudah tidak ada di pemakaman saking asyiknya ia melamun Fatimah tidak sadar bahwa hanya tinggal ia dan Zidan yang masih berada di pemakaman.

...*** MOHON LIKE DAN KOMMENT NYA YAH ***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!