Tuan Erhan masuk kedalam kamar pribadinya dan kini ia melihat seorang gadis belia sedang terlelap didalam tidurnya. Tuan Erhan melangkah perlahan mendekati gadis remaja itu yang kini sedang tidur sembari mendekap guling dengan begitu erat, seakan hanya guling itulah yang menjadi teman setianya.
“Mama, bawa Dilara saja,” racau Dilara didalam tidurnya.
Sorot mata tajam Tuan Erhan seketika mulai berubah menjadi sendu saat ia mendengarkan penuturan penuh derita yang baru saja keluar dari bibir gadis remaja itu. Tuan Erhan menarik selimut yang ada di bawah kaki Dilara hingga menutupi sebagian tubuh gadis malang itu.
“Kenapa aku melakukan ini? Kenapa aku harus perduli padanya, bukankah aku menikahinya karena hanya ingin memanfaatkannya saja?” tanya Tuan Erhan pada dirinya sendiri penuh kebingungan yang tiada bisa ia mengerti.
Tuan Erhan mulai berdiri dengan tegap dan ia hendak melangkah untuk meninggalkan Dilara namun gadis itu tiba-tiba menggenggam tangannya hingga membuat Tuan Enver mengehentikan niat awalnya tersebut.
“Mama, ajak Dilara, Dilara ingin mendapatkan kasih sayang Mama juga. Ja-jangan tinggalkan Dilara,” ujar gadis remaja itu dengan kedua mata yang masih terpejam begitu erat.
Tuan Enver melihat kening Dilara yang berkerut menandakan jika gadis itu sedang bermimpi buruk sekarang. Tuan Enver bersiap untuk melangkah pergi, tapi siapa sangka jika tangan Dilara justru mengingatnya semakin erat. Tuan Enver akhirnya memutuskan untuk naik ke atas ranjang dan lelaki itu berbaring disamping Dilara.
“Mama berada di dekat Dilara seperti ini, membuat Dilara begitu bahagia sekali,” tutur Dilara dengan memeluk Tuan Enver tanpa ia sadari sendiri.
Tuan Enver memeluk Dilara dengan sendirinya. Lelaki arogan itu menatap kearah wajah Dilara yang nampak damai setelah ia dekap, bahkan bibir gadis itu yang tadi sempat meracau juga mulai terhenti. Selama ini Dilara selalu saja ingin tidur dengan di peluk kedua orangtuanya namun, ia tak pernah mendapatkan kasih sayang itu, hingga membuat Dilara merasa seakan ia hidup sendiri di atas muka bumi ini. Pelayan yang selama ini merawatnya juga sudah tiada, jadi Dilara semakin merasa kesepian sekali.
Tuan Enver mengecup kening Dilara dan untuk kali pertama lelaki itu memberikan kecupan sehangat dan juga setulus ini pada seseorang. Tuan Enver melihat kristal bening menetes dari sudut mata Dilara, lelaki itu mengarahkan ibu jarinya guna untuk mengusap kristal bening itu dengan gerakan yang sangat lembut sekali. Seakan Tuan Enver tidak ingin menyakiti istri kecilnya ini.
Keduanya tidur dengan berpelukan. Dilara sudah tidak merasakan mimpi buruk yang tadi sempat menghampirinya.
Sinar mentari mulai menyelinap masuk dibalik cela jendela seakan sedang mencoba mengintip masuk kedalam ruangan sepasang pengantin itu berada. Burung-burung mulai berkicau sembari terbang bergerombol mencari makan di pagi hari yang cerah ini.
Dilara membuka matanya perlahan dan nampaklah sosok lelaki yang sangat tampan kini sedang tidur satu ranjang dengannya. Dilara mengucek kedua matanya mencoba untuk meyakinkan dirinya jika lelaki tampan seperti ini bukanlah berada didalam alam mimpi.
“Sedang tidur saja terlihat tampan sekali, apalagi jika ia membuka mata,” batin Dilara sembari mengulas senyuman manisnya, senyuman manis itu mulai luntur perlahan ketika semua ingatan Dilara kembali lagi. “Di-dia lelaki arogan yang semalam memaksa aku untuk menandatangani perjanjian sialan itu,” batin Dilara.
