Aku Bukan Karung Beras

“Aku ini bukan karung beras yang bisa asal kamu banting begitu saja,” gerutu Dilara setelah tubuhnya mendarat di sofa secara tiba-tiba.

“Astaga, dia benar-benar membuatku sakit kepala. Aku ingin membuatnya ketakutan padaku, tapi lihatlah kedua mata penuh pembangkang itu sudah membuatku pusing tujuh keliling,” batin Tuan Enver sembari memijat keningnya yang tiba-tiba merasa pusing.

Tiba-tiba Dilara mulai ingat dengan ucapan Tuan Enver yang menyuruh Fan untuk mempublikasikan secarik kertas yang telah ia tanda tangani tadi. Dan Dilara juga mulai ingat tentang artikel yang ia baca mengenai lelaki kejam yang kini ada disampingnya.  Dilara mungkin tadi sempat mengatakan jika ia tidak perduli lagi dengan papanya namun, didalam hatinya Dilara masih sangat menyayangi lelaki itu dan tidak ingin hal buruk menimpa Papanya.

Dilara mulai mencolek Tuan Enver mengunakan satu jari telunjuknya. Tuan Enver menghentikan aktifitasnya untuk memijat pelipisnya. Tuan Enver menyandarkan punggungnya di sofa kemudian melipat kedua tangannya bersedekap di dada dengan gaya angkuh. Tuan Enver melirik kearah Dilara yang kini mulai memasang wajah memelas dan lebih sialnya lagi wajah itu nampak begitu menggemaskan sekali membuat Tuan Enver sampai menghela nafas frustasi.

“Katakan!” titah Tuan Enver yang seakan sudah  bisa menebak keinginan tersirat dari kerlingan mata manja itu.

"Tu-tuan, bisakah jika Anda merobek surat pernikahan itu agar kita tak jadi menikah,” ucap Dilara dengan sangat hati-hati sekali.

"Kau mau Emir menanggung akibatnya!" ancam Tuan Enver.

"Ja-jangan,” ujar Dilara dengan kepala yang tertunduk sesaat. “Baiklah biarkan saja surat pernikahan itu, tapi jangan biarkan semua orang mengetahui kalau gadis yang menjadi istri Anda adalah saya,” pinta Dilara sembari menggoyang-goyangkan bahu Enver dengan wajah memohonnya dan tak lupa gadis itu juga mulai menggerdip-ngerdipkan kedua matanya sembari masih menatap kerah Tuan Enver.

“Astaga, dia tidak pandai merayu. Mana ada wanita yang merayu dengan gaya polos sepertinya,” batin Tuan Enver  yang mulai dibuat gemas dengan tingkah Dilara.

“Hem,” jawab Enver. “Jadilah Istri Simpanan,” sambung Tuan Enver dengan wajah datarnya.

“Terima kasih,” jawab Dilara.

Tuan Enver mulai melirik kearah perut Dilara yang barusan berbunyi pertanda jika gadis itu sedang menahan lapar sekarang. Dilara tersenyum malu dengan kedua tangan yang sudah  memegangi perutnya.

“Maaf,” kata Dilara.

“Pergi ke dapur dan makanlah!” titah Tuan Enver.

“Baik,” jawab Dilara semangat kemudian dengan kecepatan penuh gadis itu langsung menghilang dari hadapan Tuan Enver.

“Sebegitu inginnya dia menjauh dariku,” gerutu Tuan Enver yang melihat gerakan gesit Dilara.

***

“Entah apa alasannya untuk menikah denganku? Apakah mungkin hanya karena lelaki itu tidak bisa membayar hutangnya,” gerutu Dilara sembari menuruni anak tangga rumah ini. “Dia tadi bilang istri simpanan, berarti hanya pernikahan yang ada di atas kertas saja, sepertinya memang itu maksudnya,” sambung Dilara sembari masuk kedalam dapur.

Dilara melihat jika wanita paruh baya itu kini sedang berkutat dengan sayur-sayuran yang sedang ia cuci didalam wastafel. Dilara berjalan dengan mengendap-endap perlahan kemudian gadis itu mulai mengagetkan wanita paru baya tersebut sampai sayuran yang ada di tangan Bi Alin terlempar ke udara kemudian jatuh ke lantai. Dilara tertawa terbahak-bahak karena ia berhasil menjahili pelayan tersebut sedangkan Bi Alin hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan melihat sikap jahil Nona mudanya itu.

Tuan Enver melihat kearah layar laptop yang ada di atas meja dan dengan sangat jelas lelaki itu kini bisa melihat jika Dilara sedang menjahili pelayan rumahnya. Tanpa sadar Tuan Enver mengulas senyuman tipisnya. Selama ini wajah Tuan Enver selalu saja datar tapi sejak bertemu dengan Dilara lelaki itu  jadi memiliki beberapa macam ekspresi. Marah dan tersenyum walaupun sangat tipis sekali.

“Nona, jantung Bi Alin hampir saja copot karena kaget,” ujar Bi Alin.

“Oh ... jadi nama Anda Bi Alin,” jawab Dilara dengan mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

“Nona, bisa memanggil saya dengan sebutan itu,” sahut Bi Alin.

“Bi, buatkan aku makanan dong,” jawab Dilara.

“Makanan apa Nona?” tanya Bi Alin.

“Apa saja asal bukan makanan basi,” jawab Dilara santai.

“Bagaimana kalau mie instan yang di campur keju mozarella dan juga kimci?” tanya Bi Alin.

“Ya, itu juga boleh,” jawab Dilara.

Bi Alin mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan ia gunakan untuk membuat Mie intan sedangkan Kimci sudah ada didalam kulkas. Dilara berdiri disamping Bi Alin dan gadis itu mengikuti kemanapun wanita paruh baya itu bergerak.

“Nona tunggu saja di meja makan,” pinta Bi Alin.

“Oh ... iya benar juga, kenapa saya harus mengikuti Bi Alin mondar-mandir kesana-kemari,” jawab Dilara seraya menepuk jidatnya sendiri.

Kalau sedang bingung seperti ini Dilara akan kelihatan bodoh. Dilara sungguh ingin kabur dari rumah ini, tapi dia mau kabur kemana sedangkan dirinya sudah tidak memiliki rumah. Entahlah, Dilara bingung memikirkan semua kejadian yang tidak tertulis didalam kamus  pelajarannya ini dan sekarang yang terpenting Dilara harus makan untuk mengisi perutnya. Karena jika sedang lapar maka pikiran Dilara akan menjadi lemot sekali. Dan jika bisa diibaratkan seperti komputer yang sedang loading karena wifi yang macet tiba-tiba.

Bi Alin melangkah mendekati Dilara dengan kedua tangan yang  membawa mie instan pesanan Nona mudanya itu. Dilara langsung melahap makanan tersebut dengan sangat cepat sekali. Bi Alin yang mengambilkan Dilara air mineral sampai mengerjapkan kedua matanya ketika melihat isian didalam piring Dilara telah habis.

“Nona buang kemana makanan itu?” tanya Bi Alin serius.

“Aku buang ke sini,” jawab Dilara santai sembari mengusap perutnya mengunakan kedua tangan dengan wajah yang polos.

“Kau sudah selesai makan?” tanya Tuan Enver yang tiba-tiba muncul dibalik pintu.

“Ya,” jawab Dilara santai.

“Kemari!” titah Tuan Enver.

“Kalau aku tidak mau,” tantang Dilara. Dilara mengangkat kepalanya angkuh menirukan gaya Tuan Enver.

Bi Alin yang melihat gaya Dilara sampai menundukkan kepalanya sebab wanita paruh baya itu takut dengan mata tajam Tuan Enver yang seakan mencoba untuk mengancamnya jika sampai berani tertawa.

Tuan Enver hendak melangkah masuk kedalam dapur. Melihat akan hal itu Dilara langsung buru-buru beranjak berdiri dari posisi duduknya untuk menghampiri lelaki tersebut.

“Gadis ini benar-benar tidak takut padaku,” batin Tuan Enver yang melihat sikap santai Dilara.

Bi Alin melihat kearah Tuan Enver yang kini berjalan di belakang Dilara. Sungguh ini untuk kali pertama Tuan Enver membiarkan ada orang lain yang berjalan mendahuluinya.

“Ataukah mungkin Tuan Enver benar-benar menyukai gadis remaja itu? Tapi mana mungkin,” batin Bi Alin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!