Kenapa Dia Membantuku

Dilara menghentikan langkahnya tepat di depan rumah megah yang memiliki pagar berwarna hitam menjulang tinggi. Kini Dilara berdiri dihadapan beberapa lelaki dengan jas hitam yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya itu. Terdapat garis polisi yang bertuliskan jika rumah ini terlah di sita.

Dilara yang tidak percaya pun mencoba bertanya kebenaran tulisan tersebut dan salah satu pengawal itu mengatakan jika rumah miliknya telah di sita oleh pihak Bank. Dilara berusaha untuk masuk kedalam rumahnya tapi para pengawal tidak mengijinkan dan malah mendorong Dilara hingga jatuh ke aspal. Seseorang membantu Dilara berdiri dan Dilara baru sadar jika seseorang yang kini sedang membantunya adalah Emir-papanya. Emir segera mengajak Dilara menjauhi rumah mereka dan dengan berat hati Dilara mengikuti Emir kemudian mereka duduk di halte yang tidak jauh dari kediaman mereka tersebut.

“Papa, kenapa rumah kita juga ikut di sita?” tanya Dilara pada Emir.

“Papa mengadaikan sertifikatnya pada pihak Bank,” jawab Emir jujur.

“Kalau begitu sekarang kita akan tinggal dimana?” tanya Dilara.

“Papa sudah menemukan tempat tinggal yang layak untuk kamu, tapi kita tidak akan tinggal bersama,”

“Dilara ingin tinggal bersama dengan Papa,”

“Dilara, Papa ingin kamu tetap melanjutkan kuliah sedangkan Papa sekarang tak memiliki sepeserpun uang ….” Dilara memotong ucapan Emir.

“Papa tidak perlu merasa cemas karena Dilara sekarang sudah mendapatkan beasiswa karena telah mengantarkan salah satu donatur di kampus kami untuk berkeliling,” Cerita Dilara pada Emir.

“Apakah hanya karena masalah itu kamu mendapatkan beasiswa?” tanya Emir memastikan dan Dilara langsung menganggukkan kepalanya. “Memangnya siapa nama donatur itu?” tanya Emir lagi.

Dilara mengangkat kedua bahunya secara bersamaan lalu berkata, “Entahlah, tidak penting siapa dia, karena yang terpenting Dilara tidak perlu mencari uang untuk membayar biaya kampus,” jawab Dilara tidak acuh.

“Selama ini Papa tidak pernah perduli padaku dan yang ia pikirkan hanya tentang uang dan juga bisnis. Mungkin ada sisi positifnya juga kenapa perusahaan Papa bisa bangkrut, untuk kali pertama aku melihat Papa memikirkan tentang nasibku,” batin Dilara yang merasa senang bisa mendapatkan perhatian dari Emir.

Mama Dilara sudah meninggal karena melahirkannya dan sejak saat itu dia hanya hidup dengan Emir saja-papa kandungnya. Emir begitu mencintai istrinya dan ketika tahu jika istrinya meninggal karena melahirkan putrinya, Emir pun membenci Dilara karena kelahirannya, nyawa istri tercinta tak bisa diselamatkan. Sejak dari kecil Emir selalu sibuk bekerja dan membiarkan Dilara bersama para pelayan, tapi Dilara tetap menyayangi Emir dengan sangat tulus karena lelaki itu adalah keluarga yang ia miliki, meskipun tidak dapat dipungkiri jika Dilara kerap merasakan sakit hati ketika sikap Papanya yang semene-mena dan tak pernah menggangap keberadaanya penting di dalam hidupnya.

Emir mengarahkan kedua tangannya untuk menyentuh pundak Dilara dan manik lelaki itu memancarkan bujukan supaya sang putri luluh dan dengan mudah menyetujui keinginannya. Dilara mencoba untuk mengamati kedua manik mata sang Papa yang untuk kali pertama terlihat teduh padanya, didalam hati Dilara mulai merasa curiga dengan perubahan sikap Emir saat ini, tapi Dilara mencoba untuk percaya dengan sorot mata teduh yang seakan ingin melindunginya dari kekejaman dunia.

“Dilara, Putriku. Papa akan di penjara jika sampai tidak membawa kamu pada Tuan Enver sekarang.” Ucapan Emir terdengar bagaikan petir yang menyambar di telinga Dilara di siang bolong.

Runtuh semua kebahagiaan dan juga semua pemikiran positif Dilara tentang lelaki yang ada dihadapannya saat ini. Keraguan yang tadi sempat Dilara kikis mulai menyelimuti tubuhnya dan juga menghancurkan kepercayaannya jika orangtua akan selalu melindungi anak-anak mereka. Emir bahkan bertingkah seperti orangtua angkat sungguh membuat Dilara merasa kecewa.

Dilara langsung menjauhkan tangan Emir dari pundaknya. Dadanya terasa sangat sesak sekali setelah mengetahui maksud dari Papanya itu. Rasa panas dari hidung dengan cepat mulai merambat ke kedua bola mata Dilara sekarang.

“Papa sedang mencoba menyelamatkan diri Papa dari jerat jeruji besi dengan mengorbankan aku,” kata Dilara dengan suara yang bergetar penuh kebencian. “Biarkan saja Papa masuk kedalam penjara, Dilara tidak perduli,” teriak Dilara disela-sela isak tangisnya.

“Dilara, Papa memang bersalah. Tapi Papa tidak ingin masuk dalam penjara,” kata Emir mencoba membujuk Dilara dengan kesedihannya. Ya, Emir memang sedih-sedih memikirkan nasibnya sendiri.

“Dilara tidak mau, Dilara memiliki seorang kekasih dan akan menjalin hubungan dengannya ketika lelaki itu kembali ke negara ini,” kata Dilara dengan memejamkan matanya.

“Persetan dengan kekasih kamu itu, dia tidak pernah membantu keluarga kita dan dimana dia sekarang ketika perusahaan Papa hancur,” teriak Emir mulai di kuasai emosi. “Papa sudah kehilangan istri Papa, dan wanita itu meninggal karena melahirkan kamu, karena alasan itu aku begitu membenci kamu, kau anak tidak tahu di untung dan kau anak pembawa sial.”

Dilara jatuh ke aspal ketika mendengarkan ucapan kasar keluar dari mulut Emir. Dilara menangis terisak dan tiba-tiba ia merasakan pusing kepala hingga pandangannya kabur kemudian tidak sadarkan diri.

***

  Dengan perlahan tapi pasti Dilara mulai membuka mata. Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dilara melihat Emir kini sedang berdiri menatapnya, kemudian Dilara sadar jika ia sedang tertidur di sofa. Dengan perlahan tapi pasti Dilara mulai mendudukkan tubuhnya dengan mata yang masih terpejam karena menahan nyeri di kepala.

“Sayang, kamu sudah bangun,” kata Emir sok perhatian.

“Jangan sok perhatian padaku, sebanyak apapun Papa merayu aku tak akan pernah mau mengikuti perintah Papa. Biarkan saja Papa masuk kedalam penjara.” Teriak Dilara yang masih memejamkan matanya. “Andaikan saja waktu itu aku tahu jika kelahiranku membuat Mama meninggal, maka aku lebih memilih tidak terlahir kedunia ini atau aku akan memilih pergi bersama Mama saja, untuk apa aku terlahir kedunia ini jika hanya mendapatkan kesedihan karena Papa kandungku mengganggapku sebagai musuh dan bukan putrinya,” sambung Dilara dengan air mata yang berderai.

“Jaga ucapan kamu Dilara,” kata Emir dengan sentengah suara yang tertahan di tenggorokannya.

Jika saja tidak ada Tuan Enver didalam ruangan ini pasti Emir akan menampar Dilara sekarang juga.

Dilara membuka mata kemudian menatap kearah Emir yang sekarang sedang mengeraskan rahangnya seakan lelaki itu ingin memangsanya hidup-hidup. Pandangan Dilara langsung teralihkan oleh sosok lelaki yang sedang duduk di sofa lain sembari menyilangkan satu kakinya bertumpu pada lutut dan menatap Dilara dengan wajah datar.

“Kenapa dia ada di sini?” tanya Dilara pada Emir.

“Jaga ucapan kamu Dilara.” Tangan Emir hendak menyentuh pipi Dilara tapi seseorang langsung mengenggam tangan Emir.

Dilara memejamkan matanya takut dan juga pasrah. “Kenapa tidak ada yang terjadi?” batin Dilara. “Ke-kenapa dia membantuku?” tanya Dilara pada dirinya sendiri.

Terpopuler

Comments

Benazier Jasmine

Benazier Jasmine

ayahmu tak pny iman, kematian dikait2 dg u dilara

2023-06-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!