“Apa yang kamu lakukan di kamar aku?” bentak Dilara pada Tuan Enver. Kini Dilara langsung mendudukkan tubuhnya mencoba untuk menjauhi lelaki itu.
Tuan Enver yang tadi sedang terlelap didalam tidurnya pun langsung membuka mata setelah teriakan Dilara menendang gendang telinganya dengan begitu kasar sekali. Tuan Enver sampai merasakan jika telinganya berdenging akibat bentakan melengking istri kecilnya itu.
“Ini adalah kamarku dan apakah kamu lupa jika sekarang kamu sedang tinggal didalam rumahku,” ujar Tuan Enver santai sembari menyandarkan punggungnya di ranjang.
“Kalau ini adalah kamarmu, lalu kenapa semalam kau meminta aku untuk tidur didalam kamar ini?” tanya Dilara dengan menjaga jarak dari Tuan Enver.
“Karena kau adalah istriku!” jawab Tuan Enver telak. “Apakah kau sudah lupa jika semalam kau sudah menandatangani perjanjian pernikahan itu,” sambung Tuan Enver.
“Dilara, terima saja kehidupan mengerikan bersama lelaki bermata iblis itu,” geram Dilara kesal pada dirinya sendiri yang melupakan kutukan yang di sebut pernikahan itu. “Lalu kenapa kau tidur di sampingku tanpa ijin semalam?” tanya Dilara lagi sembari menaruh kedua tangannya bersedekap di dada dengan gaya khasnya yang pemberani.
“Kau yang menginginkannya dan aku sudah mengirim buktinya di ponsel kamu.” Setelah bicara Tuan Enver langsung beranjak menarik tubuhnya dari atas ranjang.
“Kau jangan asal bicara! Mana mungkin aku melakukan hal yang memalukan seperti ....” ucapan Dilara terhenti setelah kedua manik mata indahnya menatap kearah rekaman yang di kirimkan oleh Tuan Enver padanya. “Shith! Kenapa aku bisa menggenggam tangannya, ini sungguh sangat memalukan sekali,” batin Dilara sembari menggigiti kuku tangannya sendiri karena malu.
Tuan Enver melirik kearah Dilara dan senyuman tipis lelaki itu mulai terukir di bibirnya. Biasanya di pagi hari Tuan Enver akan langsung melakukan aktifitasnya dan ini untuk kali pertama lelaki itu tertidur dengan begitu pulas sekali. Biasanya didalam ruangan kamar ini akan terlihat sunyi dan semua yang terjadi di sekeliling Tuan Enver akan selalu saja terarah dengan begitu rapi, tapi untuk kali pertama lelaki itu merasakan jika kehadiran Dilara didalam ruangan kamarnya seakan memberikan warna yang berbeda.
***
“Apakah semalam Enver tidur satu kamar dengan gadis itu?” tanya dan pada Bi Alin.
“Ya, Tuan,” jawab Bi Alin.
“Kira-kira apakah terjadi sesuatu pada mereka berdua?” tanya Fan lagi pada Bi Alin karena merasa penasaran.
“Sepertinya tidak,” jawab Bi Alin.
“Kau tahu dari mana, Bi?” tanya Fan dengan wajah yang nampak serius.
“Apakah aku membayar gaji kamu mahal-mahal di setiap bulannya hanya untuk mencari informasi tentangku dari pelayan rumahku sendiri.” Sembur Tuan Enver yang kini sudah mulai masuk kedalam dapur.
Fan baru mengerti kenapa Bi Alin menundukkan kepalanya dan tak mau menjawab. “Enver, kau salah paham,” kata Fan sembari menarik kursi untuk Enver duduki.
“Badannya besar, tapi sikapnya manja sekali sampai duduk saja harus dibantu oleh orang lain,” gumam Dilara.
Fan dan juga Tuan Enver melihat kearah Dilara yang kini masih berdiri. Dilara pun menatap kearah kedua lelaki itu dengan wajah polosnya.
“Kenapa kalian menatapku seperti itu” tanya Dilara.
“Kau kalau bergumam sungguh keras sekali Nona,” kata Fan dengan menahan tawa saat melihat perubahan wajah Enver yang nampak masam sekarang.
Sepertinya Dilara akan terkena masalah lagi nih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments