Penolakan Papa

"Kami tidak mengusikmu, kami hanya mencari keluarga kami yang ditangkap sebangsamu," sahut Paman Ahmad yang baru selesai berwudu.

Usai berkata begitu, paman segera menghamparkan sorbannya untuk melaksanakan solat.

"Ahghhghh, kurang ajar, mau apa kamu?" teriak mahluk menyeramkan itu sambil menggerakkan sebuah ranting pohon dan menjatuhkannya ke arah paman.

Aku yang panik segera menghalau ranting itu dan berusaha menangkapnya.

hep

Huushh ... brakkk!

Aku melompat dan menangkap ranting itu, setelahnya kulempar kesembarang arah.

"hggggh ... kurang ajar kau!" Jin itu terlihat mendekat ke arahku, tangannya yang memanjang kini berada di leherku dan berusaha mencekikku.

"Ahkkkghg ... ya Allah, tolong hamba. Bismillahi La Yadurru ma'asmihi syai'un fil Ardi Wa La fi sama..wa hua ala kulli syai'in qodiir." Aku berusaha membaca doa meski dengan terbata bata sambil memejamkan. Dadaku makin terasa sesak, Jin itu semakin kuat mencekikku, Namun, tiba-tiba saja kurasakan sebuah tangan menyentuh ubun-ubunku dan kudengar lantunan doa, ternyata itu adalah Paman.

 "Aaaaaa ... Ampuun ... panas!" Jin itu menjerit dan beteriak seperti kepanasan kemudian menghilang dari pandangan.

 "Alhamdulillah dia sudah pergi," ungkapku penuh rasa syukur.

"Ahkkhkh, Tolooong, tooloong, tolong saya!" Tiba-tiba saja terdengar suara rintihan orang minta tolong..

"Paman, itu seperti suara papah, spertinya dari arah sana paman." Aku dan paman segera bergegas ke arah sumber suara itu. Benar saja, di bawah pohon besar kami lihat seorang laki-laki meringkuk kesakitan.

"Papah, Alhamdulillah akhirnya kami menemukan papah." Dengan penuh haru aku segera mengambur memeluk papa, namun papa malah menghindar dan ketakutan.

"Kamu siapa? Lepaskan saya!" Papa berteriak ketakutan sembari memejamkan matanya.

Aku terus mencoba meyakinkan Papa, "Papah, ini Zahra, Paah. Papah inget kan. Ini Zahra, anak Papah."

"Tidak, kamu pasti bohong, tadi juga ada yg berwajah mirip istri saya ternyata mahluk menyeramkan." jawab Papa masih tetap tak mau membuka matanya.

"Paa, ini beneran Zahra. Bukannya di dunia ini gak ada orang lain yang panggil aku Zahra selain Papah, iya kan, Pah?"

 Papa mulai membuka matanya dan mengamatiku dengan seksama. Ia mengulurkan tangannya ke wajahku dan mencoba mengusapnya seolah ingin memastikan, aku ini anaknya atau bukan.

"Ya Allah, Alhamdulillah. Ini beneran kamu, Nak? Zahra Anakku!" Papa memelukku dengan erat setelah yakin aku adalah Zahra.

"Mon, ayo kita bawa papamu pulang karena sebentar lagi adzan subuh," ajak Paman, kami pun bergegas untuk keluar dari hutan ini dan kembali ke Cikoneng.

****

Azan telah berkumandang ketika kami sampai di rumah paman. Kami disambut tangis haru mamaku dan Bi Mira juga Nisa dan Ani yang telah bangun.

Usai melaksanakan solat subuh, semua orang melakukan aktifitasnya masing-masing.

Bi Mira dibantu Nisa dan Ani memasak di dapur, Papah dan mamah beristirahat begitu juga Paman. Tinggal aku yang masih duduk termenung di atas sajadahku.

Bulir bening ini tak mau berhenti mengalir dari pipi. Dadaku pun selalu berdebar tak karuan.

Perasaanku kini bercampur aduk antara takut, benci, dan marah, tetapi ada juga rasa aneh yang sulit aku mengerti.

"Ya Allah, apa pernikahanku dn6gan Pak Arman akan benar-benar terjadi? lalu apa yang harus hamba lakukan ya Allah? harus kah hamba menikah dngan laki-laki yang seumuran papa, sementara umurku belum genap 18 tahun dan terlebih laki-laki itu sangat misterius."

Aku bermonolog sembari menatap sajadah, Kesedihan ini membuatku terhanyut sampai-sampai aku tak sadar di sampingku sudah ada Papa dan mamaku.

"Zahra, kamu kenapa, Nak?" tanya papa. Aku tersentak kaget dan menoleh ke arah mereka berdua. Mamah yang memahami ku, kini duduk di seblahku.

"Pah, biar mamah yang jelaskan, ya?" ujar mamah, dia pun langsung menjelaskan tentang Pak Arman.

Wajah Papa langsung berubah menjadi merah padam. Giginya gemeletuk menahan amarah.

"Bangsat si Arman itu, kenapa dia berani sekali mengganggu keluargaku?. Zahra, sekarang kemasi barang-barangmu. Kita pulang hari ini juga!, ajak temanmu!" titahnya tegas.

"Lalu bagaimana dngan warga desa ini, Pa?" tanyaku padanya.

"Kita akan lapor polisi, biar si Arman itu ditangkap polisi," jawabnya lugas. Ia bergegas melangkah masuk ke kamar, namun dicegah oleh mamah.

"Pa, semuanya tak semudah itu, kita gak punya bukti kongkrit untuk lapor polisi karena yang mereka lakukan itu sihir. Lagi pula, walaupun Arman ditangkap, Teror tak akan mereka hentikan, karena dalang utama teror ini bukan Arman," Mamah mencoba menjelaskan pada Papa.

"Lalu apa dengan menikahkan Mona dengan lurah itu, nanti mereka akan menjamin bahwa mereka akan menghentikan teror ini? " Papa tak mau kalah Argumen.

Aku melirik ke arah Mama yang terlihat kehabisan kata-kata.

"Pah, memang belum tentu mereka hentikan, tapi katanya kalau Zahra gak mau menikah, mereka akan melakukan teror yang lebih mengerikan bahkan mereka akan melakukan pembantaian, jadi Zahra gak mau mereka mengorbankan warga, Pa," sahutku mencoba menjelaskan pada Papa.

Papa menghela napas dalam-dalam, tapi dia tetap tak bergeming. "Lagian, tadi Zahra sudah bilang ke pak Lurah bhwa Zahra setuju, Pah, asal dia beri tahu keberadaan Papah, jadi Zahra gak mungkin ingkar janji," tambahku lagi.

Papah mengerenyitkan dahinyya dan mendekatkan wajahnya ke wajahku seperti menyelidiki sesuatu.

"Tunggu, tunggu!ini sebenarnya kerena kamu ingin membantu warga atau ... hmmm ... ada sesuatu di hati kamu?" tanyanya sembari menaik-turunkan alisnya.

Deg...

Pertanyaan papa itu membuatku mati kutu, wajahku memerah menahan malu, entah knapa aku seperti merasa tersindir.

"Papah, apa-apaan sih ngomong gitu sama Mona?" Sergah mamah .

"Iih, Papah, ngomong apa sih. Orang Zahra tadi setuju karna dia mengancam gak mau bilang papa ada di mana. Terus, dia juga tadi maunya nikahin mamah, makanya Zahra gak mau dia merendahkan mamah." sahutku berusaha meyakinkan Papah.

Mata Papa terlihat melotot mendengar perkataanku. "Apa, si bajingan itu bicara begitu? sungguh kurang ajar sekali dia!"

"Iya, Pa. makanya Zahra setuju dengan permintaan dia untuk gantiin Mama. Memangnya Papah mau kalau Pak Lurah itu tetap mendesak untuk menikah dengan Mama?" tambahku setengah berbisik.

Papah melotot dan ..

Pletakk

Dia menjentik keningku dengan jarinya.

"Awhh, sakit, Paah," keluhku manja.

"Makanya kalau ngomong jangan sembarangan, masa Papah rela ngebiarin tuh kampret godain mamah kamu?" ucapnya berapi-api.

Aku mengulum senyum begitu juga Mama."Ya maka dari itu Zahra gak mau pak Lurah itu ngerendahin Mamah dan Papah, makanya Zahra terpaksa nurutin kemaunnya."

"Ya sudah, sekarang sebaiknya kita istirahat dulu, dari semalam kan kita semua gak ada yang istirahat. Nanti kalau si kampret itu berani datang, biar papah yang ngadepin." Setelah berkata begitu, Papa dan mamah pergi ke kamar yang telah disediakan paman. Sementara aku memutuskan untuk menemani Bi Mira dan yang lainnya di dapur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!