Part 1

Fatimah kembali membawakan Nandini makanan, kemudian mengeluarkan nasi bungkus yang ia beli lalu memberikannya satu untuk Nandini.

"Setelah ini kakak mau mencari alamat Wati." ucap Fatimah memulai percakapan tanpa melihat wajah sang adik.

Nandini mendongak dan menatap wajah Fatimah khawatir "Apa sebaiknya kakak istirahat dulu, kita kan baru sampai di kota. Kakak pasti capek" ucap Nandini takut Fatimah kelelahan karena perjalanan dari kampung kota itu jauh.

"Tidak, Ini masih siang, kakak tidak ingin membuang waktu. Kakak mau beli ponsel dulu setelah itu menghubungi Wati." jelas Fatimah yang tahu kekhawatiran Nandini, sedangkan mereka sangat membutuhkan uang. Menurutnya semakin cepat ia mendapatkan pekerjaan semakin cepat juga dia mendapatkan uang.

"Baik kak, terserah kakak. Tapi kakak hati-hati yah!"

Fatimah mengangguk lalu menyuapkan nasi ke mulutnya, sebagai kakak dia harus kuat menghadapi keras nya kehidupan. Nandini saat ini bergantung dan mengandalkan dirinya, hanya dia yang Nandini punya.

Fatimah juga sangat menyanyangi adik nya itu, ia tahu penyakit yang di derita Nandini adalah penyakit mematikan. Fatimah belum siap kalau harus kehilangan adik satu-satunya itu, ia ingat ketika sang Ayah meninggal dunia Fatimah begitu sangat terpukul kehilangan sosok pelindung dan penjaganya itu. Jadi ia juga tidak mau kehilangan sang adik, Fatimah rela berjuang bekerja keras mencari uang demi membayar biaya pengobatan Nandini supaya Nandini bisa hidup lebih lama dengannya.

***

Fatimah keluar dari kontrakan lalu berniat membeli HP terlebih dahulu. Kota ini besar takut nyasar dan malah buang-buang ongkos, pikirnya.

Setelah mendapatkan HP baru dengan nomer baru tentunya. Lalu Fatimah menghubungi temannya, Wati.

"Halo" terdengar suara Wati di sebrang sana.

"Halo Wati, ini aku Fatimah,"

"Fatimah? Fatimah yang mana?"

"Aduh ini aku Fatimah, teman SMA dan sekampung kamu, Ingat?. Beberapa bulan yang lalu kita bertemu di terminal saat kamu pulang kampung. Dan kamu memberikan nomer mu kepadaku." jelas Fatimah semangat menjelaskan.

"Oohh Fatimah, soalnya aku tahu kamu gak punya handphone takut jika ada orang yang iseng, jadi aku berhati-hati. Maaf yah Fatimah."

"Iyah gak papa Wati. Aku sudah sampai di kota, kamu dimana?."

Wati memesankan Fatimah taksi online yang akan menjemput Fatimah di counter ini. Tidak lama kemudian taksi pun datang yang sebelumnya menghubungi Fatimah terlebih dahulu, aku menuju rumah kontrakan Wati. Dia berharap Wati bisa membantunya mendapatkan pekerjaan.

Taksi berhenti di depan sebuah rumah di sebuah perumahan. Suasana tampak sepi meskipun hari sudah siang. Kala Fatimah turun terlihat Wati membukakan pintu seperti tahu akan kedatangannya. Ia tersenyum menyambut.

"Aku ngga nyangka kamu bisa sampai ke sini."

Mereka berpelukan karena sudah lama tidak bertemu, pertemuan mereka pada saat di terminal dan itu sudah sangat lama sekali. Fatimah saat itu masih ragu untuk menerima ajakan Wati bekerja di kota.

Tapi setelah keadaan Fatimah semakin terjepit seperti sekarang ini. Dengan sangat terpaksa ia harus mau merantau ke kota. Dengan begitu ia bisa membayar hutang pengobatan Nandini kepada tetangga nya yang sudah membantunya saat Nandini di opname. Beruntung ada yang membeli tanah dan rumahnya di kampung sehingga ia sekarang sudah berada di Kota saat ini.

"Wah kamu beneran Wati?"

"Aduh, Fatimah. Apa kamu hilang ingatan sampai ragu begitu.Tapi kalau di sini kamu memanggilku Helen saja, yah!"

"Kenapa begitu,"

"Udah ga usah banyak tanya, aku merasa nama Wati sedikit kampungan jadi aku merubah nama ku di kota menjadi Helen. Jadi sebaiknya kamu memanggilku Helen yah!"

"Iiyah terserah kamu deh, aku panggil kamu Helen."

"Good job Fatimah." Wati tersenyum senang.

Sebenarnya Fatimah sangat tidak menyangka Wati akan sangat berubah. Tidak ada Wati yang rambutnya di kepang dan rok yang panjang. Ia sekarang memakai celana pendek dan bahkan seperti celana dalam. Bukan hanya itu, baju nya itu juga mencetak buah dada nya.

"Hey," seru Wati sambil mencoel dagu Fatimah. "Kenapa malah bengong, ayo masuk!" tangan Fatimah di tarik oleh Wati masuk ke dalam.

Rumah Wati kecil tapi cukup bersih dan rapih. Sofanya juga empuk. Bukan hanya itu saja, di meja makan terhidang makanan jajanan seolah Wati memang sedang menyambut Fatimah.

"Kamu sama siapa ke sini?"

Fatimah menceritakan semua kepelitan dalam hidupnya yang harus pontang panting bekerja mencari uang. Termasuk nekad menjual harta satu-satunya peninggalan Ayahnya, rumah dan tanah agar bisa membayar hutang kepada tetangga-tetangganya, dan sisa nya ia gunakan untuk biaya hidup mereka di kota.

"Kamu yang sabar yah Fatimah, Nandini beruntung memiliki kakak kayak kamu."

"Seperti nya Nandini tidak beruntung punya kakak seperti aku, yang payah dan tidak berguna ini. Kalau saja dia punya kakak yang kaya, dia tidak akan hidup susah bahkan mungkin ia akan menjalani pengobatan yang mahal dan Nandini akan cepat sembuh."

"Kamu jangan berbicara seperti itu. Tidak ada seorang kakak yang banyak berkorban demi kesembuhan adiknya dan mengesampingkan kehidupanya hanya demi kebahagiaan sang adik seperti yang kamu lakukan sekarang. Nandini pasti bangga menjadi adikmu."

"Entahlah, aku harap semua yang kamu katakan benar" ujar Fatimah tersenyum.

"Tentu saja" jawab Wati.

Hening seketika tidak ada ynag berbicara, lalu Fatimah menjelaskan maksud kedatangannya.

"Aku butuh kerjaan Wati. Apakah di tempatmu bekerja ada lowongan?"

"Tenang saja... Aku pasti kan kamu dapat kerja di sini. Tapi..." Wati melihat ke arah rok yang Fatimah kenakan.

"Ada yang salah?"

"Kamu harus berubah agak kekotaan. Jangan gaya kampungan."

"Aku ada bajunya," Fatimah teringat baju yang ia beli, belum pernah ia pakai.

"Tidak, kamu pakai baju ku saja. Kita langsung temui bos aku sore ini karena aku juga harus masuk kerja. Aku yakin gadis secantik kamu pasti di terima bekerja."

Sore ini Fatimah di bawa oleh Wati menemui bos nya. Pakaiannya sangat tidak nyaman karena rok pendek dan baju ngepas dibadan. Wati bilang, ini baju yang biasa jika bekerja di sana. Sepertinya Fatimah harus terbiasa asalkan ia dapat kerjaan.

Mereka sampai di sebuah bangunan yang terlihat banyak mobil-mobil bagus terparkir di depannya. Masuk ke tempat ini, jalannya sepi. Mata Fatimah fokus melihat bangunan yang tidak ada namanya. Biasanya kalau kantor pasti ada nama perusahaan terpampang di depan bangunan.

Kala melangkah masuk, Fatimah berjalan di belakang Wati,

"Ayok jangan bengong," tangan Fatimah di tarik.

"Wati, kok pengunjungnya kebanyakan laki-laki ya?"

Terlihat di dalam kafe ini banyak kaum lelaki duduk sambil minum dan merokok. Bukan hanya itu, mereka duduk seperti bermain judi dengan adegan sinetron yang sering Fatimah tonton di televisi bersama Nandini.

Banyak mata melihat Fatimah, ada yang mengedipkan mata dan ada yang tersenyum genit. Fatimah sangat risih sehingga memegang erat kengan Wati.

"Kamu duduk di sini dulu yah, aku mau temui bos dulu di ruangan."

"Wati, aku takut sendirian." Fatimah memegang erat tangan Wati ketakutan.

"Jangan takut, lagian mereka hanya melihat saja kok."

Wati tetap meninggalkan Fatimah sendirian di sofa, lalu ia berlalu masuk ke ruangan tak jauh dari tempat Fatimah duduk.

Beberapa wanita berpakaian seksi mengantarkan minuman ke meja-meja. Apakah itu pekerjaan yang di katakan Wati?, batin Fatimah bertanya. Kalau di lihat pekerjaannya mudah hanya mengantarkan minuman saja. Hanya cara berpakaian nya yang kurang bagus.

"Fatimah." tiba-tiba seseorang memegang pundak Fatimah.

Fatimah mengalihkan pandangannya ke belakang.

"Ma-Mas Zidan" Fatimah terkejut melihatnya sudah berdiri di belakang Fatimah sambil membawa minuman.

Bersambung.....

...*** MOHON BANTU LIKE DAN KOMENT YAH ***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!