Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Aku beranjak ke kamar dan istirahat.
Baru sebentar aku memejamkan mata , Aku sudah dikagetkan oleh suara cempreng Nisa yang membangunkanku.
"Moon, bangun Mon, di luar ada MUA, katanya mau merias elu!" teriaknya sambil mengguncang tubuhku.
Aku menggeliat malas.
"Ahmm Nis, ada apasih? gue masih ngantuk," sahutku tanpa membuka mata, tapi sedetik kemudian mataku terbelalak saat aku ingat Nisa menyebut MUA, "apa, tadi elu bilang ada MUA?" Aku yang masih mengantuk kini melek sempurna karena ucapan Nisa.
"Iya, kata dia mau ngerias elu, emangnya elu mau nikah, Mon, sama siapa? dan kenapa gak cerita ke gue?" Aku menepuk dahiku karena mendengar semua pertanyaan Nisa.
"Aduuh Nis, elu udah kaya wartawan aja, masa yang nanya beruntun gitu, mana yang hrus kujawab coba?" tukasku kesal.
..Braakk..
Suara benturan di luar itu mengagetkan kami.
"Ya Allah , ada apa di depan?" tanya kami bersamaan. Nisa segera berlari keluar sementara aku malah kebingungan mencari hijabku. Setelah kutemukan hijab, aku pun segera memakainya dan langsung berlari menyusul Nisa.
Di ruang tamu, kulihat papa sedang mencengkram kerah baju Pak Arman.
"Bangsat kau Arman! kenapa kau begitu pengecut? Kenapa kamu mengancam anakku agar bisa menikah denganmu?" teriaknya sambil mengepalkan tangan kanannya hendak meninju Pak Arman, tapi dicegah oleh paman dan beberapa warga yang ternyata sudah hadir di rumah paman.
"Sabar, Kang, kita bicarakan baik-baik ya, Kang!" Paman berusaha meredam amarah papah. Ia mengajak papah dan pak Arman duduk di sofa.
"Maaf Pak Faiz, anak Anda sudah menerima pernikahan ini. Jadi, Anda sebaiknya setuju saja karena kalian tak punya pilihan," ucap apak Arman lantang.
"Apa setelah menikah dengan Mona kau akan perlakukan anakku dengan baik? Dan apa setelah kalian menikah, teror di Desa ini akan benar-benar berhenti?" Papa memberondong Pak Arman dengan berbagai pertanyaan.
"Iya, Pak, saya akan jadi suami yang baik bagi Mona." Pak lurah menjawab sambil melirik ke arahku yang masih berdiri mematung di pintu ruang tamu.
Deg..
Entah kenapa tatapan itu membuat jantungku berdebar tak karuan
"Itu sudah pasti, saya pasti akan memuliakan Mona, dan saya juga menjamin dengan nyawa saya, Teror itu akan berhenti setelah saya menikahi Mona, karena itu permintaan dari Nyai Ratu yang meneror warga selama ini," tambah Oak Arman.
"Nyai Ratu?" Semua yang hadir di ruangan itu bertanya serempak.
"Iya, nyai Ratu yang menunggu hutan di sana. Saya sudah membawa orang pintar kehutan dan dia mengatakan bahwa teror ini ulah nyi Ratu.
Dia meneror kampung ini untuk balas dendam karena zaman dahulu pernah dikalahkan oleh Nyai Maimunah. Jadi dia marah makanya dia meneror kampung ini. Dia juga bilang kalau kita ingin dia berhenti meneror, dia ingin keturunan nyai Maimunah menikah dengan saya. Karenanya saya ingin sekali menikahi Marni, tapi karena Marni sudah punya suami, saya meminta Mona menikah dengan saya demi membebaskan warga dari teror ini," tutur pak Lurah panjang kali lebar. Tapi aku yakin dia cuma mengarang cerita utk mendapat simpati warga.
"Apa saya salah, Bapak-bapak, jika saya ingin melakukan sesuatu untuk menyelamatkan desa ini?" Dia bertanya lagi.
Benar saja, kata-kata Pak Lurah itu membuat warga simpati.
