Pengakuan

 "Allah ... dadaku sakit sekali." Aku merintih kesakitan merasakan nyeri yang luar biasa akibat lilitan ular itu.

"Neng, bagaimana keadaan Neng sekarang?" tanya suamiku sambil memegangku. Namun, aku segera menepis tangannya. Aku benar-benar jijik dengannya, karena ternyata dia pemuja siluman.

"Lepaskan, aku! aku tak sudi disentuh pemuja setan sepertimu!" tukasku sembari menepis tangannya yang berusaha memelukku.

"Neng, maafkan Akang, dengarkan Akang dulu, Neng!" Dia memohon sambil meraih tanganku.

"Minggir !, jangan sentuh aku! Aku mau pulang. Aku tak sudi menjadi istri pemuja siluman!" Aku menepis tangannya lagi dan berusaha bangkit dan melangkah ke arah rumah.

"Neng, tolong dengar penjelasan Akang. Akang hanya ingin melindungi Neng dan warga dari amukan siluman itu Neng!"

"Tidak, aku tak percaya pada Anda. Dengar kan baik-baik, kita ini mahluk Allah, jadi Allah lah yang akan melindungiku dan semua manusia di dunia ini, bukan siluman!"

 Aku terus berusaha menghindar dari suamiku sebelum akhirnya pandanganku memudar dan ..

brug!

Tubuhku limbung ke tanah dan semua berubah menjadi gelap aku pun tak tahu lagi apa yang terjadi.

Entah berapa lama aku pingsan, ketika aku sadar, aku sudah berada di kamar suamiku.

"Astagfirullah, kenapa aku masih di sini? dan yang aku alami tadi, apa cuma mimpi?" Aku bergumam sendiri sembari meraba-raba badanku sendiri. Aku berusaha bangkit tapi suara langkah di depan kamar ini menghentikanku

Ceklek!

Pintu terbuka dan muncullah suamiku dngan senyum mengembang.

"Neng, udah bangun?" tanyanya sambil tersenyum. Aku memandangnya heran.

Kenapa dia bersikap seolah tak terjadi apa apa. Apa memang tadi aku cuma mimpi.

"Neng udah bangun? Semalam tidurnya pulas banget sampe ngigau, malah sampe nendang dan nonjokin Akang." ucapnya sambil tergelak.

Aku hanya diam, aku masih bingung dengan kejadian semalam, apa benar itu cuma mimpi, tapi kenapa terasa nyata sekali, buktinya dadaku sekarang terasa sesak.

 "Jam berapa sekarang? Apa sudah adzan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Udah jam setengah enam, Non cantik," jawabnya enteng.

"Apa, setengah enam, kenapa gak bangunin? aku kan belum solat. Apa jangan-jangan Akang sengaja biar aku gak solat, ya?" Aku bertanya dengan setengah berteriak. Aku berusaha turun dari ranjang, namun badanku limbung dan seperti tak bertulang. Aku pun terjatuh dan langsung di papah olehnya.

"Neng, sebaiknya Neng istirahat saja. Badan Neng masih sakit, kan?" Dia memapahku dan kembali mendudukkanku di ranjang.

Aku menatapnya tajam ke arahnya.

"Kang, apa benar semalam aku gak bangun dan gak keluar rumah?" tanyaku menyelidik sembari menatapnya tajam, dia terlihat gugup.

"Beneran, Neng. Dari semalam Neng tertidur dan baru bangun," jawabnya diiringi dengan senyum yang terasa aneh menurutku. Aku sebenarnya masih tak percaya dengan kata-katanya, tapi karena waktu subuh hampir habis dan aku harus segera solat, aku pun tak membantah lagi.

Aku tak menolak saat Ia menggendongku dan membawaku ke kamar mandi.

"Tinggal kan aku sendiri, aku masih kuat!" pintaku padanya. Dia mengangguk dan segera keluar dari kamar mandi.

Di kamar mandi , aku memeriksa gelang emas pemberian Nenek buyutku yang selalu kupakai sejak pertama dia memakaikan gelang itu.

Gelang bediamter 20cm memiliki pengait seperti kepala burung kecil. Kubuka kaitannya dan kutarik, sehingga keluarlah benda yang mirip pedang, namun sangat tipis dan lentur. Kulihat di benda itu masih terdapat noda hitam yang berbau amis.

"Ini seperti darah ular itu. Jadi semalam itu bukan mimpi. Sebaiknya nanti aku ke belakang dan memeriksa tempat di mana aku bertarung dengan ular itu agar aku bisa memastikan semalam itu mimpi atau bukan.

 Sepertinya aku harus hati-hati dengan suamiku itu." Aku bergumam sendiri. Kuletakan benda itu di wastafel, sementara aku berwudu dan menampung air bekas wuduku, karna akan ku gunakan untuk mencuci pedang mini ini, sama seperti yang dilakukan nenekku dulu.

Setelah mandi dan berwudu, badanku terasa agak ringan sehingga aku mampu keluar tanpa bantuan suamiku lagi.

Aku pun segera solat dan tak lupa membaca dzikir pagi yang selalu dawam aku baca.

"Alhamdulilah badanku terasa lebih ringan, sekarang aku harus pergi ke belakang rumah ini, aku harus memeriksa keadaan disana" lirihku sambil berusaha berjalan keluar kamar.

Aku terus melangkah ke belakang rumah. Di dapur, kulihat suamiku sedang memasak.

"Eh, Neng. Udah selesai solatnya? Kenapa keluar Neng? Neng kan masih lemas," tanyanya ketika melihatku berjalan pelan-pelan.

"Aku mau cari udara segar di belakang," jawabku enteng tanpa meliriknya dan langsung menuju pintu belakang.

Dia tak menjawab, dia hanya mendengus gusar, tapi dia menyusulku dan memegang tanganku, mencegahku membuka pintu.

"Neng mau kemana, tadi Akang masak nasi goreng, ayo kita sarapan!" Tanpa menunggu persetujuanku, dia merengkuh kedua pundakku dan mendorongku dengan pelan menuju meja makan.

"Aku gak akan makan, kecuali Akang jelaskan padaku tentang semalam, Apa benar Akang memuja Siluman?"

Dia terpaku mendengar pertanyaanku, kemudian dia menarik napas dan kembali memintaku duduk. "Duduklah, Akang akan jawab."

Aku menurutinya untuk duduk dengan tenang. Dia kembali menarik napas sebelum memulai menjawab pertanyaanku. "Akang melakukannya karena ingin melindungi warga kampung dari amukan siluman itu, Neng," jawabnya kemudian. Meski dia tak menjawab bahwa dia benar-benar memuja siluman, perkataannya tadi sudah mewakili semua pertanyaanku.

"Melindungi? Akang mimpi! Apa akang pikir siluman akan melindungi manusia? Yang ada mereka akan mencelakai kita semua. Akang sudah lihat kan, banyak warga yang menjadi korban. Siluman itu bukan melindungi, tapi akan mencelakai dunia akhirat. Apa akang paham?"

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Neng, Nyi Ratu akan semakin murka kalau Akang melawan!" Dia masih juga menyangkal.

"Yang harus kita lakukan adalah meminta perlindungan pada Sang Pencipta Nyi Ratu, yaitu Allah, Tuhan yang menciptakan kita dan juga nyi Ratu dan semua pengikutnya. Hanya Allah lah yang akan mampu melindungi kita!"

Dia terdiam, entah karena dia mengerti atau hanya karena dia tak mau bertengkar. "Kita adakan pengajian di rumah ini, dan juga di seluruh kampung ini," tegasku pada Kang Arman.

"Tapi Neng, itu kan berbahaya, Nyi Ratu bisa marah," Dia masih saja takut pada siluman itu.

"Kalau akang gak mau ngadain pengajian, sekarang juga aku akan pulang ke rumah paman dan gak akan kembali sama Akang. Aku akan mengajak warģa desa untuk melawan Jin itu, dan aku yakin Allah akan melindungi kami," pungkasku tegas. Aku segera melangkah masuk kembali ke kamar. Sementara dia masih berdiri di tempatnya. Dia terlihat gelisah dan bimbang sampai akhirnya dia berlari menyusulku masuk ke kamar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!