*Akira Anak Perampok (AAP)*
“Hahaha...!”
Akira tertawa terbahak lepas. Cukup lama sudah ia tidak tertawa lepas.
Masa sulit yang mengerikan cukup membuat Akira menjadi pribadi yang kadang-kadang tertawa pun hanya seperlunya. Jauh-jauh hari dia telah berpikir bahwa dia harus bisa membawa diri, harus bisa menutup diri, demi bisa membalas kemalangan yang menimpa ayah dan ibunya, serta teman-temannya satu desa pada suatu hari nanti.
Sadar bahwa ia telah masuk jebakan Kabaro, Akira hanya tertawa. Ia pikir Kabaro adalah sosok berkharisma yang memiliki status kepemimpinan di sekolah itu. Namun, baru Akira seorang yang menjadi sahabatnya dengan memakai embel-embel “Kehormatan Ksatria Banin” dan cerita legendanya.
Kabaro hanya mengerenyit melihat Akira tertawa terbahak. Ia jadi merasa kalau dirinya sangat lucu di mata Akira.
“Apakah persahabatan kita masih terus?” tanya Kabaro ragu, padahal ia berusia jauh lebih tua dari Akira.
“Iya. Aku akan menganggapmu sebagai kakakku. Kita terus bersahabat dan tunduk dalam Kehormatan Ksatria Banin!” jawab Akira lantang.
Akira lalu turun berlutut satu kaki sambil menunduk dan kepal tangan kanan ia luruskan ke depan.
“Hormatku, Sahabat Pertama!” ucap Akira.
Melihat Akira mengulang penghormatan Ksatria Banin-nya, Kabaro tersenyum bangga dan senang. Ia pun segera menampar tinju kanan Akira.
Pak!
“Hahaha!” keduanya tertawa lepas, menertawai kelucuan mereka sendiri.
“Kau tidak pergi ke ruang makan?” tanya Kabaro, karena ia tahu bahwa Akira belum makan siang.
“Tidak perlu, aku sudah biasa tidak makan di saat siang. Bagaimana kalau aku membantu Sahabat Pertama?”
Kabaro hanya tersenyum mendengar Akira sering memakai sebutan “Sahabat Pertama”.
“Sahabat Kedua, lebih baik kau mengeringkan lantai yang sudah aku pel. Kau bisa menggunakan pel kering bertongkat hijau itu!” kata Kabaro yang menyebut Akira dengan sebutan “Sahabat Kedua”.
Meski terdengar kaku ketika mereka menyebut Sahabat Pertama dan Sahabat Kedua, tetapi mereka tetap menggunakannya dalam penyebutan.
Akhirnya Akira bekerja membantu Kabaro. Ia mengepel lantai yang sudah tergosok oleh kain pel basah Kabaro. Alat pel yang dipegang Akira begitu bagus karena sangat cepat membuat lantai lapangan menjadi kering.
“Sahabat Pertama, kau belum menjawab pertanyaanku tadi!” kata Akira agak berteriak, karena jarak mereka sejauh sepuluh meter.
“Yang mana?” tanya Kabaro, lupa.
“Buku Tarian Salju, Sahabat Pertama dapat dari mana?” tanya Akira.
“Dari gedung Pustaka Buku,” jawab Kabaro. “Sistem menghapal yang diterapkan di sekolah ini, membuat buku sangat jarang digunakan di kelas. Jadi buku-buku menumpuk di gedung Pustaka Buku tanpa ada yang membaca dan mengurusnya. Hanya murid yang mendapat hukuman yang diperintahkan untuk membersihkan dan merapikan buku-buku di gedung Pustaka Buku.”
“Sahabat Pertama adalah murid Tingkat Sembilan, tapi kenapa harus bekerja mengepel lantai lapangan?” tanya Akira.
“Hahaha! Ini hukuman setiap hariku,” kata Kabaro sambil tersenyum kuda. Ia lalu meluncur dengan satu kaki. Hebatnya, kaki kirinya bisa lentur lurus ke atas saat ia meluncur.
Hal itu membuat Akira perpana. Gerakan Kabaro begitu indah, seperti penari balet yang lihai. Akira yakin, jika gerakan seperti itu dilakukan oleh seorang wanita, pasti akan lebih indah.
“Kenapa harus setiap hari? Bagaimana mungkin Sahabat Pertama berbuat salah terus?” tanya Akira serius.
“Hahaha!” Kabaro tertawa lagi. “Aku sengaja berbuat kesalahan yang sama agar aku dihukum seperti ini setiap hari.”
“Hah!” kejut Akira. Ia datang mendekati Kabaro. “Kenapa Sahabat Pertama memilih suka dihukum?”
“Untuk belajar. Dengan cara seperti ini aku bisa berkembang lebih cepat dari pada belajar di dalam kelas. Dan aku lebih bebas, lebih mahir, dan lebih cepat naik tingkat. Pada ujian tahun lalu, aku berhasil naik dua tingkat, dari Tingkat Tujuh naik ke Tingkat Sembilan. Jika aku sudah mahir menguasai Tarian Salju, aku akan berbuat kesalahan yang membuatku dihukum untuk merapikan Pustaka Buku. Di sana aku bisa mencari ilmu apa yang aku sukai. Bahkan aku sudah menguasai secara detail tentang denah sekolah ini. Aku tahu di mana letak kamar Kepala Sekolah Ksatria Banin hingga di mana letak kakusnya. Bahkan aku tahu di mana saja letak pintu jalan rahasia di sekolah ini,” jelas Kabaro. “Jika Sahabat Kedua ingin cepat maju dan berkembang, bisa ikut cara belajarku. Tapi dengan syarat, memang punya kemauan kuat.”
“Berarti dengan cara itu aku bisa menghindari teman-teman kelas yang jahat?” tanya Akira.
“Benar. Pertama, Sahabat Kedua harus buat kesalahan yang membuat dihukum membersihkan Pustaka Buku. Di Pustaka Buku kita bisa mencari dan memilih sendiri ilmu apa yang ingin kita pelajari. Setelah menguasai teorinya, barulah yang kedua, kita cari cara untuk mempraktikkannya.”
“Kesalahan apa untuk bisa dihukum membersihkan Pustaka Buku?” tanya Akira.
“Bangun kesiangan,” jawab Kabaro singkat sambil tersenyum.
“Sahabat Pertama, aku sangat tertarik dengan Tarian Salju, boleh aku mencobanya?” ujar Akira.
“Kemari. Letakkan kakimu di atas pel ini. Pelajaran pertama, kau harus mahirkan luncuran pendek, jangan luncuran panjang. Yang utama adalah menjaga keseimbangan. Belajar awal, akan sangat sering terjatuh.”
“Baik, Sahabat Pertama,” ucap Akira.
Akira mulai mencoba. Ia injakkan kakinya pada kain pel, lalu mulai mendorong untuk meluncur. Percobaan pertama berhasil tanpa jatuh sejauh tiga langkah, membuat Tsalji tertawa senang.
Buk! Bluk! Bduk!
Namun, percobaan selanjutnya, Akira selalu jatuh. Awalnya ia tertawa meski jatuh, tetapi kemudian tawanya hilang berganti dengan keseriusan karena terlalu sering terjatuh.
Kabaro hanya tersenyum dan membiarkan Akira berlatih dan mencoba sendiri. Sebab ia dahulunya juga demikian, hanya sendiri. Kabaro lebih memilih mengeringkan lantai.
Seiring waktu berlalu.
Teng! Teng!
Dua kali suara dentingan lonceng terdengar menggema jelas menyusup ke seluruh ruangan di Sekolah Ksatria Banin, termasuk terdengar jelas di dalam Lapangan Satu itu.
Akira menghentikan usahanya dalam berlatih. Hingga pada usaha terakhir, Akira sudah mulai bisa menjaga keseimbangan. Sebagian besar luncuran pendeknya sudah berhasil, meski beberapa kali masih terjatuh.
“Perkembangan bagus, Sahabat Kedua!” puji Kabaro seraya menghampiri Akira.
“Badanku terasa remuk semua,” keluh Akira seraya meringis. Ia baru sangat merasakan rasa sakit akibat terus terjatuh di lantai berulang kali.
“Masuklah, jangan sampai kau terlambat masuk, Sahabat Kedua!” kata Kabaro.
“Apakah Sahabat Pertama selalu berada di sini saat jam istirahat?” tanya Akira.
“Yang pasti, aku akan membersihkan lapangan yang tidak dipakai saat jam istirahat. Mungkin di sini, mungkin di Lapangan Dua atau di Lapangan Tiga dan lainnya,” jawab Kabaro.
“Sampai jumpa lagi besok, Sahabat Pertama Kabaro!” ucap Akira semangat sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya. Ia segera berlari pergi menuju pintu lapangan tertutup itu.
“Sampai besok lagi, Akira!” teriak Kabaro.
Tiba-tiba Akira berhenti di dekat pintu. Ia berteriak kepada Kabaro.
“Sahabat Pertama, apakah kau bisa bermain bola rotan?!”
“Aku jagonya!” jawab Kabaro, berteriak pula.
Akira tersenyum senang. Ia melambaikan tangan lalu pergi menghilang di balik dinding.
Kabaro masih berdiri diam memandang ke arah pintu lapangan. Ia tersenyum lebar. Hatinya bahagia. Bukan karena ia berkenalan dengan Akira yang cantik, tetapi karena ia akhirnya punya seorang sahabat setelah bertahun-tahun berguru di sekolah itu.
Sejak ia masuk berguru di Sekolah Ksatria Banin, Kabaro begitu mudah mendapat pelecehan dari teman-temannya. Memang, awalnya dia adalah murid yang lemah. Karena sering menjadi bahan olok-olok dan dilecehkan oleh teman-temannya, ia akhirnya lebih memilih sering dihukum. Hingga ketika ia dihukum untuk membersihkan Pustaka Buku, ia menemukan banyak buku dan kitab pelajaran yang hampir sudah tidak dipakai. Ia pun punya ide untuk belajar sendiri dan berlatih sendiri.
Ia hanya sesekali ikut belajar di dalam kelas bersama teman-teman yang tidak akrab dengannya. Namun, dalam belajar otodidak itu, Kabaro tetap melibatkan seorang guru untuk dijadikan tempat berkonsultasi jika ia menemukan satu hal yang sulit atau buntu dalam pembelajaran otodidaknya.
Meski kemudian dia sudah menjadi murid yang kuat dan menguasai lebih banyak keahlian dibandingkan teman-teman satu tingkatnya, tetap saja ia menjadi obyek pelecehan verbal dan fisik. Mungkin karena sudah terbiasa dilecehkan, Kabaro malas untuk melawan. Padahal sebenarnya ia sudah bisa membalas.
Akira berlari kecil menuju Lapangan Tiga. Di lapangan itulah ia akan mengikuti kelas praktik, yaitu memainkan permainan Tendangan Pemburu.
“Akira!” panggil satu suara lelaki dari sisi samping.
Akira berhenti berlari. Ia berpaling melihat kepada sumber suara. Dilihatnya Gugum, Ferilly dan dua teman lelaki lainnya datang berjalan mendekatinya.
Akira tersenyum kepada mereka.
“Dari mana saja kau, Akira, sampai basah seperti itu?” tanya Ferilly.
“Iya, kami mencarimu di ruang makan, tetapi kau memang tidak ada di sana,” kata Gugum.
“Aku berkenalan dengan seorang sahabat, lalu kami berbincang lama dan bermain pel sampai jam masuk berbunyi,” jawab Akira.
“Laki-laki atau perempuan?” tanya Srugal, murid lelaki bertubuh gemuk tapi agak tinggi. Dialah murid yang berbadan paling besar di antara mereka. Namun untuk Tingkat Lima, masih ada murid lelaki yang lebih besar dari Srugal.
“Laki-laki. Hahaha!” jawab Akira lalu tertawa, ia tahu arah pertanyaan Srugal.
“Baru sehari kau di sini sudah mendapat kenalan lelaki,” goda Ferilly.
“Iya, termasuk Gugum, Srugal dan Tajay,” sahut Akira yang menyebut nama ketiga teman lelakinya lalu tertawa kecil.
“Ayo, nanti kita telat masuk ke lapangan!” ajak Gugum.
Mereka semua berjalan cepat menuju Lapangan Tiga.
Di depan sana, terlihat beberapa murid Tingkat Lima sudah memasuki pintu Lapangan Tiga.
“Kita akan melakukan permainan, tapi kau belum makan, Akira,” kata Ferilly.
“Tidak mengapa, aku sudah terbiasa,” kata Akira.
“Kau harus waspada, Akira. Di sini, Alexa pasti akan mengincarmu!” kata Tajay mengingatkan. Tajay adalah murid lelaki bertubuh sedang tetapi agak berotot. Sepertinya dia murid yang suka bekerja keras atau suka olahraga berat.
“Aku siap. Aku pernah sampai pada titik hampir mati. Tentunya apa yang mereka lakukan tidak akan sampai membuatku mati,” ucap Akira, menunjukkan kesiapannya. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩
sampai disini dulu omm
lnjt deui ntaran yakkk
2023-05-22
1
𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩
nahhh bener korban bully juga
pembullyan emang meresahkan
2023-05-22
1
𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩
wehhhh kunaon, korban bullying juga
2023-05-22
1