"Apa? Tadi Nenek ngomong apa?" tanyaku spontan karena aku tak percaya bahwa mamahku pernah pacaran. Karena setahuku mamah dulu pernah mengatakan bahwa beliau tak pernah pacaran bahkan sama papah juga cuma kenal sebentar setelah itu papah langsung melamar mamah.
"Eh, dasar tuli, masih muda sudah tuli!" ketus Nenek itu dengan nada kasar.
"Neng Mona, Neng udah datang?" Suara bariton milik Pak Lurah itu mengagetkanku dan Nenek galak yang di sampingku.
Mendengar Pak Lurah datang, Nenek itu langsung pergi begitu saja tanpa sepatah kata.
Pak Lurah mendekat ke arahku dan mengambil figura poto dari tanganku. "Kamu pasti mengenali wajah perempuan di foto ini kan?" tanyanya sambil mengelus foto mamah di bagian wajahnya.
"Tentu saja aku kenal, tapi kenapa pak Lurah berbohong pada Nenek itu? Kenapa pak Lurah bilang pada nenek itu bahwa photo itu adalah photo mantan kekasih bapak, sedangkan mamah saya bilang bahwa beliau tak pernah pacaran. Saya yakin mamah saya gak akan bohong." protesku berapi-api.
Tanpa kuduga, bulir bening menetes deras dari mataku.
Dia tersenyum melihat ku berurai air mata.
"Mamahmu memang gak bohong, tapi aku juga gak berbohong," jawabnya membuatku bingung.
"Aku bilang dia kekasihku, karena aku sangat mencintainya bahkan sampai detik ini. Mamahmu juga gak bohong karena kami gak pernah pacaran. Mamahmu tak pernah mencintaiku dan memang dia tak pernah mau pacaran," jelasnya panjang lebar. Aku tersenyum lega karena aku tahu mamahku memang tak berbohong.
Akan tetapi senyumku kembali pudar saat ingat tujuan ku kerumah ini.
"Lalu apa alasan Pak Lurah melakukan teror di kampung ini?" Aku bertanya lagi setelah teringat bahwa dia adalah dalang di balik semua ini, tapi anehnya dia malah tertawa.
"Haha Neng, Neng, emangnya kapan Bapak bilang bahwa bapak lah dalang dari teror di Desa ini?" ujarnya sambil tertawa lepas. Aku memberanikan diri untuk mendekat ke arahnya.
"Semua bukti mengarah pada Anda, jangan Anda pikir saya tidak tahu," bisikku di depannya. Dia tersenyum menyeringai.
"Bukti yang mana, Neng? Lagi pula, kalau pun bapak dipenjara, teror itu akan terus berlanjut bahkan akan semakin mengerikan," ungkapnya datar.
"Astagfirullah, apa maksud Pak Lurah?" Aku kembali bertanya.
"Pokoknya begitu, kecuali kalau kamu bersedia membantu Bapak agar bersatu dengan ibumu, Bapak pasti menjelaskan tentang teror ini." Aku terperangah mendengar kata-katanya. .
"Anda benar-benar kurang ajar! kenapa Anda membawa-bawa nama ibuku?" teriakku sambil mengarahkan tinjuku ke wajahnya.
Namun, sebelum tinjuku mengenai wajahnya, ada seseorang yang tiba-tiba menyerangku dari belakang.
"Dasar anak kurang ajar! rasakan ini!"
Mata ku membulat sempurna ketika melihat ternyata yang menyerangku adalah nenek-nenek tadi.
"Nek, kenapa Nenek menyerangku?" tanyaku keheranan. Nenek itu malah makin murka .
"Dasar anak kurang ajar, kamu yang pertama menyerang cucuku, tapi masih bertanya kenapa aku menyerangmu. Rasakan ini!" Nenek itu berteriak sambil mengarahkan tongkatnya ingin memukulku.
"Astagfirullah Nenek ini sudah tua, tapi tenaganya luar biasa," gumamku dalam hati. Aku lihat Pak Lurah mendekat dan langsung menangkap tubuh Nenek itu.
"Nek, sudah, Nek!
Tolong jangan serang dia. Nenekkan sudah berjanji pada Arman bahwa Nenek gak akan menyakiti Marni dan anaknya, Nek!" bujuk Pak Lurah denga wajah memelas.
Namun si Nenek tadi masih saja berapi-api. Dia ingin menyerangku lagi, namun berhasil ditahan Pak Lurah.
"Neng Mona, sebaiknya Neng pergi dari sini dulu.
Ingat kata-kata bapak tadi, Minta ibumu kesini nanti bapak akan jelaskan semuanya. Kalau ibumu tidak datang, maka akan ada teror lebih mengerikan lagi," teriak pak Lurah masih sambil memeluk neneknya yang aneh.
Sementara diriku, masih tetap berdiri di tempatku.
Aku masih penasaran dan sekaligus geram dengan kata-katanya tentang mamah. Kenapa bisa-bisanya dia bawa-bawa mamah dalam teror ini.
"Aku tak akan pergi sebelum and jelaskan knapa anda bawa bawa ibu saya " jawabku lugas.
"Tidak, Mon, kamu harus pergi dari sini. Cepat pergi! ini bahaya bagi kamu, cepat pergi!" Pak Lurah terus berteriak semakin kencang karena si Nenek itu masih memberontak dalam pelukannya. Dia masih bernafsu ingin menyerangku.
Aku yang bingung akhirnya terpaksa pergi dari rumah psikopat itu.
Aku segera bergegas pulang ke rumah pamanku. Hatiku benar benar geram pada pak Lurah yang membawa-bawa nama ibuku dalam masalah di kampung ini.
"Dasar Pak lurah ngapain dia bawa-bawa mamah segala macam. Mana itu lagi si Nenek, kenapa dia sepertinya sangat membenciku? Kalau saja dia bukan seorang nenek, udah kuhajjar dia. Aakhh, tapi sayangnya dia udah nenek-nenek, takut dosa kalau menyerangnya.
Pada zaman dulu, Rasulullah dan para sahabatnya juga sangat menghormati orang orang tua yang sudah jompo walaupun orang tua itu bukan muslim." Aku terus menggerutu sepanjang jalan sampai-sampai aku tak sadar berpapasan dengan Paman.
"Mon, kamu dari mana ? Dan kenapa wajahmu seperti penuh amarah gitu, kamu terus menggerutu?" tanya pamanku yang sudah berada didepan.
"Eh paman, Mona dari rumah pak Lurah. Oh ya paman, ada yang ingin Mona bicarakan bisa gak kita pulang sekarang, Paman?" bisikku di depan nya.
Paman hanya mengangguk kemudian segera berpamitan pada warga desa yang bersamanya. Wajah paman terlihat memerah ketika mendengar ceritaku tentang pak Lurah yang sangat membawa namà mamah.
"Kenapa si Arman itu berani sekali menyebut nyebut nama Teh Marni?" geramnya dengan tangan terkepal.
"Bukannya dulu Arman itu sangat mencintai Teh Marni," timpal Bi Mirah yang tiba-tiba hadir di antara kami.
"Apa? Lalu apa maksud dia melakukan teror ini dan apa hubungannya dengan Teh Marni?"
Paman terlihat semakin geram.
"Sebaiknya kita bicarakan ini dngan Teh Marni, mungkin dia tau solusinya," usul Bi Mira itu kami terima dan paman pun segera menelfon mamah.
Tak lama kemudian, Paman mendengar kabar bahwa Mama dan Papa akan segera datang ke sini menjemputku. "Mon, beneran, Nyokap elu bakal ke sini?" tanya Nisa sangat antusias dengan kedatangan Papa dan Mama karena dia ingin segera pulang dari kampung ini.
"Mon, ayo ikut paman, mama kamu terjebak di hutan!" seru paman ketika aku sudah selesai salat isya.
Aku dan paman pun bergegas pergi ke hutan, tapi sebelumnya, kami terlebih dahulu mengajak warga agar menemani kami menjemput mama.
Tak lama kemudian, kami serombongan berjalan menuju hutan. Kami membawa obor dan lampu seadanya untuk menerangi jalan.
Di tengah hutan, kami mendengar suara perempuan menangis, "Paa, kamu di mana? Ya Allah, kamu kemana sih? papaaa!" teriak perempuan yang sepertinya adalah Mama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments