Plakk!
Aku memukul tangan Nisa yang selalu berbicara sembarangan. " Elu ada-ada aja, masa elu nyumpahin gue mati?" sewotku sembari memanyunkan bibirku.
Nisa malah terkekeh. "Ye, coba elu lihat, noh! semua orang di sini pada nangis bombay. Elu lihat, itu mama elu sama si Ani dan juga ibunya, pake saling peluk dan nangis bombay juga,"
Aku menelan ludah sembari mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan, ternyata benar yang dikatakan Nisa, orang-orang yang di ruang tamu ini bukan seperti sedang menghadiri acara akad nikah, melainkan tak ubahnya seperti sedang ta'ziah.
Para tetangga yang datang ke sini bukannya memberi selamat, malah mereka memeluk Mamah sambil menangis bombay seolah sedang melayat orang yang sedang ditinggal mati.
"Mon, ayo ke sana!" Nisa mengajakku duduk di belakang Bapak-bapak yang kini berkerumun di tengah ruangan.
Aku melihat ke arah paman, beliau terlihat sendu, terlebih papa, beliau pastinya sangat tak rela anaknya dinikahkan dengan cara seperti ini.
Papa hanya diam membisu, pandangannya masih terlihat tajam ke arah Pak Arman
"Kang," tegur paman sambil mengisyaratkan agar papa melihat ke arah Pak penghulu.
Papa menoleh ke arah paman. "Bisa kita mulai, Pak?" Pak penghulu mengulangi pertanyaannya. Papa hanya mengangguk setuju.Acara pun dimulai dengan mengajukan pertanyaan padaku dan pak Lurah.
"Jadi sudah klier kan, pernikahan ini tak ada unsur paksaan, jadi sekarang Pak Faiz bisa memulai akadnya, silahkan pak !?" ujar pak penghulu mempersilahkan papa untuk memulai ijab kabul.
Papa menatap wajah pak Lurah dengan tajam, tangannya mengepal seperti ingin meninju lawan.
Sementara pak Lurah mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan papa sambil memasang senyum simpulnya.
Pakkkk!
Papa mengarahkan tinjunya ke tangan pak Lurah dan menjabat tangannya dengan kasar.
"Saya ingin tanya sekali lagi pada Anda, apa anda akan menjaga anak saya dengan baik? Baik itu fisik maupun psikisnya?" Tanya papa dengan sorot mata tajamnya.
"Jya pak, saya pasti menjaga Mona dngan baik," jawab pak Lurah lantang.
Akhirnya papa mengucap Bismillah..
"Wahai Saudara Arman bin Sunarya, Saya nikahkan dan kawinkan Anda dengan putri saya yang bernama Zahra khoiril Muna dengan mas kawin seperangkat alat solat dan cincin emas berlian 24 karat dibayar dengan: Tunai!" ujar papa masih dengan tatapan tajamnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Zahra khoiril Muna binti Faiz Fauzan Adzima dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai!" Pak lurah mengucapkan akad dengan lantang.
"Bagaimana saksi? sah, tau belum?" tanya pak penghulu pada saksi yang hadir.
" Sah ... sah!"
Sahut para saksi bersamaan.
"Alhamdulillah!" ungkap para hadirin serentak, tapi tidak dengan keluargaku.
Papa hanya diam membisu melirik ke arahku dengan pandangan sendu.
Mamah dan Bi Mira makin tersedu. Mereka menangis sambil berpelukan.
Deg..
Jantungku berpacu dengan cepat, tubuhku bergetar, bulir bening mengalir tak tertahan lagi. Aku sungguh tak menyangka, kini aku sudah sah menjadi istri Arman.
Aku seprti mau pingsan, tapi tubuh ini masih tetap kokoh berdiri. "Kenapa aku gak pingsan juga sih, akhh, menyebalkan!" gerutuku dalam hati.
Nisa menggenggam erat tanganku
" Mon, elu bagaimana sih?" crocos Nisa di sampingku.
"Entahlah Teh, Ani juga bingung. Mau ngucapin selamat, eh itu ibu sama Uwa Marni lagi pada nangis gitu, tapi kalau mau ngucapin bela sungkawa ya gak mungkin, ini kan pernikahan bukan kematian. pusing saya!" sahut Ani yang juga merasa kebingungan. Ocehan mereka membuatku sedikit terhibur.
Baiklah, aku tak boleh kelihatan sedih di depan mereka. Aku harus kelihatan bahagia agar keluargaku tak merasa sedih lagi.
"Neng, ayo kesini sungkem sama suaminya!" Kata-kata pak penghulu itu mengejutkanku dari lamunanku.
Dibantu Nisa dan Ani, aku pun segera mendekat ke arah pak Lurah yang sudah selesai membacakan ikrar dan janji sucinya di depan para hadirin.
"Ma sha Allah, Neng cantik sekali," ucap Pak Lurah sambil tersenyum nakal.
Deg!
Pujian pak Lurah itu membuatku serasa melayang. Aku hanya mampu menunduk dengan wajah memerah menahan malu.
Dengan tangan bergetar aku mencoba meraih tangan pak Lurah dan menciumnya takzim.
Deg .
Jantungku berdegup kencang saat tangan pak Lurah yang satunya menyentuh punggungku dan mengelusnya lembut.
"Cium! Cium! Cium!" Para hadirin menyoraki kami membuat wajahku memerah, aku mencoba tersenyum sambil menoleh ke arah pak Lurah yang ternyata sedang tersenyum juga.
Mataku terbelalak saat pak Lurah mendekatkan wajahnya ke wajahku.
" Neng, jangan marah ya! Jangan nonjok,ya!" bisiknya sambil memicingkan mata ke arah tanganku yang sudah mengepal ingin meninju nya.
"Akhhh aku harus bagaimana sekarang, masa aku biarkan dia menciumku. Ahh aku ada ide." Aku bergumam dalm hati sambil tersenyum sendiri. Melihatkù tersenyum, pak Lurah semakin berani memegang pundakkku dan mengarahkan bibirnya ke arah keningku.
"Awww!"
Pak Lurah meringis menahan sakit ketika kutusukkan jarum ke tangannya. Tak lupa aku barengi dengan senyuman manis di bibirku.
"Ah, syukurlah, dia tak jadi menciumku," ungkapku penuh rasa syukur.
*****
"Neng, sekarang sudah jam 11 malam, kita pulang sekarang ya!" kata pak Lurah setelah kami selesai solat dan makan malam. Aku memandang ke arah mamah, mamah hanya tersenyum dan mengangguk pertanda setuju.
Aku mendekati papa yang masih diam membisu.
"Paah, Zahra pergi ke rumah pak Lurah dulu, ya," ujarku sambil mengulurkan tangan ingin mencium tangan papa, tapi papa tetap diam tak bergeming.
"Paah, mama mohon jangan seperti ini, segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah paah, termasuk pernikahan mona ini. Jadi sebagai orang tua yang menginginkan anaknya bahagia dunia akhirat, kita harus berusaha ikhlas menjalani takdir Allah ini paah, Papah harus berusaha meridhoi pernikahan ini agar Mona bahagia," tutur mamah sambil mengelus tangan Papah.
Papa menoleh ke arahku dan langsung memelukku.
"Zahra anak papah, maafin papa ya! Papa gak bermaksud marah sama Zahra. Papa hanya masih belum terima semua ini..papa hanya ingin menikahkan kamu dngan laki laki soleh dengan pesta yang sangat meriah karena kamu anak papa satu-satunya, Naak" Papa tergugu dalam pelukanku.
" Iya paah, Zahra ngerti. Tapi kita manusia cuma bisa rencana paah..Allah lah yg menentukan. Kita sebagai mahluknya harus yakin bahwa apa pun yang ditakdirkan Allah untuk kita, itulah yg terbaik untuk kita paah, maaf kalau Zahra sok pintar ya, Paah," jawabku sok menasehati papah, padahal hatiku juga kesal karena harus menikah dengan orang seperti Arman.
"Moon, elu mau ke mana? kalau elu ke rumah suami elu, gue nanti pulangnya sama siapa?" tanya Nisa sembari memelukku.
"Hmm, Elu pergi sama mama aja nanti. Gue juga gak tahu
Setelah berpamitan pada semua yang ada di rumah paman, aku melangkah keluar menuju sepeda motor
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments