"Lalu apa masalahnya denganmu?! Itu urusanku!!!" protes Shinichi.
Theona memukul wajah detektif itu dengan sapu tangan.
"Kau ini tidak mengerti, ya?" Dia mengambil nafas. "Asal kau tau saja, gadis itu adalah Nona Relyn Quella Cousmont. Putri tertua dari keluarga Cousmont sekaligus teman dekatnya Pangeran Evando Dolard Adriline," jelas Theona dengan satu nafas.
"Ja-jadi, dia bukan Ran?" kejut Shinichi tak percaya.
"Ran? Bukan. Dia adalah Nona Rin. Itu adalah panggilan akrabnya dari beberapa orang, termasuk Pangeran Evand," terang gadis pelayan itu.
Tubuh Shinichi langsung lemas dan jatuh tersandar ke permukaan tembok.
"Ternyata mereka adalah orang yang berbeda," katanya lirih dalam keputusasaan.
Theona terkejut melihat respon pemuda itu. Dia maju dan menangkup lembut wajah sang pemuda bermata biru itu. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan dirimu?" tanyanya dengan penuh perhatian.
"Ran! Dia adalah teman masa kecilku. Dan aku telah kehilangan dia!"
Si detektif itu berusaha untuk kembali berdiri tegap.
"Dia sangat mirip dengan Nona Relyn yang kau katakan itu," tambahnya.
"Aku sudah mencoba mencarinya, tapi negeri ini terlalu luas!"
Gadis itupun tersenyum.
"Aku rasa kau tidak perlu susah-susah mencarinya. Dia akan datang dengan sendirinya nanti," katanya sambil mundur satu langkah.
"Apa maksudmu?" Shinichi langsung melototinya.
Bola mata hitamnya tampak melirik ke sana kemari, memastikan apakah ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka. Hari masih pagi, tentunya masih banyak orang yang berlalu lalang. Dia terlihat menatap waspada pada setiap orang yang lewat.
"Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain?" saran Theona.
"Langsung katakan saja!" ujar Shinichi tanpa basa-basi.
Theona pun mendekat ke telinga si detektif itu dan berbisik padanya,
"Semenjak awal aku melihatmu, aku sudah mengira kau adalah orang asing. Buktinya kau tak mengenal Pangeran Evand maupun Nona Relyn."
Shinichi hanya diam. Entah dia dengar atau tidak.
Dia memutar bola matanya malas.
"Jangan banyak basa-basi! Langsung saja ke intinya!" ketus Shinichi.
"Baiklah, baiklah. Ah, kau ini tidak seru!" gerutu Theona dengan bibir yang manyun.
"Begini, nama Nona Relyn sangat terkenal di negeri ini. Seperti yang kau katakan tadi. Jika mereka benar-benar mirip, maka seseorang yang mengenal wajahnya pasti akan mengira dia adalah Nona Relyn yang asli. Dan bisa dipastikan orang itu akan memulangkannya kembali ke rumah kediaman keluarga Cousmont atau ke sekolah ini. karena dia mengira bahwa Nona Relyn sedang tersesat," tuturnya.
"Jadi, kau harus lebih bersabar lagi."
Shinichi kembali terdiam, berusaha mencerna arti dari setiap ucapan gadis tersebut. Dan kemudian mengangguk pertanda dia setuju dengan pendapat Theona.
"Tapi, bagaimana jika orang yang menemukannya adalah orang jahat?" Kini dia kembali bingung.
Theona menghela nafas. Dia paham perasaan pemuda itu. Dia juga pernah merasakan kehilangan. Bahkan itu sangat berat. Ayahnya telah meninggal dunia akibat peperangan antar kaum penyihir, yang membuat dirinya dan ibunya harus bekerja menjadi pelayan untuk bertahan hidup.
Dan lebih menyedihkannya lagi, dia tak begitu ingat wajah ayahnya sendiri. Karena kala itu dia masih balita.
"Kau jangan berpikiran begitu, Adrilinia tidaklah sekejam itu," ujar Theona sambil menepuk-nepuk pundak Shinichi.
Gadis itu terus memandangi pemuda yang baru dia temui beberapa hari yang lalu ini. Wajahnya begitu menawan, mirip seseorang yang pernah dia temui dahulu. Akan tetapi dia lupa siapa dan dimana ketika bertemu dengan orang tersebut.
"Mengapa dia seperti itu? Sepenting apa gadis itu baginya? Aku tau, dia selalu keluar dari area sekolah setiap hari. Awalnya ku pikir hanya sekedar jalan-jalan untuk melepas bosan. Dan setiap kembali, wajahnya tak pernah ceria. Dia kembali dengan membawa wajah yang murung dan lesu. Atau jika sempat, dia akan langsung pergi ke perpustakaan dan mencari sesuatu yang menarik baginya. Seakan-akan itu bisa membantu mengurangi kesedihannya. Dan akhirnya aku tau penyebabnya."
...----------------...
Siang ini udara terasa sangat menyengat. Matahari berada tepat di tengah-tengah langit biru. Hanya ada gumpalan awan tipis yang berlalu-lalang.
Tak seorang pun yang tak memegang kipas di tangannya atau apapun yang bisa menghasilkan angin.
Duk! Dua keranjang rotan besar diletakkan di atas tanah. Keranjang yang penuh dengan muatan daun-daunan obat itu ditumpahkan ke sebuah alas lebar yang telah terbentang di halaman belakang rumah. Dan diratakan agar panas matahari merata ke seluruh permukaan daun.
"Rumah nenek di sini memang sangat jauh berbeda dari rumah penyimpanan di pantai," gumam Ran sambil menyeka keringat yang turun di dahi dan lehernya.
Dia sengaja menyanggul tinggi rambutnya, agar angin bisa dengan leluasa melewati kulit lehernya.
Tangannya bergerak meratakan dedaunan di atas alas tersebut.
"Ini memang agak berat, tapi lebih menyenangkan daripada duduk diam berkutat dengan smartphone. Tapi apa tidak berat bagi Nenek Leen melakukan semua ini sendirian?" katanya pada dirinya sendiri.
Sudah beberapa hari Ran menginap di sini, tepatnya du rumah kediaman Nenek Leen. Halaman belakang rumah Nenek Leen cukup luas dan sangat cocok untuk dijadikan lahan menjemur tanaman obat.
Segumpal awan yang besar berlalu menutupi sang mentari. Suasana menjadi agak dingin dan terasa nyaman.
Ran duduk sebentar di atas tanah. sedang tangannya masih memegangi keranjang. Dia duduk melepas lelah sambil menikmati suasana. Beberapa orang terlihat berlalu-lalang di balik pagar batu rendah itu.
Angin berlalu membelai lembut kulit dan rambutnya. Namun suasana itu menjadi kacau ketika ada gas beracun keluar dari bokongnya.
"Aduh…" Ran meremas perutnya yang terasa mulas. Gadis itu langsung segera masuk ke rumah den meninggalkan begitu saja pekerjaannya.
Sepeninggalnya, di balik pagar rendah itu, seorang pria berpakaian bangsawan tengah melarikan diri dari kejaran para prajurit yang bersenjata lengkap. Mereka kejar-kejaran keluar masuk menyusuri gang dan sesekali masuk ke halaman rumah orang. Tak ada yang tau identitas dari pemuda bangsawan itu.
Hingga akhirnya pemuda itu menemukan pagar belakang rumah Nenek Leen. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung melompat masuk ke halaman belakang rumah.
Tak tau harus bersembunyi dimana, dia langsung terjun masuk ke dalam keranjang yang masih penuh dengan daun-daunan tanaman obat. Daun-daun itupun melayang di udara dan kembali turun hingga menutupi tubuh pemuda itu.
Beberapa menit kemudian, Ran telah kembali dari urusan alamnya. Dia berjalan terbungkuk-bungkuk dengan satu tangan di pinggang.
"Akh! Seharusnya aku mendengarkan larangan nenek. Aku malah makan makanan pedas terlalu banyak tadi malam," rutuknya.
Ketika tiba di sana, dia terkejut dan sedikit marah. Pasalnya daun-daun yang ada di dalam keranjang itu bertaburan dimana-mana. Mempersulit pekerjaannya saja!
Tapi apa gunanya marah?
Mungkin ini semua adalah ulahnya angin.
Di saat hendak membereskannya, beberapa orang prajurit datang menghampirinya.
"Hei, gadis!" sapa salah satu dari mereka.
"Ya, tuan!" sahutnya sedikit terkejut. Ini pertama kalinya dia disapa oleh prajurit.
"Apakah kau melihat seorang pria bangsawan lewat sini?" tanyanya.
"Tidak, tuan. Dari tadi aku tidak melihat siapa-siapa," jawab Ran dengan canggung.
"Jika kau melihatnya, cepat laporkan pada kami,"
"Baik!" balas Ran dengan sekali angguk.
Para prajurit itu hanya saling mengangguk, lalu pergi kembali menyusuri gang.
"Hm? Siapa yang kabur? Sampai harus dikejar-kejar oleh prajurit seperti itu? Apakah dia seorang buronan?" tanyanya dalam hati bingung sambil menatap punggung para orang-orang istana itu yang kian menjauh.
"Ya sudahlah! Itu bukan urusanku!" celetuknya masa bodoh
Ran kembali melanjutkan aktivitasnya. Dimulai dari memungut daun-daun yang bertaburan dan dilanjutkan dengan daun yang masih tersisa di dalam keranjang.
Keranjang itu dia tarik untuk dipindahkan ke tempat penjemuran yang masih kosong. Tapi saat keranjang itu digeser, itu terasa sangat berat. Seolah ada sesuatu yang menambah beban di dalamnya. Padahal sebelumnya tidak seberat ini.
Tangannya pun terulur untuk memastikan isi di dalam. Butuh sedikit keberanian, karena takut-takut akan muncul sesuatu dari dalam sana.
Sebelum tangan itu sampai pada permukaan isi keranjang, diam-diam tumpukan daun itu sedikit bergerak.
Sruk!
Sesosok laki-laki keluar dari sana. Menyebabkan daun-daun segar itu kembali bertaburan.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments