AAP 11: Pertemuan Kedua

*Akira Anak Perampok (AAP)*

 

Sekolah Ksatria Banin adalah yang terbesar dan terbaik di Provinsi Banin. Akan menjadi aib bagi anak pejabat dan bangsawan jika tidak menuntut ilmu di sekolah ini. Itulah stigma di kalangan keluarga menengah ke atas di provinsi tersebut.

Meski sekolah ini menerima murid dari semua kalangan dan latar belakang, tetapi ada perbedaan ketika masa penerimaan murid baru bagi anak kalangan atas dan menengah ke bawah. Anak-anak dari keluarga pejabat, bangsawan dan pengusaha besar, mendapat kemudahan proses untuk lulus diterima bersekolah. Namun, bagi anak dari kalangan menengah ke bawah, mereka benar-benar harus menunjukkan kwalitasnya untuk bisa diterima di Sekolah Ksatria Banin.

Seperti halnya Akira. Ia harus benar-benar lulus dari sejumlah tes. Dari hasil tes yang ditentukan oleh Pendidik Siswa, Akira akhirnya diterima sebagai murid Kelas Putih Tingkat Lima.

Ada lima kelas di Sekolah Ksatria Banin. Berdasarkan urutan ketinggiannya dari bawah ke atas, lima kelas itu adalah Kelas Putih, Kelas Kuning, Kelas Biru, Kelas Merah dan Kelas Hitam. Setiap kelas memiliki sepuluh tingkatan.

Hari ini adalah hari pertama Akira masuk sekolah. Ia memeluk Rala Badar di gerbang masuk Kelas Putih. Akira akan tinggal di asrama selama masa pendidikannya.

Sebenarnya Rala Badar sangat berat melepas Akira yang telah menjadi anaknya selama lebih beberapa bulan. Namun ia berpikir, jika Akira hanya tinggal di rumahnya yang sederhana sebagai nelayan telaga dan sungai, Akira tidak akan memiliki perkembangan apa-apa. Sedangkan ia sangat bercita-cita memiliki seorang anak yang berhasil dan membanggakan dirinya, meskipun ia hanya seorang ayah angkat.

Rala Badar mengiringi perpisahan itu dengan tetes air mata, meski bibirnya mengembang tersenyum.

Akira saat ini berpenampilan dengan rambut dikepang tunggal. Ia seperti sebuah mutiara yang bersinar, cantik, putih dan bersih. Dagunya yang bermodel sedikit belah memberi kekhasan pada wajahnya. Namun, masih ada bekas goresan pada wajahnya yang sudah menjadi halus.

Seorang staf perempuan dari bidang kesiswaan mengantar Akira bertemu dengan Kepala Kelas Putih Sekolah Ksatria Banin. Kepala Kelas adalah seorang wanita berwibawa berusia 50 tahun, namanya Alicia Sedrallia.

Saat itu suasana koridor, lapangan dan taman ramai oleh para siswa dengan berbagai aktivitasnya. Pagi itu belum terdengar lonceng tanda kelas awal dimulai.

Dari ruangan Kepala Kelas, Akira dibawa ke ruang seragam dan langsung berganti pakaian seragam. Seragam yang dikenakan berwarna putih-putih dengan tepian berwarna hitam. Model bajunya lengan panjang, sementara pakaian bawah untuk murid perempuan adalah celana panjang putih berlapis rok putih yang kanan dan kirinya belah.

Dalam perjalanan menuju ke asrama, satu rombongan murid perempuan berpapasan dengan Akira dan staf yang mengantarnya. Dari kelima murid perempuan itu, satu orang dikenal oleh Akira, yaitu Alexandria. Alexandria berjalan paling depan dan di tengah. Kelimanya mengenakan seragam yang sama dengan seragam Akira.

Ketika bertemu pandang dengan Alexandria, Akira melihat tatapan gadis cantik itu tampak tajam kepadanya.

“Selama pagi, Staf Lily!” sapa Alexandria kepada staf bidang kesiswaan lalu membungkuk 15 derajat memberi hormat, diikuti oleh keempat rekannya.

“Selamat pagi, Anak-Anak,” jawab staf bernama Lily sambil menundukkan wajahnya sedikit. Senyumnya mekar.

“Apakah ini murid baru, Staf Lily?” tanya Alexandria seraya tersenyum tipis dan memandang penuh arti kepada Akira.

“Akira akan menjadi teman sekelas kalian,” jawab Lily.

“Dengan senang hati kami menerimanya. Semoga Akira mau berteman dengan kami,” ucap Alexandria, senyumnya semakin lebar kepada Akira.

“Tentu,” ucap Akira seraya tersenyum lebih kecil. Ia melihat ada ketidakcocokan antara senyum dan tatapan Alexandria kepadanya.

“Silakan, Staf Lily,” ucap Alexandria sambil menepi, memberi jalan kepada Lily dan Akira yang menuju ke asrama.

Keempat teman Alexandria juga menepi. Sepertinya Alexandria adalah pemimpin di antara teman-temannya.

Lily dan Akira melanjutkan perjalanannya menuju asrama. Alexandria dan keempat rekannya memandanginya sejenak kepergian Akira.

“Itu anak baru yang mengalahkanku secara curang di arena tes,” kata Alexandria kepada keempat temannya.

“Berarti harus kita balas,” kata gadis remaja bertubuh paling tinggi di antara mereka. Namanya Rossifa.

“Harus. Pembalasan itu harus ia rasakan sejak awal ia masuk ke kelas,” desis Alexandria dengan tatapan penuh kebencian. “Ayo, kita siapkan pelajaran buat anak itu!”

Alexandria dan keempat sahabatnya kembali berjalan, pergi menuju kelasnya.

Setelah itu, Akira diantar ke asrama dan ditunjukkan ranjang tempat tidurnya.

Teng teng teng...!

Saat itulah, terdengar suara lonceng sebanyak lima kali dentingan. Itu tanda bahwa kelas akan dimulai pagi itu. Semua murid dari tingkat satu hingga tingkat sepuluh wajib masuk ke kelasnya masing-masing.

Dari asrama, barulah Akira dibawa ke kelasnya di Tingkat Lima.

Pagi itu, Kelas Putih Tingkat Lima diajar oleh Master Holfor, guru bidang alat. Biasanya, kelas pertama adalah teori, setelah itu praktik terbatas yang jika memungkinkan akan tetap dilakukan di dalam kelas. Setelahnya, praktik permainan atau pekerjaan yang menggunakan alat tersebut. Untuk kelas ini, akan dipraktikkan di lapangan atau di ruangan khusus.

Tok toko tok!

Staf Lily mengetuk pintu kelas, mebuat Master Holfor yang sedang menggambar di papan tulis jadi berhenti dan menengok ke pintu. Master Holfor mengangguk, mengizinkan Staf Lily dan Akira masuk.

“Murid baru, Master. Namanya Akira,” ujar Lily.

“Baik,” ucap Master Holfor.

“Aku permisi, Master,” ucap Lily lalu membungkuk hormat.

“Terima kasih, Staf Lily,” ucap Master Holfor seraya tersenyum.

Lily meninggalkan Akira di kelas itu.

Di dalam kelas besar itu ada 49 murid laki-laki dan perempuan. Setiap murid memiliki satu meja bermodel satu kaki setinggi perut. Meja itu sifatnya permanen, menyatu dengan lantai. Tidak ada kursi di kelas itu. Baik guru maupun murid, semuanya menjalani kegiatan belajar dengan berdiri di tempat. Tidak ada buku atau alat tulis lainnya. Sistem pembelajaran di sekolah itu mengandalkan daya ingat dan hafalan.

Format susunan meja adalah adalah 6 x 9, enam baris dan sembilan saf.

Dari ke-49 murid di Tingkat Lima itu, lima di antaranya adalah Alexandria dan keempat sahabatnya. Posisi meja Alexandria ada pada baris keempat dan saf ketujuh, agak di belakang. Masih ada empat meja yang kosong dengan posisi yang tersebar.

“Akira, ambil kapur dan tuliskan namamu di papan tulis sebelah kanan, agar teman-temanmu semua bisa memanggilmu dengan namamu. Setelah itu, pilihlah satu meja yang kosong!” perintah Master Holfor.

“Baik, Master,” ucap Akira patuh.

Master Holfor kembali berbalik dan melanjutkan gambarnya di papan tulis bagian tengah. Sejenak Akira mencari letak kapur. Ternyata ada di kotak yang menyemat di ujung kanan papan tulis.

Tidak ada suara di antara para murid. Mereka kusyuk memperhatikan apa yang digambar oleh Master Holfor, yaitu gambar sebuah bola.

Ketika Akira baru melangkah hendak mengambil kapur di kotaknya, tiba-tiba ....

Seet! Slep! Bdak!

“Hahaha ...!”

Tiba-tiba dari bawah sebuah meja di saf pertama melesat satu benda aneh. Benda itu itu seperti alat penjepit kecil dari logam dan memiliki tali benang yang tebal dan kencang. Benda itu menangkap pergelangan kaki kiri Akira dan menariknya. Akira yang sedang berjalan menjadi oleng ke samping lalu jatuh menabrak belakang kaki Master Holfor.

Akibatnya, Akira dan Master Holfor jatuh bersama ke lantai.

Tawa seluruh murid di kelas itu meledak. Sementara alat yang menjerat kaki kiri Akira sudah lepas dan tertarik balik ke induknya. Alat itu cepat disembunyikan di belakang kaki salah seorang sahabat Alexandria, namanya Finna Riwe.

“Apa yang kau lakukan, Akira?!” bentak Master Holfor marah sambil bangun berdiri dengan pandangan yang ganas kepada gadis kecil itu.

“Ma... maafkan aku, Master. Ada sesuatu yang menarik kakiku sampai terjatuh,” ucap Akira yang buru-buru bangun berdiri. Ia menunduk sambil mencuri pandang kepada murid-murid yang berdiri di meja saf depan, seolah mencari hal apa yang menyerang kakinya.

“Berdiri satu kaki di pojok kanan. Letakkan bola rotan di atas kepala. Jika bola tidak jatuh selama lima belas menit, maka hukumanmu selesai. Jika bola jatuh sebelum waktu terpenuhi, hitungan diulang dari pertama! Mengerti!” kata Master Holfor keras kepada Akira.

“Mengerti, Master,” jawab Akira patuh.

Sementara para murid yang lain sudah terdiam ketika melihat kemarahan guru mereka.

Master Holfor mengambil sebuah bola rotan dan melambungkannya kepada Akira. Gadis itu menerimanya dan pergi berjalan ke sudut depan kanan. Di titik itu, Akira meletakkan bola rotan di atas kepalanya dan ia lepas, lalu ia mulai berdiri dengan satu kaki saja.

Akira berdiri dengan kaki kanan sambil menatap ke dinding belakang kelas. Di sisi atas ada sebuah jam besar. Ia menghitung pergereakan jarum jam itu. Jam yang sama juga terpajang di dinding atas papan tulis.

Tampak Alexandria tersenyum melihat apa yang dialami oleh Akira. (RH)

Terpopuler

Comments

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

wehhhh finna wewe mulai bully nih

2023-05-21

1

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

ouhhh mejanya kyak meja di kedai seblak gitu om, permanen kakinya hiji ditengah, apa tuh meja gk capek yak, di ksh kaki cuma hiji🤔😅

2023-05-21

1

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

guru bidang Alat?🤔

mksdna naon yak

2023-05-21

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!