"Pak Faiz, Bu Marni, kami mohon izin kan lah Neng Mona menikah dengan pak Lurah, kami mohon selamatkan lah kami, Pak, Bu!" ucap salah satu warga mewakili yang lainnya.
Papa dan mamah menghela napas kemudian menoleh ke arahku.
"Semua keputusan ada di tangan Mona, tanyakan padanya! Jawab Mamah.
Para warga itu beralih mendekatiku .
"Neng, kami mohon, Neng pikirkan nasib kami, kami capek harus menghadapi kejahatan mereka. Tiap hari ada saja yang terbunuh. Kami gak mau kehilangan keluarga kami!" ucap para warga itu diiringi tangisan yang memilukan hati.
Perkataan mereka membuatku terpaku tak tahu harus bagaimana menjawab mereka.
"Ya Allah, apa yg harus kulakukan? Jika aku menuruti artinya aku menuruti nyai ratu iblis itu, sedangkan Allah SWT melarang mengikuti kemauan musuh, baik itu setan atau pun orang kafir. Akan tetapi kalau tak diikuti, mereka pasti akan benar-benar membantai warga.
Apa aku setujui saja ya? sekalian untuk menyelidiki siapa dalang dari smua ini?" batinku menjerit pilu.
Aku memejamkan mata untuk merelaksasi otak dan hatiku agar tak pening menghadapi masalah ini. "Baiklah. Bismillah saya menerima, tapi jika tenyata Anda berbohong, maka saya sendiri yg akan menyeret Anda kepolisi," ucapku tegas.
"Terima kasih, Neng. Pak Lurah, kami harap Pak Lurah memenuhi janji Pak Lurah untuk menyelamatkan kampung kita dari mahluk setan itu!" sahut salah satu warga yang ada di situ.
"Ya Robb, kenapa malah hatiku berdebar-debar begini?"
Aku melirik ke arah Papa, dia terlihat diam membisu, begitu juga Mama. Mereka pasti bingung bagaimana harus mengambil sikap.
Hari telah berganti senja ..
Orang orang kini terlihat sibuk smua, ada yang didapur menyiapkan makanan dan ada yang menyiapkan tempat untuk acara akad nikahku dengan Pak Lurah.
Selepas solat magrib, MUA yang datang tadi pagi ingin meriasku, tapi terpaksa aku tolak karena dia seorang laki-laki. Walaupun dia lemah gemulai dn pandai mendandani, tapi bagaimanapun juga dia laki-laki, dan aku tak mau didandani oleh laki-laki yang bukan mahram.
Aku hanya berdandan alah kadarnya, memakai kebaya dan riasan di atas hijabku.
Aku memakai kebaya berwarna putih dipadu dengan rok batik coklat yang bercorak. Aku juga memakai hijab putih yang di atasnya dipakaikan mahkota Sigar Sunda yang memang selalu dipakai oleh pengantin wanita di Daerah Jawa barat dan Banten.
Setelah selesai berhias, aku dibawa ke ruang tamu yang sudah ramai.
Diruang tamu, aku lihat pemandangan yang tak lazim. Biasanya di acara pernikahan, kluarga pengantin akan terlihat bahagia, sementara saat ini kulihat paman duduk dengan wajah sendu, Sedangkan Papah duduk dengan wajah yg masih menahan marah.
Di sudut lain, aku lihat mamah dan Bi Mira duduk sambil menangis tersedu-sedu dan ditenangkan oleh ibu-ibu yang hadir.
"Kenapa Mona harus menikah dengan cara seperti ini, Mir?" lirih mamah diiringi tangis memilukan.
"Yang sabar ya teh, mungkin ini sudah jodoh Mona," jawab Bi Mira disela tangisnya.
"Yang sabar ya, Mar, maafkan kami karena kami memaksa Mona menikah dengan Pak Lurah ujar salah satu ibu-bu di samping mamah.
"Mon, elu mau nikah atau mau meninggal sih? Kok pada nangis bombay kek gitu?" ceplos Nisa tanpa merasa berdosa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments