"Yang lebih serem, bukan cuma yang meninggal aja, ada juga anak gadis yang disantroni kolor ijo di rumahnya, Teh," timpal Ani sepupuku dengan raut ketakutan.
"Kolor ijo? Apaan tuh, Mon?" celetuk Nisa keheranan. Anak satu ini memang selalu keppo.
"Kolor ijo itu seorang laki-laki yang biasanya sedang melakukan ritual pesugihan gitu, dan dia diminta oleh Jin junjungan buat menggauli anak perawan." Bi Mira yang menjawab.
" Iih, serem banget, gimana kalau dia tahu ada kita di sini, tar mereka kesini dong?" Nisa bergidik ngeri membayangkan si kolor ijo.
"Huuss, kalau bicara tuh dijaga Neng, takutnya beneran ke sini tar berabeh!" sergah Bi Mira yanh masih setia meladeni Nisa yang makin rewel. Aku hanya diam mencerna semua keterangan dari mereka.
"Paman, sejak kapan kejadian ini berlangsung, dan apa sudah ada tindakan dari kepala desa sini?" Paman menjawab dengan desahan panjang.
"Sepertinya kejadiannya sejak 3bulan lalu, tepatnya setelah kepala desa baru dilantik." Paman menjawab dengan hati-hati.
"Ah sudah lah, kita tunda pembicaraan kali ini, sekarang malam semakin larut, ayo kita istirahat saja. Kalian tidur di kamar Ani saja biar rame!" lanjut Paman yang disambut dengan girang oleh anaknya.
****
Hari berganti pagi, udara sejuk di pagi hari membuatku merasa nyaman. Setelah solat Subuh, aku mengajak Ani untuk berjalan mengelilingi kampung.
" Teh Mona, mau diantar kemana?" tanya Ani yg sudah siap dengan pakaian olah raganya.
"Aku pengen keliling desa, udara pagi di desa akan membuat pikiran kita menjadi jernih karena di sini udaranya masih jernih belum terkena polusi seperti di kota," jawabku sambil mulai berlari. Kali ini kami hanya berdua karena Nisa masih sakit akibat dikejar begal semalam.
Kami berlari melewati pekarangan rumahrumah tetangga.
"Brugg...aduh!" jeritku ketika tiba-tiba saja tubuhku tertabrak seseorang hingga membuaku terjatuh.
"Marni?" Sahut laki-laki yang tadi menabrakku. Yang membuatku terkejut, Ia memanggilku dengan nama ibuku, yaah wajahku memang mirip dengan ibuku. Kata Papa wajahku mirip mamaku sementara kulitku meniru Papa yang putih bersih.
" Maaf Pak Lurah, ini bukan Uwa Marni, ini Teh Mona, anaknya," sahut Ani menimpali laki laki paruh baya di hadapan kami.
Laki laki ini berumur kira-kira lebih tua sedikit dr ibuku, namun dia masih terlihat gagah dan tampan.
" Oh, Ma sya Allah jadi Marni sudah punya anak sebesar ini?" timpal laki laki itu dengan sumringah. Dia tersenyum ke arahku sambil mengulurkan tangannya, tapi aku hanya menjawab dengan senyum sekilas sambil menangkupkan kedua tanganku, sebagai isyarat salam dari jauh karena kami bukan mahram.
"Ya sudah nanti kapan-kapan mampir ke rumah Bapak, ya, sekrang Bapak buru-buru, karena mau melayat Pak Kasmin," ucap laki-laki yang ternyata Pak Lurah Desa Cikoneng itu.
"Maksud bapak, Pak Kasmin yang kemaren hilang itu ya?" timpal Ani.
"Iya betul An, Pak Kasmin yang kemaren hilang sudah ditemukan, tapi dalam keadaan tak bernyawa," sahut Pak Lurah menampakkan rasa duka yang teramat dalam.
" Innalillahi Wa inna ilaihi Rojiun," ucaplu dan Ani bersamaan.
Ani terlihat semakin ketakutan, mungkin akibat kejadian menyeramkan yang selalu terjadi di Desa ini.
"An,kita ke rumah Pak Kasmin juga, yu! kita ikut melayat." Aku menarik pelan tangan Ani.
"Eh, gak ah Teh, saya pulang aja, takut dimarahi Bapak," tolak Ani yang membuatku sedikit gusar.
"Kalau kamu mau, ikut aja bareng Bapak, Neng Mona," sahut Pak Lurah sambil menebarkan senyum yang menurutku terasa aneh, tapi karena aku tak tahu rumah Pak Kasmin, aku terpaksa ikut dengannya.
Sesampainya di rumah Pak Kasmin, kami di sambut oleh tangisan Emak-Emak yang menangisi kepergian Pak Kasmin.
"Assalamualaikum. Erni, kamu yang sabar menerima cobaan ini!" ujar Pak lurah sambil menyalami seorang perempuan yang kutaksir adalah istri Pak Kasmin. Wanita itu tergugu.
"Pak lurah, Sekarang Kang Kasmin yang meninggal, kapan Pak Lurah akan bertindak, Pak? apa nunggu semua pendukung pak Lurah habis semua, Pak?" racau Bu Erni di hadapan pak Lurah yang membuat air muka Pak Lurah berubah seketika.
" Halah, mana mungkin dia akan bertindak, dia ini kan pengecut. Dia ini cuma menginginkan jabatan aja, setelah jadi dia akan lupa daratan..ni buktinya dia diam aja walaupun warganya banyak yang meninggal. Untung aja kami dulu gak milih dia, iya kan kang Simon?" timpal salah seorang wanita sambil menyenggol seorang laki-laki yang kutaksir adalah suaminya. Akan tetapi yang membuatku terkejut, dia menyebut nama Simon dan..
"Astagfirullah, laki laki itu ..dia benar-benar Simon salah satu begal itu," gumamku dalam hati namun tak kutampakkan keterkejutanku.
Karena tak mau Simon tahu. Aku berusaha ingin keluar tapi keburu disapa oleh yang punya rumah.
"Eh, ini siapa?kok, mirip dengan Marni?" tanya Bu Erni padaku sehingga membuat semua orang menoleh kearahku termasuk pak Simon. Simon terlihat terkejut dan air mukanya berubah menjadi pias, sepertinya dia mengenaliku.
Aku tersenyum simpul dan ingin menjawab tapi sebelum aku menjawab, Paman Ahmad yang ternyata berada disitu terlebih dahulu menjawab.
"Oh iya, ini Mona keponakan saya, dia memang anaknya teh Marni, dia baru datang dari kota tadi malam. Katanya Dia juga diserang para begal itu, untungnya dia dan temannya berhasil kabur," terang pamanku sambil menuju ke arahku.
Mendengar penjelasan paman, para warga desa itu mengangguk, sementara Pak Simon terlihat semakin ketakutan.
Belum sempat kami berbincang lebih jauh, dari arah luar, muncul orang yang terlihat tergesa-gesa mendekat ke arah paman.
"Pak Ahmad, Kang Parmin kesurupan, tolong lihat dia Pak!" tutur orang itu dengan napas tersengal.
"Ya Allah, ayo kita ke sana!" ajak Paman pada warga yang lain.
"Paman, Mona ikut!" seruku sambil menyusul Paman yang sudah berlari menuju rumah Parmin.
Setelah sampai di rumah Parmin, Paman Ahmad segera menuju ruangan di mana Parmin berada.
Kulihat Parmin berbaring di ranjangnya sambil meraung raung kesakitan. Di antara dua pahanya, terlihat sesuatu yang menggelembung sebesar buah kelapa, bahkan semakin bertambah besar seiring jeritan kesakitan Parmin.
"Ya Allah, ampuni hamba, hamba tak bermaksud menyakiti orang, hamba hanya membela diri," lirihku dalam hati. Aku merasa bersalah karena aku juga memukulnya.
"Parmin begitu karena Santet," jelas Paman Ahmad sambil menepuk bahuku, seakan beliau faham apa yang kurasakan.
" Bu Jasnah, ambilkan air bersih, ya! dan kamu Mon, ayo bantu Paman mengobati Parmin!" Setelah selesai berucap, Paman segera mendekati Parmin dan mulai membacakan ayat-ayat Alquran dan doa doa penangkal Sihir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments