Tuan Enver melihat kearah Dilara yang kini sedang tidur dengan pose menggoda mata lapar setiap lelaki. Tuan Enver segera menendang satu kaki Fan hingga lelaki itu meringis kesakitan setelah merasakan kakinya berdenyut nyeri. Fan pun kini mengalihkan pandangannya dari Dilara dan melihat kearah Enver dengan wajah polosnya.
“Apa salahku? Kenapa kau tiba-tiba menendang kakiku?” tanya Enver kesal.
“Kecilkan suara kamu itu atau akan aku cabut lidahmu itu!” ancam Tuan Enver.
“Kau takut dia bangun,” kata Fan sembari hendak menatap kearah Dilara lagi, tapi sebelum hal itu terjadi Tuan Enver langsung menendang kakinya kembali. “Astaga, kau itu kenapa?” tanya Fan yang masih tidak mengerti kenapa sahabatnya itu menendang kakinya lagi dan lagi tanpa ada alasan yang jelas.
“Keluar!” titah Tuan Enver dengan rahang yang sudah mengeras.
Fan masih kebingungan melihat sorot mata sahabatnya yang masih menajam bahkan lelaki di hadapannya ini seakan hendak menerkam tubuhnya lalu mengoyaknya menjadi serpihan-serpihan kecil.
“Kenapa aku harus keluar? Bukankah tadi kau mengatakan sendiri jika kita akan menyelesaikan berkas itu bersama di sini," jawab Fan mencoba untuk mengulangi ucapan Tuan Enver ketika mereka masih ada di kantor tadi.
"Aku sekarang berubah pikiran! Keluarlah sekarang!” titah Tuan Enver dengan mata elangnya.
“Baiklah,” jawab Fan. “Kenapa juga kau harus marah padaku hanya karena aku menatap si kecil itu,” kata Fan hendak melirik kearah Dilara lagi.
Fan pun mulai sadar alasan sahabatnya itu marah kepadanya melainkan dan tidak bukan karena tadi Fan menatap ke arah Dilara yang sedang tertidur begitu pulas di atas ranjang.
Tuan Enver yang memang tidak pernah memiliki begitu banyak kesabaran pun langsung memukul kepala Fan kemudian menendang lelaki itu keluar dari kamarnya. Setelah itu Tuan Enver langsung mengunci pintu ruangan kamarnya ini.
Sedangkan di luar kamar Fan tidak henti menggumpati sikap sahabatnya itu. Fan bahkan mengusap perlahan pantatnya sendiri yang terasa begitu nyeri sekali akibat tendangan Enver tadi. Beginilah nasib seorang asisten yang teraniaya karena sikap bosnya. Tapi mau gimana lagi karena sultan mah bebas mau melakukan apapun yang mereka inginkan.
Setelah pintu ruangan ini terkunci dengan begitu sempurna, Tuan Enver langsung melangkah menghampiri Dilara yang masih tertidur dengan begitu pulas. Lelaki itu tidak mengerti kenapa ia harus marah pada Fan? Kenapa ia harus marah ketika gadis kecil itu dilihat oleh lelaki lain? Apakah dia sudah jatuh cinta padanya? Mana mungkin! Dilara bukanlah seleranya dan ia hanya merasa kasihan saja pada gadis remaja itu tidak lebih, setelah dirinya mendapatkan wanita yang tepat untuk ia nikahi maka detik itu juga Dilara akan langsung ia ceraikan, sementara ini biarkan saja tetap seperti ini.
Tuan Enver melangkah masuk kedalam kamar mandi dan selang beberapa waktu lelaki itu keluar dari kamar mandi usai membersihkan tubuhnya, kini lelaki itu hanya menggunakan handuk di sebagian tubuhnya kemudian tangan kekar lelaki itu menggosok rambutnya yang masih basah menggunakan handuk putih kecil di tangannya.
Dilara mulai mengerjapkan matanya dan kini kedua pelupuk mata indah itu mulai terpecah, lamat-lamat Dilara bisa melihat seorang lelaki sedang menatapnya dengan wajah datar. Dilara masih diam tak memberikan respon hingga kini semua kesadarannya telah kembali seutuhnya dan kini mata hazelnya menatap kearah dada bidang yang masih basah dan juga terlihat begitu membentuk sempurna. Dilara baru sadar jika kini ia tidak sendirian didalam ruangan ini, ya lelaki aneh itu telah datang dan menatapnya dengan sorot mata yang sulit untuk bisa ditebak oleh siapapun yang melihatnya.
“Astaga, apa yang kamu lakukan? Ke-kenapa kamu hanya menggunakan handuk disebagian tubuh kamu saja?” tanya Dilara sembari menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan.
‘dia tak boleh melihat aku menggunakan baju seperti ini,’ batin Dilara kemudian langsung menarik selimut yang ada di bawah kakinya.
“Aku baru selesai mandi,” jawab Tuan Enver santai.
“Apakah kamu lupa jika di dalam ruangan kamar ini ada seorang gadis remaja, dan mana boleh kamu menodai mata suci aku seperti ini,” ujar Dilara masih memejamkan matanya.
“Mata Suci?” tanya Tuan Enver.
“Ya, aku belum pernah melihat dada seorang lelaki tanpa tertutup oleh apapun dan sekarang kau sudah menodai kepolosan mataku ini, apakah kau tidak merasa bersalah,” kata Dilara dengan kesal.
“Aku justru merasa geli,” jawab Tuan Enver dengan mengulas senyuman tipisnya.
Tingkah Dilara ini terlihat sangat menggemaskan sekali di mata Tuan Enver. Ucapan Dilara dan juga semua gerak-geriknya tak pernah lepas dari sorot Tuan Enver. Lelaki itu tak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya, sungguh Dilara membuatnya telah merasakan hal berbeda ada pada dirinya, bahkan dia juga bisa tersenyum setiap melihat tingkah naif itu.
“Sini, biar aku lihat wajah kamu? Jika sampai para Dokter itu tak bekerja dengan benar maka aku akan memecat mereka,” kata Tuan Enver sembari mendudukkan tubuhnya disamping Dilara yang masih ada di atas ranjang.
Jantung Dilara berdetak dengan begitu kencang ketika matanya melihat dada bidang nan indah itu, eh ... tunggu dulu kenapa Dilara harus mengatakan kata menjijikkan seperti itu, tapi dada Tuan Enver memang begitu indah sekali dan nampak jelas jika lelaki itu selalu saja berolah raga. Argh! Kenapa juga Dilara mulai memikirkan hal menjijikan begitu, bukankah ia seharusnya melupakan dada bidang tersebut tapi yang terjadi malah Dilara masih mengingatnya.
“Jauhkan kedua tangan kamu itu!” titah Tuan Enver.
“Apakah kau sudah pakai baju?” tanya Dilara balik.
“Aku tak akan pernah mengulangi ucapan yang sama untuk kali kedua,” kata Tuan Enver yang lebih mirip seperti suatu ancaman.
“Huh!” Dilara mulai menjauhkan kedua tangannya dengan mata yang terpejam.
Tuan Enver memperhatikan wajah Dilara yang sudah jauh lebih mendingan dari sebelumnya meskipun masih terdapat bekas cakaran, tapi pipi Dilara sudah tak nampak lebam seperti tadi siang.
Manik Tuan Enver mulai memperhatikan bulu mata lentik yang terdapat di pelupuk mata gadis itu dan hidungnya yang mancung sempurna dengan bibir ranum yang sangat menggoda sekali bahkan tanpa menggunakan lipstik bibir ranum itu terlihat merah bak buat ceri yang sudah matang.
“Aku sudah membayar semua biaya kuliah kamu hingga selesai, kau tak perlu memikirkan masalah biaya itu lagi,” kata Tuan Enver.
Dilara yang merasa kaget dengan penuturan tiba-tiba itu pun langsung membuka matanya dan menatap kerah Tuan Enver. Kini rambut basah dan juga dada bidang itu seakan membuat matanya tak bekerdip. Dilara bahkan meneguk salivahnya tanpa ia sadari.
Tuan Enver yang melihat sikap ekspresi Istri kecilnya sekarang mulai menarik salah satu senyuman devilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
eka agustyan
lama lqma enver posesif sm dilara
2023-02-19
0