Matahari mulai meninggi, memusnahkan dinginnya udara pagi.
Shinichi masih berdiri mematung di tengah halaman. Tatapannya kosong. Pikirannya masih sibuk dengan gadis yang serupa dengan Ran itu.
"Doku? Apa kau baik-baik saja?" panggil Theona sambil menepuk pelan pundak Shinichi.
Dia hanya sedikit menggeser wajahnya, sama sekali tak berminat untuk menjawab.
Biasanya Shinichi akan marah jika namanya salah sebut. Tapi kali ini, hal itu tidak berlaku. Bibirnya tetap diam. Tak satupun huruf dilontarkan olehnya.
"Maaf!"
Tiba-tiba sebuah suara asing menyapa mereka.
Sontak Theona menunduk hormat pada sang pemilik suara.
"Hormat kepada Pangeran Evando Dolard Adriline!" ucapnya.
Sedangkan Shinichi memutar bola matanya malas dan memalingkan wajahnya. Dia tampak acuh tak acuh atas kehadiran Pangeran Evand.
"Orang ini lagi! Apakah dia tidak tau kejadian yang sudah menimpa temannya itu?" gerutunya dalam hati.
"Ada yang bisa saya bantu untuk Pangeran?" tanya Theona sopan.
"Apakah kau melihat Rin? Sejak tadi dia belum kembali," ujar si Pangeran bermata hijau tersebut.
Tubuh Theona langsung membeku. Baginya sulit sekali untuk menjawab pertanyaan ini.
Mendengar pertanyaan itu, minat Shinichi sedikit bergeser. Bola mata birunya melirik mengarah bola mata hijau Pangeran Evand. Kedua pasang mata itu bertemu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ka-kau…!"
Bola mata hijaunya membulat penuh sambil menunjuk pemuda yang sedang bersama gadis pelayan tersebut. Wajahnya begitu tegang dengan lidah yang sulit digerakkan.
Pangeran Evand tak bisa tak terkejut melihat pemandangan ini.
Karena Pangeran Evand menampilkan ekspresi aneh tersebut, Shinichi pun berputar menghadap Pangeran berambut pirang itu.
"Pangeran!" ucapnya malas sambil menunduk hormat.
Shinichi sama sekali tak memperlihatkan ekspresi apapun selain malas.
Pangeran Evand diam, berusaha mengontrol ekspresinya.
"Apakah benar itu dia? Kalaupun benar, bagaimana bisa dia sampai di sini?" batin Pangeran Evand.
"Apa ada yang salah dengan saya?" tanya Shinichi malas. Sebenarnya dia sama sekali tak ingin berbicara dengannya. Menatapnya pun juga tak ingin. Tapi tatapan keterkejutan itu benar-benar membuatnya tak nyaman.
Lagi-lagi si pangeran bermata hijau itu terkejut. Namun cepat dia redakan dengan berpura-pura batuk.
"Tidak ada. Aku hanya ingin tau namamu saja," katanya sedikit canggung.
"Orang ini benar-benar menyusahkan!" batin Shinichi kesal.
"Aku Shinichi Kudo," ucapnya sambil menunduk malas.
Jujur saja, baru kali ini dia bisa melihat sang idola para gadis dari dekat.
Jika seandainya saja dia adalah seorang gadis, mungkin dia sudah menjerit dan meminta tanda tangan orang ini.
Pangeran Evand mengangguk kecil.
"Syukurlah! Ternyata bukan dia,"
Dia menghela nafas lega. Kini dia bisa sedikit tenang.
"Tapi bagaimana jika dia hanya berpura-pura?"
Pangeran Evand tak habis pikir dengan orang asing ini. Kekhawatirannya tak bisa hilang sebelum benar-benar memastikan identitas orang ini. Maksudnya, orang yang bernama Shinichi Kudo ini memiliki nama asing tapi berwajah familiar. Sang Pangeran kemudian menatap tak percaya pada pemuda asing ini.
Sampai suara lembut itu mengagetkan mereka,
"Pangeran! Apa yang kau lakukan disini?"
Sontak seluruh pandangan langsung jatuh pada sang pemilik suara.
"Rin!" seru Pangeran Evand dengan senyum lebarnya.
"Tentu saja aku mencarimu! Sebentar lagi pelajaran akan segera dimulai," ujarnya.
Dahi sang idola itu tampak mengkerut pelan. Dia heran melihat penampilan gadis ini yang sedikit berantakan dan ada bekas air mata di pipi lembutnya.
"Apa yang …-"
"Ayo kita kembali!" potong Rin cepat tanpa memberi kesempatan Pangeran Evand untuk bicara.
"Baiklah,"
Pangeran Evand berhenti sejenak ketika sudah beberapa langkah berjalan. Dia sudah melupakan kehadiran Shinichi karena kedatangan Rin.
Jubah bangsawannya berkibar ketika sang pangeran berbalik. Rasa heran yang dia pendam sejak tadi, kini tergantikan dengan senyum sinis.
"Baiklah, kita lihat saja! Siapa yang sedang menipu di sini," batinnya.
Sebagai seorang detektif, tentu Shinichi menyadari hal itu.
"Sebenarnya apa yang dia inginkan dariku?"
Shinichi belum tau bagaimana sifat asli dari orang ini. Dia seolah sedang menyembunyikan sesuatu. Entah apalah itu, firasatnya mengatakan itu adalah sesuatu yang buruk.
Ini menyebalkan!
Seandainya dia ingat isi dari buku itu, pasti dia tidak perlu bersusah payah seperti ini.
...----------------...
Beberapa hari ini pemuda bangsawan itu terus saja datang ke kediaman Nenek Leen.
Sejak kejadian beberapa hari yang lalu, Ran menjadi sedikit lebih waspada dari monster es ini.
Di tempat yang sama dan di ruangan yang sama, pemuda itu duduk dengan secangkir teh di tangannya. Tak lupa juga sepiring kue kering tersedia di atas meja.
Gadis cantik itu terus menatap tak suka pada orang ini. Pemuda yang setiap harinya hanya menikmati hidangan yang sama dengan gratis!
"Siapa namamu?"
Ini sudah yang sekian kalinya dia bertanya dengan pertanyaan yang sama. Dan juga mendapat jawaban yang sama.
"Jangan bertanya, kau menggangguku!"
Ran mendengus kesal.
"Kau!" Dia mengacungkan jari telunjuknya.
"Sudah ku tanyakan berkali-kali, tapi kenapa kau tidak pernah mau menjawabnya?"
"Tinggal menjawabnya saja, kenapa sulit sekali?!" protesnya.
Pemuda itu menyesap tehnya Sekali dan menatap tak suka pada gadis yang setiap hari selalu mengganggunya ini.
"Juga sudah ku katakan berkali-kali, itu tidak penting untuk kau ketahui! kenapa kau sangat keras kepala?!"
katanya tak terima.
"Bukannya menjawab, kau malah memarahi ku!" maki Ran dengan setengah berteriak.
Pemuda itu sama sekali tak peduli.
"Jika kau tak menjawab juga, aku akan menganggapmu sebagai seorang penipu!" kata Ran sungguh berapi-api.
Hingga kata-kata itu sukses menarik minat pemuda itu.
Bibir tipis itu berdecak pelan. Tatapan dingin itu langsung menghujam dirinya. Suasana ruangan menjadi sesak, seolah ada gas beracun yang timbul entah dari mana.
"Harvinn Dolano Adriline."
"Ha?!" Ran melongo ketika mendengar nama asing itu.
"Harvinn Dolano Adriline?" ulang Ran.
"Sulit sekali namamu,"
...----------------...
Ruangan pribadi itu tampak sepi. Hanya sesekali terdengar suara balikan kertas dan helaan nafas kasar.
Di luar ruangan, sejumlah prajurit dan pelayanan berbaris rapi menunggu perintah. Tak ada yang berani bergerak apalagi meninggalkan tempat. Bahkan bibir mereka tak pernah terbuka kecuali atas perintah sang majikan.
Pria itu duduk dengan gagah di kursinya. Tangannya tak henti-hentinya membolak-balik secarik kertas.
Kepalanya terasa sakit, seolah ada ribuan benda tajam menusuk kepalanya dari atas.
"Ini kembali terjadi," desahnya.
Matanya yang tampak lelah itu menatap ke luar jendela. Membiarkan angin dan cahaya mentari masuk membelai lembut rambut dan mahkota kebesarannya.
Jendela itu selalu dibiarkan terbuka. Jika saja ada yang berani mengintip atau pun masuk dari sana, maka sang penghuni ruangan tak akan segan-segan memenggal lehernya!
Tiupan angin sedikit kencang, menyebabkan surat itu terlepas dari tangan yang memegangnya. Surat itu dibiarkan saja tergeletak di atas lantai.
Pria itu hanya menatap dingin kertas tersebut tanpa berminat untuk mengambilnya.
Tampak tulisan tangan di permukaan kertas tersebut.
'Teruntuk Sang Penguasa Negeri Adrilinia.
Yang Mulia Raja Halbert Dolano Adriline.
Saya sebagai perwakilan rakyat menginginkan keadilan dari anda, Yang Mulia.
Mau sampai kapan anda akan terus menerus menyimpan pangeran iblis itu?
Apakah Anda lebih menyayangi mesin penghancur Adrilinia dari pada penghuninya?
Tolong pikirkan kembali hal ini baik-baik, Yang Mulia. Jika tidak, kami sendiri yang akan menjadi mesin penghancur bagi pangeran iblis yang sangat anda cintai itu beserta dengan seluruh kekuasaan anda. Dan menggantikan anda dengan penguasa yang baru.
Tolong pertimbangkan lagi hal ini, Yang Mulia.'
Raja Halbert mendesah kasar. Ini adalah yang keempat kalinya surat tak bertuan ini datang dalam sebulan terakhir. Entah dari mana datangnya surat itu. Sejauh yang dia tau, surat itu sudah terselip di laci kamarnya.
Siapa yang berani sekali melakukan hal tersebut?
Raja Halbert bersumpah, bila sampai dia menemukan pelakunya, dia akan membuat orang itu tersiksa tanpa berniat untuk membunuhnya! Meski orang tersebut memohon kematian padanya! Mau siapapun orangnya, dia tak peduli!
Dan dia tak akan menerima permohonan atau alasan apapun!
Meskipun putranya sendiri yang memintanya!
Dan yang lebih mengherankannya lagi, isi surat itu tak pernah berubah.
Semakin hari Raja semakin gelisah.
Semua tentang keselamatan Pangeran Mahkota! Darah dagingnya yang sangat dia cintai!
"Menteri Zhaq!" panggil Raja Halbert lantang.
"Hamba, Yang Mulia," sahut Mentri Zhaq dari luar pintu.
"Masuklah!" perintahnya.
Dengan rasa takut, Menteri Zhaq masuk ke ruangan pribadi Raja.
Ketika dia membungkukkan badan memberi hormat, penglihatannya jatuh pada secarik kertas yang dibiarkan tergeletak di atas lantai.
"Ada gerangan apa Yang Mulia memanggil hamba?" kata Menteri Zhaq takut-takut pada Rajanya yang tengah menatap jendela.
Wajah yang penuh wibawa itu pun berpaling.
"Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?"
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments