"Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?" tanya Raja Halbert gelisah.
Orang kepercayaan Raja tersebut kembali memberi hormat.
"Ampun beribu ampun, Yang Mulia. Maafkan hamba, hamba sama sekali belum menemukan apapun," katanya hati-hati.
Raja pun mengangguk paham tanpa melihat ke arah pria itu.
"Baiklah, kau boleh kembali," katanya.
Mentri Zhaq pun memberi hormat sebelum beranjak pergi.
Kakinya pun melangkah menuju rak buku besar yang berdiri kokoh di sudut ruangan. Tangannya langsung mengambil sebuah kotak hitam berukuran sedang yang berada di barisan ketiga rak buku.
Kotak itu dia bawa kembali ke atas meja. Sang Raja membuang Nafas kasar dan memungut dengan malas surat tersebut dari atas lantai.
Setelah kotak hitam itu dibuka, ternyata di dalam sana tersimpan Tiga lembar kertas, yang sama persis dengan kertas yang baru dia temukan pagi ini.
Wajah Sang Penguasa Adrilinia itu semakin gusar. Bagaimana tidak, putranya saat ini sedang terancam kematian.
Terancam? Yah, seluruh surat yang dia terima akhir-akhir ini berisi ancaman terhadap Pangeran Mahkota.
"Tidak! Aku tidak boleh melakukannya!" kata sang Raja. Jari-jari kokohnya meremas sisi kertas.
"Tidak mungkin aku harus membunuh darah daging ku sendiri!"
Ini sungguh berat baginya. Dia sangat mengerti mengenai putranya.
Putra yang sangat dia cintai itu adalah pembawa petaka bagi Adrilinia bila dibiarkan hidup. Tapi dia juga tak bisa kehilangan kekuasaan dan rakyatnya.
Mana yang harus dia pilih?
Melindungi rakyat atau darah dagingnya?
Ini sungguh tidak mudah!
Kemudian dia meletakkan surat sialan itu ke dalam kotak, bersama dengan surat-surat yang lainnya dan ditutup kasar.
Pandangannya pun tertuju pada luar jendela. Dia sangat bingung.
Apapun caranya dia akan melindungi keduanya, putra dan rakyatnya.
Tapi bagaimana caranya?
Terlebih putra satu-satunya itu sangat nakal dan suka membangkang!
Anak itu selalu pergi tanpa izin sesukanya.
Lalu bagaimana cara dia untuk melindunginya?
Putra satu-satunya?
Yap! Adrilinia hanya memiliki seorang pewaris, tak lebih. Itupun namanya sudah tercap sebagai Pangeran iblis terkutuk. Dan takut kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu kembali terulang.
Ada satu penyebab mengapa Raja dan Ratu Adrilinia hanya memiliki seorang anak.
Raja berjalan menuju jendela dan menghirup oksigen sebanyak mungkin, dengan harapan itu bisa sedikit mengurangi kegelisahannya.
Mata teduhnya menatap arah luar.
Ingatannya pun melayang ke 21 tahun yang lalu.
...----------------...
"Horee!! Sebentar lagi aku akan punya keponakan!!" seru seorang gadis berusia 11 tahun yang merupakan adik kandung Ratu. Dia melompat-lompat girang sambil menatap perut kakaknya yang mulai membesar.
Ratu tersebut merupakan Ratu Negeri Adrilinia.
"Sssst… Jangan berisik. Nanti dia bisa bangun," bisik sang Ratu pada adiknya. Sang ratu mengelus perutnya dengan penuh kasih sayang.
"Ups… Maaf!" Gadis itu tertawa kecil.
Bulan ini kandungan Ratu Adrilinia telah memasuki usia 6 bulan.
"Akh!" Tiba-tiba Ratu merasa pusing dan mual. Segera gadis itu membantu kakaknya beserta bayinya berbaring di ranjang.
"Apa kakak baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
"Jangan khawatir, mungkin ini efek kehamilan," balas sang Ratu sambil mengelus lembut rambut perak adiknya.
"Kalau begitu kakak harus lebih banyak istirahat," Tangan gadis itu menggenggam erat tangan kakaknya.
Dan dibalas anggukan oleh sang Ratu.
Sang Ratu mengatakan hal itu hanya untuk menenangkan adiknya. Sebenarnya bukan itu yang terjadi.
Hatinya ragu, apakah yang dipikirkannya itu benar atau salah.
Tapi semoga saja itu salah!
Kedua kakak beradik yang memiliki bola mata biru dan berambut perak ini tampak sama gelisahnya.
Kegelisahan itu terus berlanjut hingga sang ayah bayi masuk ke ruangan.
Sontak keduanya langsung memasang wajah 'baik-baik saja'.
Sang penguasa Adrilinia itu tampak sedikit terkejut ketika mendapati permaisurinya tengah berbaring di ranjang. Namun rasa itu hilang, ketika wanita yang paling dia cintai itu menyambutnya dengan senyuman.
"Sayang," sapa Ratu dengan senyum menggodanya.
Sang Raja pun duduk di sisi ranjang dan mengecup puncak kepala permaisurinya.
"Bagaimana perasaanmu dan bayi kita?" tanya Raja Halbert yang tak bosan mengelus lembut perut permaisurinya.
"Baik," ujar Ratu sambil tersenyum.
Gadis belia yang dari tadi hanya melihat kemesraan mereka pun merasa tidak enak. Dia pun pamit undur diri, meninggalkan pasutri tersebut berdua saja di dalam ruangan.
"Syukurlah!" ucap Raja Halbert muda yang lagi-lagi mengecup puncak kepala permaisurinya.
Di masa itu Raja Halbert muda tengah berbahagia. Sudah lama dia menanti-nantikan momen ini. Tak lama lagi calon pewarisnya akan hadir di dunia.
Raja tampak berpikir sejenak.
"Bagaimana kalau kita memanggil tabib? Aku harus memastikan bahwa kalian baik-baik saja," usulnya.
Ratu pun mengangguk setuju.
"Semoga saja seperti itu," batinnya.
KEESOKAN HARINYA…
Seorang wanita yang sudah berkepala tiga sedang berjalan takut-takut di lorong istana. Tak lupa peralatan spiritual dibawanya. Parasnya terus saja memucat ketika dua orang prajurit di sisinya terus mengikutinya.
Kedua prajurit itupun berhenti di sebuah pintu megah berlapis emas dan segera memerintahkan wanita itu untuk masuk.
Wanita itu menelan salivanya. Ini untuk pertama kalinya dia di panggil oleh sang Raja. Entah gerangan apa yang membuat dirinya terpilih untuk melangkah kemari.
Perlahan dia mendorong pintu tersebut.
Aroma lembut langsung menyapa penciumannya. Di ruangan nan luas itu, ada sebuah ranjang mewah tempat sang Ratu berbaring.
Sedang di sisi lain ranjang, sang Raja sedang duduk di atas kursi sambil menggenggam hangat tangan permaisurinya.
Wanita itupun masuk. Dia berjalan sambil menatap ke sekeliling kamar. Beberapa perabotan mewah terpajang indah di setiap sisi ruangan.
Rasa iri terlintas dalam benaknya.
Mengapa dunia ini terasa tidak adil untuknya?
Bisakah dia hidup mewah bak Raja dan Ratu?
Dia menatap wajah Rajanya takut sebelum memberi hormat. Bahkan dia tak ingat untuk melihat Ratunya.
"Siapa namamu?" tanya Raja datar.
"Na-nama saya Se-Selvia, Yang Mulia," jawabnya terbata-bata.
"Aku dengar kau adalah salah satu tabib terbaik yang dikatakan orang-orang," puji sang Raja.
Selvia langsung merasa tersanjung karena telah dipuji oleh Raja.
"Yang Mulia terlalu berlebih-lebihan," katanya sungkan.
"Kalau begitu, aku ingin kau memeriksa keadaan kandungan permaisuri ku,"
"Baik, Yang Mulia."
Tabib itupun duduk di tepi ranjang Ratu. Tubuhnya bisa merasakan kenyamanan di permukaan ranjang mewah dan empuk tersebut. Tidak terbayang olehnya jika dia bisa tidur di atas sana.
Dia menatap wajah cantik Ratunya. Untuk pertama kalinya dia bertemu Ratu secara dekat seperti ini.
Kulitnya putih mulus terbalut gaun. Ditambah bola mata biru dan rambut perak. Memang seorang wanita yang layak untuk dijadikan permaisuri Raja.
Dengan sangat hati-hati dia memeriksa denyut nadi di pergelangan Ratunya. Lalu beralih meraba perut buncit yang berisi kehidupan tersebut. Semua itu dilakukan dengan sangat lembut dan hati-hati.
Tiba-tiba paras wanita itu berubah.
"Ada apa?" tanya Raja ketika mendapati ada sesuatu yang tak beres dari wajah tabib tersebut.
Selvia menelan salivanya dan bertanya dengan sangat hati-hati,
"Ampun, Yang Mulia. Apakah hamba boleh bertanya sesuatu?"
"Silahkan!" Raja mengangguk.
B"Maafkan hamba bila lancang. Apakah Yang Mulia Raja dan Ratu pernah melanggar suatu hukum?" Tanya Selvia hati-hati
Deg!
Seketika wajah sang Raja berubah pucat pasi.
Kemudian dia menatap permaisurinya yang masih terbaring di atas ranjang. Ternyata ekspresi permaisurinya tak kalah terkejut dengan dirinya.
"Tidak, tentu saja tidak!" jawab Raja terburu-buru.
Tabib itu mengangguk pelan dan kembali memeriksa denyut nadi sang Ratu.
"Apa terjadi sesuatu?" Raja Halbert berusaha berekspresi setenang mungkin.
"Sebelumnya hamba mohon ampun pada Yang Mulia," ucap tabib tersebut dengan menundukkan kepala. Sebelum bicara dia menarik nafas dalam-dalam, seolah mencari keamanan di dalam sana.
"Bayi yang dikandung Yang Mulia Ratu terancam keguguran,"
Deg!
Kedua penguasa itu tercekat. Tubuh mereka membeku seketika saat mendengar pernyataan tersebut.
Ratu memejamkan matanya gelisah.
Dadanya terasa sesak, seakan-akan jantungnya telah berhenti memompa darah. Sebagai calon ibu, dia sudah berperasaan tidak enak dengan keadaan bayinya
Selvia memejamkan matanya sesaat. Dia tau, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberi tahukannya. Tapi dia harus melakukannya! Sebelum semuanya terlambat!
Tidak mungkin dirinya berbohong atas keadaan calon pewaris pemimpin kerajaan mereka.
Ini memang pahit.
Namun sebenarnya dia juga tak siap dengan resiko yang akan diterimanya.
Dan benar saja. Wajah sang Raja telah merah padam dengan rahang yang mengeras, seolah sedang menahan emosi yang membara.
"Cepat, cepat katakan! Bahwa yang kau katakan itu tidak benar!!" teriaknya dengan tangan yang terkepal erat.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments