Memintanya Jujur

"Maaf, mamah tadi jadi salah paham. Oh ya, mamah ke sini mau bawain obat ini dari paman kamu. Kamu minum, ya, tadi malam mamah gelisah banget. Mama mimpi buruk tentang kamu."

Ucapan Mamaku itu membuatku teringat kejadian semalam, yang masih jadi tanda tanya Entah itu nyata atau cuma mimpi.

"Makasih ya mah, Mona gak apa-apa kok, Mah, Pah. Oh ya mah, tolong sampein ke paman ya, Mona mau mengadakan pengajian di rumah ini dan juga di seluruh penjuru kampung ini. Jadi mona mau minta papa buat ngundang kiyai yang biasa meruqiyah ke sini, dan mohon fasilitasi juga ya, Pah!" ucapku sambil melirik ke arah suamiku yang ternyata terlihat tegang. Sedangkan aku merasa lega karena bisa menyampaikan usulku pada orang tuaku.

"Baiklah Mon, In sha Allah usulmu akan mamah sampaikan dan in sha Allah papamu juga setuju, iya kan, Pah?" tanya mama ke papa yang dibalas dengan anggukan oleh papa.

Setelah selesai berbicara, akhirnya kedua orang tuaku pamit pulang, sementara kang Arman langsung pergi ke kantor kelurahan.

Hari telah berganti malam, siluman itu tak menganggu kami malam ini, mungkin mereka takut karena rumah ini selalu aku pakai untuk salat, dan mengaji terutama pada waktu tadi sewaktu magrib

Mama rencananya mau pulang pada hari sabtu setelah mengadakan pengajian di malam dan hari Jum'atnya.

Aku sedang membereskan bekas makan malam, ketika ada seorang warga yang datang mengetuk pintu.

"Ah ..ah..Assalamualaikum, Pak Lurah," ucap bapak itu yang segera disambut oleh suamiku sembari membuka pintu. Karena penasaran, aku juga mengikutinya.

 "Walaikum salam, Pak Mardi, ada apa, Pak? " tanya Suamiku lada warga itu yang terlihat sangat ketakutan. Napasnya terengah-engah

"Itu pak..anu.. anu pak..tolong..tolong cepat bertindak, Pak.

Kiyai yang diundang Pak Ahmad sekarang lagi diserang sama para begal di hutan menuju kesini," ujar Pak mardi dengan terengah-engah.

"Innalillahi. Kang, ayo cepat kita pergi kesana buat bantu pak kiyai!" ucapku terkaget kaget. Aku segera menarik tangan suamiku, tapi yang diajak ternyata masih bengong.

"Akang.. ayoo! " pintaku lagi, setengah berteriak.

"Eh, ya ... iya Neng. Akang kesana, ya, tapi Neng di rumah aja ya," jawabnya gelagapan.

"Gak mau ah, pokoknya aku harus ikut kesana biar bisa membantu mreka." Aku terus bersikeras meminta ikut dengannya.

Karena dia tak mungkin mencegahku, dia pun akhirnya bersedia mengajakku.

Sebelum pergi, aku pun gegas mengganti pakaianku. Aku memakai hijab langsungan yang aku masukkan ke dalam kaos panjang yang kubalut dengan jacket kulit hitam.

Sesampainya di tempat yang kami tuju, kami melihat segerombolan orang berpakaian hitam sedang menyerang membabi buta ke arah rombongan pak kiyai yang kini dibantu oleh paman Ahmad dan beberapa warga. Untung saja malam ini rembulan bersinar terang, sehingga kami bisa mengenali yang mana penjahat dan yang mana Pak Kiyai dan santrinya.

Kulihat pak kiyai sudah sempoyongan dan kewalahan menangkis serangan si penjahat itu.

"Hahaha, terimalah ajalmu ustadz!" teriak penjahat itu sambil menyabetkan goloknya ke arah pak kiyai.

Aku yang melihat itu sontak melompat dan langsung mengarahkan tendanganku ke arah tangan si penjahat.

"Hep bismillah."

 buhgg...prakkk!

Golok itu terlempar karena tendanganku.

 "Kurang ajar, kamu? Akhh Kamu lagi? " Penjahat itu terperangah ketika melihatku, sepertinya mereka mengenaliku.

" Ya, ini aku. Kali ini aku bersama suamiku" jawabku sambil menunjuk ke arah kang Arman. Aku ingin melihat reaksi mreka. Ternyata benar saja. Mereka terlihat kaget dan suamiku juga terlihat gelisah.

"Pak Lurah?"

"Jadi pak Lurah ikut juga?"

"Gimana ini kang?" ujar mreka saling sahut- menyahuti.

"Kita lawan aja" sahut salah satu di antara penjahat itu. Mereka pun mengamuk dan menyerang kami termasuk pak Lurah.

Karena Kang Arman melawan mereka, aku memanfaatkan kesempatan mendekat ke arah pak kiyai yang sedang berjongkok karena kelelahan.

"Pak kiyai, bagaimana keadaan kalian?" tanyaku padanya.

"Alhamdulilah saya baik-baik aja, cuma ada anak santri saya yang terluka," jawabnya sambil menunjuk ke arah seseorang yang duduk di bawah pohon ditunggui dua orang santri yang lain.

"Ya udah, sekarang Pak Kiyai lihat mreka aja, biar kami yang melawan mereka." .

Setelah selesai berbicara dengan pak kiyai, aku segera bergegas membantu suamiku yang sedang bertarung melawan penjahat tadi.

Kami pun bertarung dngan sengit sampai akhirnya mereka terdesak, tapi saat aku ingin meringkus mreka, suamiku malah berbisik..

"Cepat pergi dari sini, atau kalian akan mati di tanganku!" bisiknya pada penjahat itu. Mereka pun langsung melompat kabur.

Aku yg melihat itu pun menjadi geram pada suamiku.

"Akang, kenapa Akang membiarkan mereka kabur?" tanyaku judes.

"Hmm iya, itu anu," jawab Kang Arman gelagapan.

Belum sempat aku mendesaknya bicara, paman Ahmad memanggilku.

"Mon, kamu gak apa-apa kan?"

 Teriakan pamanku itu membuatku menunda amarahku pada kang Arman.

"Mona gak apa-apa paman, sebaiknya kita bawa pak kiyai dan santri-santrinya ini ke kampung biar diobati."

 Setelah memasukkan org yg terluka ke dalam mobil rombongan Pak Kiyai, kami pun bersiap untuk kembali ke kampung.

"Neng, Neng ikut Akang pulang ya" Pinta suamiku lembut. Tanpa menjawab, aku langsung naik ke sepeda motornya.

 Karena malam sudah larut, mereka di minta istirahat di rumah paman, sementara aku mengikuti suamiku pulang kerumahnya walaupun dengan penuh kekesalan.

"Neng, Neng marah ya?" tanya kang Arman ketika kami sampai dirumah.

"Tentu saja aku marah, aku dua kali melihat Akang itu menyuruh penjahat itu pergi, padahal mereka sudah kalah dan harusnya kita tangkap dan kita serahkan ke polisi, tapi akang malah melepaskan mreka. Apa jangan-jangan mereka itu anak buah Akang?" jawabku kesal dan dengan setengah berteriak.

Aku sungguh kesal dan marah dengan sikap suamiku itu.

Dia menunduk tak menjawab.

"Akang, kenapa diam? Kenapa gak mau jujur? Ayolah Kang, jujur sama aku! " Aku mengguncang lengannya berharap dia jujur. Tapi dia tetap diam membisu.

Karena kesal, aku meninggalkannya sendiri dan pergi ke dapur. Aku mencari dua buah golok, etelah kudapat, aku segera melempar salah satu golok itu kedepannya. Dia terperangah kaget.

"Neng, kenapa bawa golok kesini?" tanyanya spontan.

"Ambil golok itu! kita bertarung sekarang, kalau Akang kalah, Akang harus jujur, dan kalau aku yang kalah, aku gak akan bertanya lagi," teriakku lantang sambil menunjuk ke arah golok yang kulempar tadi.

Dia terlihat kebingungan. Dia pun mendekat dan memegang tanganku lembut.

"Baik lah, Akang akan jujur, tapi goloknya buang yah!" ujarnya lembut sambil mengambil golok di tanganku dan meletakkannya di meja.

"Akang akan jujur, tapi neng janji, seblum Akang selesai bicara, Neng jangan memotong cerita Akang, ya!" Pintanya padaku, aku pun mengangguk setuju.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!