Aku sudah sampai diruang tamu ketika dia berhasil menyusulku. Dia memelukku dari belakang.
"Neng, Neng jangan pergi. Akang mohon!" bisiknya di telingaku.
"Kalau Akang menurutiku, aku tak akan pergi." Aku menjawab tanpa menoleh.
"Iya, tapi akang takut Nyi Ratu akan mencelakai kita semua."
Aku menoleh dan melepaskan pelukannya.
Aku mencoba tersenyum lembut.
"Dengar kang!.Akang Muslim, kan?" Aku bertanya sambil menatapnya sendu.
Dia hanya mengangguk. "Kalau Akang muslim, Akang harus percaya dan yakin bahwa tak ada yang bisa melampaui kekuatan Allah. Jin dan manusia smua hanya mahluk Allah.
Jin dan setan serta iblis terlihat kuat, itu karena manusia yang takut pada mereka. Jika manusia itu beriman pada Allah dan berserah diri pada Allah, percayalah, Jin dan sekutunya tak akan mampu menyentuh kita. Itu sudah menjadi janji Allah, dan Allah itu maha pemegang janji. Allah SWT pasti akan menepati janji-Nya."
Aku berusaha menjelaskan padanya. Berharap dia paham bahwa Allah lebih kuat dari semua ciptaan-Nya.
"Kuncinya kita harus yakin pada Allah dan harus tetap berada di jalan-Nya, jadi sekarang aku mohon bertaubatlah, dan kembalilah pada iman yang benar, Kang!
Akang harus benar-benar yakin bahwa Allah lebih kuat dari Jin itu." Aku menjeda kata-kataku dan kembali menatapnya yang kini terlihat termenung. Aku sangat berharap dia merenungi nasehatku tadi.
"Kita akan adakan pengajian besar-besaran di kampung ini. Setelah itu, kita harus mengadakan pengajian rutin tiap minggu. Kita juga harus mengadakan pendidikan agama bagi anak-anak dan orang dewasa. Solat berjamaah jangan sampai ditinggalkan. Akang sebagai lurah harus memimpin mereka, Akang bisa kan? " lanjutku. Aku ingin sekali kampung ini berubah menjadi kampung agamis agar terhindar dari mara bahaya dunia akhirat.
"Baiklah Neng, In sha Allah Akang akan berusaha untuk bertaubat nasuha, tapi Neng janji jangan ninggalin Akang, ya!" Pintanya dengan nada tulus. Mataku berkaca-kaca mendengar perkataan suamiku ini.
"In sha Allah saya gak akan ninggalin Akang, asal akang bertaubatnya harus ikhlas karna Allah, bukan karena Mona."
Dia tersenyum mendengar jawabanku.
Aku benar-benar terharu dan berharap dia akan sungguh-sungguh dengan janjinya.
Aku terkesima saat dia dengan lembut menyentuh daguku dan mengangkatnya. Dia menatapku lekat.
Deg deg..
Degup jantungku sudah mulai tak beraturan..
Dan..
Cup
Dia menempelkan b*b*rnya di bi*irku..
"Moon, kamu di mana sa ..." Suara seorang perempuan mirip mama itu membuatku terkaget dan reflex menghentikan aktifitas kami dan menoleh ke arah sumber suara.
"Astagfirullah..Mamah?" Mataku membulat sempurna saat aku melihat mamah berdiri mematung sambil melongo di ambang pintu.
Kami bertiga pun terkesima.
"Maah, Zahranya ada gak?" Suara papah itu membuyarkan lamunan kami dan kulihat mamah refleks menarik tangan papah dan membalikkan badannya. Mungkin agar papa tak melihat kami.
Mama menahan papa agar tak berbalik, tapi dia sendiri melihat ke arah kami sambil memberi isyarat dengan matanya. Aku yang keheranan melirik ke badanku sendri dan Akhh, ternyata dari tadi aku dan pak Lurah masih saling berpelukan, yang lebih memalukan, baju Pak Lurah belum dikancing.
Kami refleks melepas pelukan dan segera membenahi pakaian kami.
"Mamah, apa-apaan sih, kenapa badan papa diputar-putar begini sih?"
Protes papah tak terima badannya dibalikkan oleh Mamah.
"Eh, maaf, Pah tadi maksud mamah mau ngajak papah masuk, eh malah keputar," elak mamah sambil nyengir kuda.
Aku dan Kang Arman mengulum senyum melihat tingkah mereka berdua.
Eh Kalian dari tadi ada di sini kenapa gak menyambut kami? kamu Arman, apa kamu gak senang kami datang ke sini?" Papa marah ketika menyadari kami ada didepannya dan belum menyambutnya.
Kami berdua pun gelagapan. "Hmm gak kok, Pa, bukan begitu. Tadi Zahra mau menyambut tapi ngelihat papah muter-muter di pintu, jadi Zahra bingung deh, Pah," jawabku asal.
Aku menyenggol suamiku agar menyapa Papa dan Mama. "Hmm, maaf Pah, eh, Pak, Aduh, Neng, Akang harus manggil papa kamu dengan sebutan apa,ya?" bisik suamiku, pelan, membuat papa makin marah.
"Kenapa kamu? Apa kamu gak senang kami datang, hah?" Papa bertambah marah dan membentak suamiku.
"Paah, jangan begitu ah. Mereka cuma kaget kita kesini mendadak. Lagian kita yàng salah, tadi kan kita gak salam dulu," bisik mamah menengahi.
"Gimana Papa gak marah, orang dari tadi mereka cuma bengong. Jangankan ngasih minum, dan nyuruh duduk, salaman aja gak."
Aku menepuk dahiku karena baru teringat sedari tadi cuma bengong dan tak mempersilahkan mreka masuk, bahkan menyalami pun belum.
Aku melangkah hendak menyalami papah tapi malah terhuyung ke depan dan aku hampir terjatuh.
"Zahra, Mona, kamu kenapa?" Teriak mereka berdua serempak dan gegas memapahku kemudian mendudukkanku di sofa.
"Zahra gak apa-apa kok, pah, Zahra cuma kelelahan karena pertarungan semalam," jawabku seadanya, yang kumaksud adalah pertarungan dengan siluman ular, tapi sepertinya ada kesalah pahaman
"Pertarungan?" Kedua orang tuaku saling tatap sambil menelan ludah, Kemudian papah terlihat marah pada Kang Arman.
"Arman, kenapa kamu kasar pada Zahra? Sampai Zahra limbung begini?" bentak papah, Kang Arman terlihat bingung.
"Maaf Pak Faiz, bukan saya yang kasar, tapi Justru Mona yang tadi malam sampe nonjok dan nendang saya," jawab Kang Arman jujur, dia menerangkan sesuai yang diceritakannya semalam, bahwa aku cuma mimpi.
Mama dan papah terlihat mengulum senyum mendengar jawaban suamiku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.
"Mon, bagaimana pun juga Arman ini suami kamu, jadi kamu gak boleh kasar ya sayang," tutur mamah lembut, membuatku jadi malu.
"Dan kamu juga Arman, kamu ini udah tua, jdi sebaiknya jangan maksa Zahra berhubungan dulu, kasihan dia. Umurnya masih belum genap 18 tahun, kasihan dia kalau hamil di usia semuda ini!" ujar papah, lugas.
..Glek..
Ludahku tertelan paksa saat mendengar ucapan papa. Aku menepuk dahiku sementara Kang Arman terlihat mengulum senyum.
"Jadi sedari tadi Mamah dan Papah salah memahami ucapanku ya? Maksud Zahra, tadi malam Zahra mimpi bertarung dengan ular, sampai-sampai Zahra nendangin sama nonjok Kang Arman. hehe," terangku pda mreka sambil cengengesan.
Mamah dan Papa pun terlihat malu juga.
"Oh gitu ya sayang, hehe maafkan kami ya sayang, kami salah paham, soalnya karena mama lihat yang tadi," ungkap Mama, Papa terlihat heran, tapi dia tak bertanya. "Mama harap kamu baik-baik saja di sini, dan Kamu Arman, aku harap kamu tidak menjadikan putriku sebagai bahan obsesimu,meski aku tidak suka perangaimu, aku akan berusaha menerima kamu sebagai menantu, asal kamu sungguh-sungguh membahagiakan putriku."
."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments