Sruk!
Sesosok pemuda keluar dari sana. Menyebabkan daun-daun segar itu kembali bertaburan.
Secara otomatis tangan Ran langsung menutupi wajahnya, takut kotoran yang terikut bersama daun-daun itu masuk ke mata atau hidungnya.
Seketika emosinya langsung meledak.
Siapa yang berani mengganggu pekerjaannya?
Apakah dia mau minta dihajar?
Apa dia pikir keranjang ini tempat untuk bermain petak umpet?
Daun-daun segar berjatuhan, berputar-putar bersama arah angin.
Itu sedikit menghalangi pandangannya pada sosok pengganggu tersebut.
Suasana nyaman mulai sirna. Akibat gumpalan awan yang bergeser, mempersilahkan cahaya matahari kembali menyengat.
Daun-daun mendarat mulus di tanah, membuat sosok pengganggu itu terlihat jelas di mata.
Tangan itu terkepal erat dan tinjunya telah siap untuk dilayangkan. Namun tinju gadis tersebut mengendur ketika sosok menawan itu dapat terlihat jelas di depannya.
Tubuhnya membeku saat menyaksikan sosok menawan yang bermandikan cahaya matahari itu. Tangannya begitu anggun menyingkirkan dedaunan yang tersangkut pada pakaian dan rambut hitamnya. Yang kemudian bola mata birunya menatap tajam ke arah gadis yang matanya telah berair itu.
Tangan halus itu terulur, menangkup lembut sisi wajah sosok tersebut. Ibu jarinya mengusap lembut pipinya. Seluruh emosi Ran terhenti seketika. Hatinya bergetar dan rasanya ingin meledak.
"Shinichi!" Nama itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Sedangkan sosok itu hanya menatap datar wajah sang pemilik tangan yang menangkup wajahnya. Sekilas ada raut keterkejutan di wajahnya.
Alis pemuda itu saling bertautan, heran dengan nama asing yang baru disebutkan oleh gadis tersebut.
"Cepat! Katakan padaku! Apakah kau sungguh Shinichi?" Suara itu terdengar penuh dengan kerinduan. Bulir-bulir bening itupun turun membasahi pipinya. Namun pemuda itu sama sekali tak mengubah ekspresinya.
Lagi-lagi nama asing itu disebut di depannya. Di dalam hati dia mulai kesal dengan gadis ini.
"Siapa gadis ini? Mengapa dia terus-terusan saja menyebutku sebagai Shinichi? Benar-benar!"
"Kenapa kau diam saja?!" Satu tangan Ran mulai mengguncang tubuh itu.
"Ini aku, Ran Maouri! Teman masa kecilmu! Apakah kau telah melupakanku?" rengeknya.
Kedua tangan itu terangkat, menarik turun sepasang tangan yang tengah menyentuh pipi dan tubuhnya.
"Sepertinya kau salah orang," katanya dingin.
"Apa?! Tidak mungkin aku salah mengenali orang!" bantah Ran.
Orang itu sama sekali tak menggubris dirinya.
Air matanya tak henti mengalir. Hatinya sungguh kecewa! Dia tak percaya!
Bagaimana bisa orang yang selama ini sangat dia kenali, sekarang mengaku sama sekali tidak mengenal dirinya?
Pemuda berwajah Shinichi itu melangkahkan kakinya keluar dari keranjang dan kembali menyingkirkan daun-daun yang tersangkut di bagian bawah pakaiannya.
Dia pun kembali menatap datar gadis yang wajahnya sudah dibanjiri oleh air mata itu.
"Biar ku tegaskan sekali lagi. Aku bukanlah orang yang kau kenal!" Ada penekanan di ujung kalimatnya.
"Dan berhentilah menangis untuk orang yang tak kau kenal!"
Dan kata-kata itu sukses membuat Ran diam.
"Apakah sungguh orang ini bukan Shinichi?" batinnya tak percaya.
Dia menatap pemuda itu dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dia sama sekali tak menemukan perbedaan di sana. Namun semakin lama dia menatap orang tak berekspresi ini, sedikit datang keraguan di hatinya.
Shinichi tidaklah seperti ini. Meski terkadang dia bersikap dingin, namun tak pernah memperlakukan dirinya seperti ini.
Benarkah orang ini bukan Shinichi Kudo yang dia kenal?
Oh, apa mungkin dia mengalami amnesia?
Bisa saja kepalanya terbentur saat tiba di tempat ini. Oleh sebab itu dia bisa melupakan temannya ini.
Namun, apa sungguh Shinichi juga terlempar ke tempat yang sama dengan dirinya?
Ran menghapus air matanya. Dia mencoba meneliti lebih dalam orang ini sekali lagi. Apakah benar dia orang yang berbeda? Dan hasilnya tetap sama, tak ada sedikitpun perbedaan.
Lama-kelamaan pemuda itu menjadi tak nyaman karena terus menerus diperhatikan. Dia pun beranjak masuk ke rumah melalui pintu belakang tanpa permisi.
"Hei, tunggu!! Aku belum selesai!" teriak Ran dan langsung menyusul langkah pemuda tersebut.
"Orang ini sungguh tidak sopan!"
...----------------...
Setelah perdebatan itu usai, Theona dan Shinichi kembali duduk di teras rumah Darrion. keduanya saling menghela nafas, tak tau mau melakukan apa untuk memecah suasana.
"Kalian terlihat lesu. Apa yang terjadi pada kalian berdua?" tanya Darrion yang baru saja akan beranjak keluar rumah.
Kemudian keponakan Darrion itu menceritakan secara singkat kejadian yang baru saja terjadi.
"Oh, jadi begitu." Pria itu mengangguk paham sambil berkata,
"Jadi Nona Relyn sangat mirip dengan temanmu itu," ujarnya pada si detektif yang tengah bersedih itu
"Ya, begitulah, paman!" Shinichi memalingkan wajahnya ke arah kedua insan yang masih setia bertatapan itu. Entah mengapa hatinya terasa sesak melihat kedekatan dua orang terpandang tersebut.
Si detektif itu berusaha menyadarkan dirinya, bahwa gadis yang tengah berdiri di sana bukanlah Ran yang dia kenal!
Sulit sekali baginya untuk menepis pemikiran tersebut dari benaknya. Apalagi ketika menyaksikan kedua sosok itu tengah bergandengan tangan, mengisi sela-sela jari yang kosong.
"Pangeran, jangan lakukan ini." Rin mencoba melepas genggaman Pangeran Evand dengan lembut.
"Aku mau buang air dulu," ujarnya dan langsung berlari bersama bukunya tanpa memberi kesempatan pada Pangeran Evand untuk bicara.
Sang Pangeran hanya menatap punggung gadis itu sekilas dan pergi masuk ke ruang kelas.
Gadis yang serupa dengan Ran itu berjalan dengan kepala yang tertunduk. Sepertinya dia berusaha untuk menyembunyikan wajah murungnya dari tatapan orang. Jika ada yang tau, mungkin dia akan menerima banyak cemoohan.
Sebenarnya bersama Pangeran Evand adalah momen yang paling aman untuknya. Karena dengan keberadaan si Pangeran bermata hijau itu, orang-orang tak akan berani mendekat, apalagi mencaci maki dirinya. Bila itu sempat terjadi di depan mata Sang Pangeran, maka pelakunya harus bersiap-siap untuk menerima hukuman darinya.
Di tengah jalan, rupanya Rin dicegat oleh dua orang gadis bangsawan.
Tanpa ada aba-aba, seorang dari mereka langsung meraih dan menjambak kasar rambut panjangnya.
"Bagus sekali tingkahmu!" hardik Angelina.
Maria yang berada di sisinya terlihat tersenyum puas.
Buku serta alat tulis di tangan Rin langsung berjatuhan ke tanah.
"Akh! Lepas!!" Rin pun juga tak mau kalah, dia langsung menghempaskan tangan Angelina dari rambutnya.
"Si bodoh ini! Berani sekali kau melawanku!!" tekan Angelina.
"Apa maksudmu? Aku sama sekali tak tau maksudmu!" bantah Rin sambil mundur satu langkah.
"Oh! pura-pura bodoh, ya?" Angelina tersenyum sinis.
Tiba-tiba tawa Maria pecah. Maria yang sejak tadi hanya menonton, kini ikut tertawa mengejek.
"Diakan memang bodoh! Relyn Quella Cousmont, si nona bodoh!!" celanya.
Melihat perlakuan dua gadis bangsawan itu, sontak Shinichi berdiri dari tempatnya. Kakinya melangkah tanpa diminta. Amarahnya membuncah hingga ke ubun-ubun.
Dia tak tahan!
Mereka sungguh keterlaluan!
Beruntung tangannya langsung cepat ditahan oleh Theona. Dia berbalik dan menatap tajam pada gadis itu.
Theona sangat paham dengan perasaan Shinichi sekarang, bahkan lebih jauh dari padanya.
Theona menggeleng pelan, seolah itu sebuah peringatan untuknya.
"Jika kau bertindak sekarang, aku tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya…"
Pemuda itu lama menatap Theona.
"Apa kau pikir hanya dengan melihatnya dia bisa selamat?!" serang Shinichi.
"Tidak, aku mohon! Ini untuk kebaikanmu juga. Jadi tolong bersabarlah!" pinta Theona penuh permohonan.
Mata biru itu menatap ragu pada gadis imut tersebut.
"Baiklah! Karena kau bodoh, aku akan mengajarimu!!"
Angelina perlahan mendekat ke arah gadis itu. Rin berusaha mundur, membuat jarak antara mereka. Namun ruang di belakangnya telah habis. Punggungnya langsung bertemu dengan tiang penyangga perpustakaan.
Sekarang hampir tak ada jarak antara keduanya. Tangan Angelina terulur dan mencengkram kuat rahang putih gadis itu. Sempat ada perlawanan, tapi itu sia-sia saja.
"Kau dengar baik-baik!" katanya dengan mengeratkan gigi gerahamnya.
"Jangan pernah coba-coba untuk menggoda Pangeran Evand!!!" ancamnya.
"Jika tidak, maka kau sudah tau akibatnya," bisik Angelina, namun suara itu terasa menusuk dan menyakitkan di telinga Rin.
Rin sangat tau dengan perangai gadis ini. Dia tak mau mengambil resiko. Angelina akan menyiksa semua orang yang mencoba menghalangi tujuannya. Tapi masalahnya, dia sama sekali tak pernah melakukan apapun!
"Aku tidak pernah melakukannya!!" bantah Rin dengan susah payah.
Tangannya maju dan balik mencengkram pergelangan tangan Angelina.
"Masih tidak mau mengaku rupanya," Angelina tersenyum sinis dan menguatkan cengkramannya di dagu Rin.
Bulir-bulir bening telah menggantung di garis matanya.
"Akhh!! Le-lepas!" Rin merintih kesakitan. Cengkraman Angelina terlalu kuat, rasanya jari-jari lentiknya itu akan menembus rahangnya.
"Baiklah! Kalau begitu, akan aku buat agar kau mengakuinya!!"
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments