Paman Ahmad selain terkenal sebagai guru ngaji, beliau juga sering dipanggil untuk mengobati orang yang kesurupan dan kena sihir, selain itu, paman Ahmad juga memiliki ilmu bela diri yang cukup mumpuni. Alhamdulillah dari beliau lah aku belajar bela diri dan ilmu tenaga dalam.
"Kang Parmin, sebaiknya akang jangan hanya menjerit jerit begitu, akang harus banyak istighfar dan mohon pertolongan pada Allah biar akang diberi kesembuhan. Bu Jasnah, bantu suami ibu agar mau beristigfar!" perintah paman pada keluarga Parmin.
Bu Jasnah segera membantu Parmin agar istighfar, sementara aku segera melaksanakan salat sunnah dan membantu paman dengan doa yang sudah diajarkan padaku.
Kulihat keringat paman mengucur deras di pelipisnya, mulutnya tak henti-hentinya melantunkan doa dan ayat Alquran, hingga akhirnya tubuh Parmin terguncang hebat dan keluar lah asap hitam dari tubuhnya.
"Aaaaa!" Parmin menjerit histeris seiring keluarnya asap hitam itu, asap hitam itu bergulung dan naik ke atas langit-langit kamar kemudian keluar dengan cara menembus atap.
"Mon, cepat kejar asap hitam itu dan lihat ke arah mana dia pergi," Mendengar titah paman, aku segera melompat keluar dan mengikuti ke mana asap itu pergi.
Kulihat asap itu masuk ke atap sebuah rumah yang paling mewah di antara rumah warga desa lainnya. Setelah memastikan ke mana asap itu masuk, aku segera kembali ke tempat Parmin.
"Alhamdulillah santet nya sudah berbalik pada yang mengirim" ujar paman sambil mengelap keringat nya.
"Alhamdulillah, terima kasih pak Ahmad. Pak Ahmad benar-benar hebat," puji Bu Jasnah dan beberapa orang lainnya. Kebiasaan warga kampung, kalau ada yang mengobati kemudian pasien sembuh, pasti yang dipuji adalah orangnya. Padahal, segala sesuatu adalah atas izin Allah. Harusnya Allah lah yang harus dipuji dan manusia harusnya hanya diberi ucapan terima kasih.
"Jangan begitu Bu, bukan saya yang hebat ini semua anugerah Allah, saya hanya bantu doa saja," jawab Paman dengan rendah hati. "Oh ya,
gimana sekarang keadaan kang Parmin? Apa masih ada yang sakit kang?" lanjut Paman sambil tersenyum ke arah Parmin yang sudah mulai sadar sepenuhnya.
" Alhamdulillah udah gak sesakit tadi, terima kasih Pak Ahmad dan ah ... kkkaamý ... kamu ..?" Parmin tak kuasa melanjutkan kata katanya ketika melihatku yang kini sudah berada di samping paman.
Wajah Parmin kembali memucat dan menampakkan ketakutan yang luar biasa.
"Ah, ini Mona keponakan saya yang baru datang dr kota tadi malam. Katanya dia juga dicegat begal semalam, tapi Alhamdulillah berhasil kabur."
Mendengar penjelasan paman, wajah Parmin semakin pias dan ketakutan. Aku yang paham hanya tersenyum simpul.
"Pak Parmin tidak usah takut, saya tidak akan membocorkan rahasia Bapak, asal Bapak beritahu kami siapa dalang di balik teror yang melanda desa ini?" bisikku di depan Parmin dan istrinya.
"Maksud Neng Mona bagaimana? emangnya suami saya kenapa? Pak, ada apa sebenarnya?" tanya istri Parmin keheranan sambil memandang ke arahku dan suaminya secara bergantian.
" A-a-akuu." Parmin membuka mulut ingin menjawab, tapi belum sempat dia menjawab, di luar terdengar orang mengucapkan salam.
"Assalamualaikum semua!" Ternyata Pak Lurah dan rombongannya yang datang.
“Alaikum salam wr wb, eh, pak Lurah, silakan, Pak! " Istri pak Parmin segera menyambut pak Lurah dan mengajaknya ke depan Parmin.
Kuperhatikan wajah Parmin semakin ketakutan melihat pak Lurah.
"Pak Ahmad, gimana keadaan Parmin sekarang?" tanya pak Lurah setelah menyalami Pamanku.
"Alhamdulillah sekarang sepertinya sudah mendingan, tapi masih perlu dibawa ke dokter untuk mengobati luka luarnya,” jawab paman.
"Oh kalau begitu, biar orang saya saja yang membawa Parmin ke klinik untuk diobati,” ujar pak Lurah sambil melirik ke arah Parmin.
Parmin tersentak dan semakin ketakutan.
"Tak usah Pak, saya mau diobati secara alternatif aja," tolaknya halus. Paman yang paham perasaan Parmin pun segera menengahi.
"Begini saja, Parmin akan tetap dibawa ke klinik, dan biar saya juga ikut dengannya." Setelah dibujuk, akhirnya Parmin mau dibawa ke klinik.
"Neng Mona, sebaiknya Neng Bapak antar pulang,ya? Tawar Pak lurah sambil tersenyum aneh.
Karena rasa penasaranku pada pak Lurah, aku pun mau diantarnya pulang.
"Neng, kita mampir ke rumah bapak dulu, ya, biar neng tahu rumah Bapak." Aku mengangguk pelan menanggapi pak Lurah. Beberapa menit kemudian kami sampai di depan sebuah rumah dan yang membuatku terkejut, rumah itu adalah rumah yang dituju asap hitam tadi.
"Astagfirullah, apa dugaanku tentang pak Lurah ini benar ya? Apa dia adalah dalang dari teror di kampung ini?" gumamku dalam hati.
"Ayo neng, masuk dulu!" Pak lurah mempersilakan aku masuk. Dengan perasaan tak menentu, aku masuk. Di dalam rumah terlihat sepi dan aku merasakan hawa mistis yang luar biasa.
"Pak, kenapa rumah Bapak sepi? Kemana Ibu lurah dan anak Pak lurah?" tanyaku berbasa-basi.
Pak lurah mendesah panjang, wajahnya tiba-tiba terlihat murung.
"Istri saya sudah meninggal 3bulan lalu, Neng. Tepat setelah saya dilantik menjadi lurah di Desa ini," tuturnya dengan wajah sedih.
"Kalau soal anak, bapak belum punya anak, karena bapak baru tiga buka menikah ketika istri bapak meninggal," tambahnya lagi.
"Oh begitu ya, Pak. Maaf, Pak, saya sudah membuat bapak sedih. Oh ya sekarang sudah hampir zuhur, saya pamit pulang dulu," jawabku sambil berpamitan. Entah mengapa aku merasa gugup kalau berada di depannya.
Aku berpamitan pada Pak Lurah, dan bergegas menuju rumah Paman.
****
Hari berganti malam, udara terasa semakin dingin. suara jangkrik dan binatang-binatang malam kian bersautan melantunkan irama malam yang menjadi ciri khas suara malam di perkampungan.
"Bu, udah malam begini kenapa Bapak belum pulang?" tanya Ani pada Bi Mira. Paman Ahmad memang belum pulang sejak pagi, karena beliau mengantar Parmin ke klinik.
"Tadi bapakmu telfon, dia akan menunggui Parmin di klinik," jawab Bi Mira.
"Wah, kalau pamanmu gak pulang, berarti kita cuma berempat dong, Mon? " Nisa menimpali, sepertinya dia mulai merasa ketakutan.
"Emangnya kalau kita cuma berempat kenapa Nis?" Aku menjawab sambil tersenyum geli melihat ketakutan di wajah Ani dan Nisa.
"Ih, ko kenapa sih, Teh, kan, kalau kita cuma berempat dn semuanya perempuan jadi serem gak ada yang jaga kita," timpal Ani dengan wajah cemasnya. Aku makin tertawa geli mendengarnya.
"Hhehe Ani dan Nisa, kalian ini ada ada aja. yang akan menjaga kita itu Allah Nis,
Jangan pernah menggantungkan harapan pada manusia Nis, kita ini muslim kan? Tentu kita harus yakin bahwa Allah lah yang melindungi kita."
"Tapi Teh..." Ani akan bicara lagi, tapi aku segera menyela agar mereka tak memperpanjang.
"Udahlah An, sekarang waktunya tidur. Kalau kalian takut, lebih baik kita tidur berempat biar lebih aman dan kalian juga lebih tenang." Ani dan Nisa bersorak kegirangan setelah mendengar usulanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments