Si detektif muda masih duduk berkutat bersama pikirannya. Segelas teh lemon yang menemaninya sejak tadi sudah dikerumuni semut sebelum dia sempat meminumnya.
Tiba-tiba suara riuh hadir di halaman akademi.
Sebuah kereta kuda datang bersama beberapa prajurit di sisinya. Bentuk kereta ini tampak jauh berbeda dari yang digunakan oleh para bangsawan yang lain. Dia lebih mewah!
Bila kereta kuda pada umumnya ditarik oleh dua ekor kuda, tapi kali ini ditarik oleh empat ekor kuda.
Tirai emas itu tersibak.
Sepasang sepatu hitam mengkilap muncul turun dari kereta. Sosok laki-laki dari dalam kereta itu sungguh menawan.
Pesonanya mampu membius gadis manapun di bumi ini.
Dia adalah Pangeran impian!
Dalam waktu sekejap, para gadis sudah datang mengerumuni pemuda tersebut. Seperti halnya semut-semut yang mengerumuni teh milik Shinichi tadi.
"Pangeran!! Pangeran Evand!!!"
"Aku mencintaimu!!"
"Pangeran!! Jadikan aku istrimu!!"
Para gadis berteriak-teriak dan melompat kegirangan. Seluruh gadis berdesak-desakkan untuk melihat sang idola. Tak seorang pun gadis yang mau ketinggalan, tak terkecuali dua gadis bangsawan yang dilihat Shinichi tadi.
Shinichi tersenyum tipis dan menggeleng pelan.
"Dunia ini tak jauh bedanya dengan dunia modern," katanya.
Sama halnya dengan dunia modern, orang-orang di sini juga punya idola. Terutama pada kaum hawa.
Bagi Shinichi ini adalah pemandangan biasa. Sama halnya dengan pangeran tersebut, dirinya juga sering dikerumuni oleh para wanita. Tapi dia akui, orang yang disebut-sebut sebagai 'pangeran' ini memang tampan.
Sayangnya di zaman ini belum ada kamera atau apapun elektronik yang bisa mengabadikan gambar. Mereka hanya bisa merekam gambaran idolanya dengan mata dan disimpan di dalam otak saja. Atau mungkin dengan lukisan yang terlihat nyata. Tapi itupun juga sulit.
Tangan kanannya mengusap rambut pirang bermahkotanya. Sang idola menebar senyum, menyapu semua wajah yang hadir. Mata hijau zamrudnya berkedip sebelah pada mereka.
Beberapa gadis pun langsung jatuh pingsan karena tak tahan dengan pesonanya.
Shinichi tersenyum geli melihatnya.
"Oh, ya ampun!" Shinichi menepuk dahinya. "Seperti inikah calon raja negeri ini?" ungkapnya.
Sedang di sudut sana, para pemuda bangsawan menatap iri pada Pangeran Evand. Mereka berkumpul dan saling bertukar pendapat. Jika sang idola para gadis telah datang, maka mereka hanyalah seperti sampah di mata para gadis.
"Apa kau juga tertarik dengan Pangeran Evand?"
Tiba-tiba seorang gadis lugu muncul di sampingnya.
Pemuda itu langsung terlonjak dan menatap tajam ke arah sang pemilik suara.
"Apa maksudmu?!" tanya Shinichi dengan dahi yang mengkerut dalam tanpa mengubah sorot matanya.
"Sejak tadi aku melihatmu terus menatap Pangeran Evand tanpa berkedip. Jadi aku pikir, sepertinya kau tertarik padanya," ujar gadis itu polos.
"Tidak! Tentu tidak! Aku ini pria normal! Kau jangan salah sangka!" ketus Shinichi.
"Begitu ya, ku pikir kau juga menyukainya," kata gadis itu dengan bibir yang manyun.
Sang detektif meneliti tampang gadis lugu itu.
Wajahnya imut dan ada dua kepangan rambut yang menjuntai di kedua sisi pundaknya. Dia terlihat sangat polos dan tak tau apa-apa.
"Kau sendiri? Apa kau tidak tertarik dengan dirinya? Kau juga perempuan!" Kini bergantian Shinichi yang bertanya.
Gadis tersebut pun mengambil tempat kursi kosong yang berada tepat di sampingnya.
"Siapa sih, gadis yang tidak menyukai Pangeran Evand?" katanya sambil menatap kerumunan tersebut. Kepalanya tertunduk lesu.
"Tapi apa daya, gadis bangsawan saja belum tentu bisa mendapatkannya. Apalagi aku yang hanya seorang pelayan," tutur gadis itu sedih.
Shinichi menatap gadis itu sekali lagi dari atas kepala hingga ujung kaki. Memang benar! Dia mengenakan setelan pakaian pelayan hitam putih. Memang mencerminkan sebagai seorang pelayan. Tapi rasanya tak pantas bila gadis seimut ini dijadikan seorang pelayan.
"Sepertinya keponakanku mendapat seorang teman!"
Lagi-lagi Shinichi telonjak kaget. Darrion Jefer muncul dari sampingnya, sama halnya seperti gadis tadi.
"Oh, ya ampun! Paman!" kejut Shinichi.
"Maaf, maaf." Darrion tertawa kecil.
"Doku. Perkenalkan, ini keponakanku, Theona. Ibunya adalah adik kandungku," terang Darrion sambil mengelus punggung keponakannya.
"Namaku Kudo paman! SHINICHI KUDO!" tekannya. Dia mendengus kesal. Namanya disebut terbalik oleh pria berkulit gelap ini.
Theona jadi ikut tertawa.
"Maaf, namamu agak sulit diingat." Lagi-lagi Darrion meminta maaf.
"Huh! Paman dan keponakan sama saja! "
Perlahan kerumunan tadi mulai bubar seiring dengan berjalannya waktu.
Pangeran Evand berjalan santai bersama murid lainnya, meski masih dikejar-kejar oleh para gadis yang saling berdesakan di belakang.
Mereka masuk menuju bangunan yang berlantai hijau giok itu. Tak heran, terkadang ada beberapa dari mereka yang tidak mengikuti mata pelajaran dengan berbagai alasan. Guru tak bisa berbuat banyak. Jika salah sedikit saja, bisa jadi mereka akan mendapat hukuman dari keluarga sang murid tersebut.
"Apa dia seorang Putra Mahkota?" tanya Shinichi.
"Bukan. Dia adalah Pangeran Evando Dolard Adriline, sepupu dari Putra Mahkota yang asli," jelas Theona.
"Lalu dimana Putra Mahkota yang asli?" tanya Shinichi penasaran.
Paman dan keponakan itu saling memandang. Theona pun berdiri dan mempersilahkan pamannya duduk di kursinya yang telah dia kosongkan.
Pria itu manarik nafas dalam.
"Begini, Putra Mahkota saat ini sedang menghadapi badai besar. Dia tak bisa pergi kemanapun karena rakyat yang terus-menerus menginginkan kematiannya," jelas Darrion.
Pemuda itu mengangguk seolah paham dari inti pembicaraan. Padahal di dalam dirinya dia sedang berperang dengan pikirannya.
Penjelasan itu mengundang berbagai pertanyaan dalam benaknya.
Mengapa rakyat menginginkan kematiannya?
Apa yang telah dilakukan oleh Putra Mahkota?
Apakah dia melakukan kesalahan?
Dia tampak berpikir keras.
Sejurus kemudian matanya membulat sempurna. Dia teringat dengan novel yang dimilikinya di perpustakaan.
''Apa karena dia pangeran iblis terkutuk?" katanya lirih tanpa sadar, namun terdengar jelas oleh Darrion dan Theona.
Sontak kedua orang itu melototi dirinya.
"Bagaimana kau bisa tau?!" tanya keduanya kompak.
"Eh, em... i-itu, aku mendengarnya dari para murid yang sedang lewat," kata Shinichi kalap.
Untuk saat ini dia tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Kalau pun iya, mereka tidak akan mungkin percaya. Apalagi jika dia memberi tahu bahwa dirinya berasal dari masa depan.
-----------------
Matahari telah berada tepat di atas kepala. Panasnya mulai menguras peluh orang yang berlalu-lalang di jalanan.
Di ibu kota Adrilinia, Tabib Leen tengah berjalan hilir mudik menunggu kedatangan Ran. Wanita tua itu menatap gusar kerumunan orang yang masih sibuk mencari aman.
"Nenek!" Tiba-tiba suara yang tak asing itu mampir di telinga si tabib tua itu.
"Kau dari mana saja? Aku sangat khawatir!" katanya dalam bahasa isyarat dan langsung mencubit pelan perut sang pemilik suara.
"Hehehe… Maafkan aku, Nek!" Ran menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Tadi ada sedikit masalah. Tapi aku telah berhasil merebut kembali kalungnya," tambahnya sambil memperlihatkan sebuah kalung mutiara yang berkilau di bawah sinar matahari.
"Lalu, bagaimana dengan pencurinya?" tanya Nenek Leen dengan bahasa isyaratnya.
Ran tersenyum dan menunjuk ke ujung jalan sana. Sepasang pria kembar tengah berjalan saling memapah dengan wajah yang penuh lebam.
Nenek Leen menggeleng-geleng ketika melihat keadaan si kembar itu. Dia sudah menebak, itu pasti ulah gadis yang ada di hadapannya ini.
"Nenek tunggu di sini dulu sebentar, aku mau mengembalikan kalung ini pada pemiliknya." kata Ran penuh semangat.
Nenek Leen pun mengangguk.
Gadis itu segera mencari sang pemilik kalung. Ketika menemukannya, dia bernafas lega. Untungnya rombongan itu masih tak bergerak dari sana.
Sang pemilik kalung tengah berjalan hilir mudik sambil menggigit kuku jarinya. Sedang di belakangnya ada rombongan pengawal yang mengikutinya tadi. Mereka berbaris dan berlutut di atas tanah. Raut ketakutan tercetak jelas di wajah mereka.
Gadis itu melihat sesuatu yang mengejutkannya. Tak jauh dari mereka terdapat sebuah gerobak kayu yang sekiranya cukup mengangkut beberapa orang.
Ada sesuatu yang tak asing di dalam sana. Ran menajamkan penglihatannya. Seketika mata itu langsung terbelalak. Itu adalah mayat pengawal tadi yang mati mengenaskan!
Dia langsung memalingkan wajahnya. Dia tak mau harus menanggung malu karena akibat muntah di tengah keramaian. Dan lebih memilih mendekati si gadis bangsawan itu.
"Kau mencari ini?" sapa Ran dengan senyum ramahnya.
------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments