Dia kah Dalangnya

Setelah Bu Yati siuman, aku segera berpamitan dan menuju ke rumah Bi Narsih untuk menemui paman. Namun, di tengah perjalanan, aku melihat warga berkumpul di rumah Pak Pendi dan terdengar tangis histeris dari sana.

"Dita Anakku, kenapa kamu pergi secepat ini, Naak? Siapa keparat yang meneror Desa kita ini?" jerit Bu Sinta sungguh memilukan hati ..

"Paman, apa yang terjadi?" tanyaku pada Paman yang aku lihat duduk di samping jasad anak kecil yang terbujur kaku dengan wajah membiru.

"Dita meninggal, tadi mereka menyusul Paman ke rumah Bi Narsih, tapi paman terlambat datang kesini," jawab paman dengan raut sedih yang mendalam.

"Innalillahi Wa inna ilaihi rojiun, ini tidak bisa dibiarkan," tukasku sedih bercampur geram atas kelakukan orang yang meneror kampung ini.

Pikiranku pun tertuju pada pak Lurah yang memang tak terlihat batang hidungnya meski warganya sedang mengalami musibah.

Tanpa berkata lagi aku bergegas keluar.

"Mon, kamu mau kemana?" tanya Paman.

"Kerumah Pak Lurah," jawabku singkat, tanpa menghiraukan panggilan Paman Ahmad.

"Tunggu, Mon, paman akan ikut kamu," seru paman

Setelah berpamitan pada keluarga Pak Pendi, kami segera berangkat menuju rumah Pak Lurah, tapi di tengah jalan, kami dikejutkan oleh sebuah bola api yang terbang di atas kami.

"Astagfirullah apa itu, kenapa seperti bola api?" Aku terperangah melihat bola api itu.

"Ayo kita ikuti bola api itu Mon!" ajak paman yang aku balas dengan anggukan.

Kami pun langsung mengikuti kemana arah bola api itu terbang..

Duarr

Bola api itu meledak diatap sebuah rumah yang ternyata itu adalah rumah Paman sendiri.

"Innalilahi, bola api itu meledak tepat dirumah paman!"

"Astagfirullah, ayo kita cepat pulang, Mon!"

Paman dan aku segera berlari kencang menuju rumah paman.

Benar saja, Ketika kami sampai di rumah, kami lihat Nisa dan Mona sedang menangis memegangi Bi Mira yang tergeletak dilantai.

"Innalillahi, Mira, kamu kenapa Mir?" Paman segera bergegas mendekati Bi Mira dan mengguncang tubuhnya.

"Bapak, tadi tiba-tiba ibu pingsan saat kami mendengar suara ledakan di atas atap" Ani menjawab sambil sesegukan.

"Mon, paman akan meruqiyah bibimu, dan kamu, tolong kelilingi rumah paman sambil baca doa!"

Aku segera bergegas keluar untuk mengelilingi rumah paman sambil melantunkan ayat Alquran dan doa .

Saat itulah terlihat ada bayangan hitam berkelebat.

"Siapa disitu?" tanyaku pada orang yang yang memakai masker dan berbaju serba hitam itu.

Orang itu hanya menoleh sebentar kemudian dia bergegas pergi, namun aku tahan dia dngan berusaha memukulnya.

Buug!

Dia pun menghindar denga cepat, aku langsung meneruskan serangan, Tapi anehnya dia hanya menghindar dan tak mau membalas seranganku.

"Hheh, kenapa kamu cuma menghindar? Siapa kamu sebenarnya ?" tanyaku berulang-ulang, namun dia tetap membisu.

Aku pun segera memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang wajahnya dan menarik masker nya..

Buuggg!

Akhirnya aku berhasil membuka maskernya dan seketika mataku terbelalak saat melihat wajah laki-laki itu.

"Haah, Anda? jadi dugaanku selama ini benar. Anda lah dalang semua teror di Desa ini, pak Lurah?" tanyaku dengan penuh amarah, namun laki-laki itu malah terkekeh.

"Hehe, andainya iya, Neng mau apa?" jawabnya sambil tersenyum menyeringai

"Anda benar-benar bajingan, tentu saja saya akan membuat Anda mempertanggung jawabkan perbuatan keji Anda di depan masyarakat."

Aku berujar dengan suara yang lebih lantang.

Dia mendekat ke arahku dan dengan bantuan sinar rembulan aku dapat melihat senyum tersungging dibibirnya menambah kadar ketanpànannya. "Eh, astagfirullah, kenapa aku jadi melantur begini?"

"Kalau Neng mau tahu banyak tentang Bapak, besok pagi Neng datang aja kerumah Bapak, tapi Neng harus datang sendiri," ucapnya sambil mengerlingkan matanya, membuatku semakin muak padanya.

Setelah berucap begitu, dia melenggang pergi begitu saja. Sedangkan aku, entah apa yang terjadi padaku? Aku malah tetap berdiri mematung seperti terhipnotis olehnya.

Aku masih mematung saat paman datang menghampiriku.

"Mon, kamu kenapa?" tanya Paman membuatku tersentak.

"Eh, Paman, tadi ... tadi ... Ada Pak Lurah," jawabku gelagapan.

"Oh terus di mana dia sekarang?" tanyanya lagi sambil celingukan.

"Dia sudah pergi, oh ya bagaimana keadaan Bi Mira sekarang?" Aku balik bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

"Bibimu sudah tenang , sekarang dia sudah tidur. Ayo kita masuk!"

Aku pun menuruti paman untuk masuk ke rumah tapi pikiranku tak lepas dari Pak Lurah.

Malam telah berganti pagi, Mentari di ufuk timur muncul dengan sinar terangnya menghangatkan bumi dan isinya yang hampir membeku karena dinginnya udara malam.

Pagi ini sangat cerah, namun tak mampu mencerahkan hati penduduk Desa Cikoneng yang kini sedang dirundung duka.

Setelah selesai wiridan pagi, aku segera berkemas untuk pergi ke rumah Pak Lurah.

"Mon, kamu mau kemana? Kalau mau jogging, aku ikut, ya." tanya Nisa tiba-tiba ada di depanku.

"Iya Teh, Ani juga ikut ya, sekalian kita melayat juga, karena aku mewakili ibu yang gak bisa pergi! melayat kerumah Dita," timpal Ani dengan penuh semangat.

"Maaf ya Nis, An, aku ada urusan penting jadi aku akan pergi sendiri. Maaf ya, bay ... assalamualaikum!" pamitku sambil melangkah pergi tanpa menunggu jawaban mereka.

Tok tok tok

"Assalamualaikum!" Aku segera mengetuk pintu sesampainya di depan rumah Pak Lurah yang terlihat sepi.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan terlihat seorang wanita yang sudah tua renta. Umurnya sekitar 70an tapi dia masih terlihat tegak dan yang lebih aneh adalah sorot matanya yang begitu tajam dan terlihat penuh dendam.

"Masuklah ! Silahkan tunggu di dalam, Arman masih diluar," ujarnya tanpa menjawab salamku. Dia langsung menyuruhku masuk seolah dia sudah tahu dengan kedatanganku.

Dengan masih keheranan aku pun melangkah masuk ke rumah Pak Lurah.

"Arman, maaf Nek, Arman itu siapa?" tanyaku heran karena aku masih asing dengan nama itu.

"Arman itu ya pemilik rumah ini, itu kan Pk Lurah namanya Arman. Masa kamu gak tahu?" tukasnya dengan nada ketus.

"Oh" aku hanya membulatkan bibirku tanpa membalas lagi karena kesal dengan sikap Nenek ini.

"Duduk di situ, jangan kemana-mana! Aku mau buatkan minum," titahnya padaku masih dengan nada tinggi.

Aku hanya diam dan menurutinya untuk duduk.

" Astagfirullah, aneh nih Nenek-nenek. Kenapa dia galak sekali? Apa salahku padanya ya, aku kan baru ketemu dia hari ini, atau orang di rumah ini psikopat semua ya? iih, ngeri!" gumamku dalam hati.

Aku bergidik ngeri mengingat kemungkinan bahwa pak Lurah adalah dalang di balik teror selama ini.

Karena kesal menunggu, aku bangun dan berjalan mengitari ruang tamu yang cukup luas untuk ukuran rumah di kampung.

Mataku menyipit melihat sebuah figura yang berisi sebuah Poto perempuan yang memakai seragam putih abu.

Aku mendekat untuk melihatnya dan ...

"A, ya Allah, poto ini kenapa wajah perempuan di foto ini mirip denganku? hanya saja gaya kerudungnya itu mirip seperti gaya tahun 80an. apa ini berarti, ahh apa mungkin ini mama?"

"itu poto mantan kekasih Arman," celetuk Nenek tadi mengagetkanku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!