*Akira Anak Perampok (AAP)*
Bruss!
Kabaro melemparkan semua air di dalam ember ke lantai yang luas. Air itu sudah dicampur dengan cairan sabun. Ia lalu kembali mengambil ember yang lain yang ada di atas lori. Diangkatnya, lalu di bawah ke tengah.
Bruss!
Air sabun kembali ia tumpahkan ke tengah lantai Lapangan Satu. Air pun mengalir melebar ke mana-mana.
Pemuda berusia enam belas tahun itu kembali ke lorinya. Ember kosong ia letakkan. Lori didorong ke lantai sebelah pinggir, agar dia tidak terlalu jauh mengangkat ember berisi yang masih ada dua.
Bruss! Bruss!
Kabaro kembali menyiram ke lantai hingga ke pinggir lapangan. Air terakhir pun ia siram. Airnya mengalir hingga ke sudut lapangan.
“Eh!” pekik pemuda berambut keriting itu terkejut. Air sabunnya mengenai benda yang seperti sepasang kaki di balik dinding. Di sudut itu memang ada ruang kecil tanpa pintu yang biasanya digunakan untuk meletakkan tumpukan matras. Saat ini matras sedang digunakan di Lapangan Dua.
Kabaro segera mendekat ke sudut lapangan guna melihat siapa pemilik kaki itu.
Saat mendekat, Kabaro melihat seorang gadis kecil sedang berdiri bersedekap. Ia mengenakan balutan kain warna putih untuk menutupi kepalanya, sehingga hanya wajah cantiknya yang tampak. Gadis kecil yang tidak lain adalah Akira itu berdiri membelakangi Kabaro.
Kabaro memandang Akira dari belakang dengan tatapan tegang. Ia bergerak pelan mendekat karena ingin melihat wajah sosok berseragam putih-putih tersebut, menunjukkan bahwa ia siswa Kelas Putih.
Slet! Bdak!
Tanpa dikehendaki, Kabaro terpeleset oleh air sabunnya sendiri dan jatuh terduduk, membuat celananya basah sedikit.
“Aduh!” keluhnya lalu bergerak bangkit sambil memegangi bokongnya, sementara wajahnya meringis.
Akira mengangkat sepasang tangan hingga sejajar di depan bahu, kemudian badan atas turun membungkuk, hingga punggungnya lurus seperti meja, sementara sepasang telapak tangan diletakkan di kedua lutut kaki yang tegak lurus.
Kabaro kerutkan kening dengan satu alis naik pincang. Ia heran, gerakan apa yang dilakukan oleh perempuan di depannya itu.
“Hai, Perempuan!” sapa Kabaro sambil menongolkan kepalanya di samping kanan Akira, jaraknya satu depa.
Namun, Akira bergeming. Ia sedikit pun tidak menyahut, apalagi menengok. Ia justru bergerak kembali tegak. Lalu bergeser ke lantai yang belum terkena air sabun. Akira lalu bersujud.
Kabaro belum pernah melihat gerakan seperti itu.
“Hai, pokoknya aku minta maaf, tadi aku tidak tahu kalau kau ada di sini,” ujar Kabaro lagi.
Namun, ia kembali diabaikan oleh Akira. Tidak mendapat respon, akhirnya Kabaro mencebik. Ia lalu pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Kabaro mengambil alat pel dan penggerus air. Pertama ia ratakan airnya agar basah semua. Selanjutnya ia mulai mengepel.
Namun, cara mengepel Kabaro unik. Ia mengepel dengan menginjak alat pelnya lalu meluncur seperti orang bermain ski di atas bidang es. Ia bahkan bisa meluncur dari satu sisi lapangan sampai ke sisi lapangan lainnya. Bukan sekedar itu, ia bahkan melakukan sejumlah gerakan dalam luncurannya laksana penari di atas lantai sabun. Ia bisa menjaga keseimbangannya. Yang paling memukau adalah luncuran di atas satu kaki lalu melompat bersalto dan mendarat lagi yang langsung meluncur.
Meski demikian, hasil pel Kabaro cukup bersih. Dengan cara itu pula, kerja pelnya bisa lebih cepat daripada menggunakan tangan.
Plok plok plok!
Tiba-tiba terdengar tepukan dari sudut lapangan, membuat Kabaro berhenti bergerak. Ia sudah mengepel separuh lapangan, tetapi itu masih tahap penggosokan, belum tahap pengeringan.
Kabaro tersenyum lebar sambil garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Ia tersenyum malu kepada Akira yang bertepuk tangan sambil tersenyum lebar. Akira datang mendekat ke arahnya.
“Hati-hati licin!” seru Kabaro sambil terus tersenyum.
Slet! Buk!
“Ak!” jerit Akira.
Baru saja Kabaro mengingatkannya, Akira justru sudah terpeleset dan jatuh terduduk di lantai basah.
“Hahaha!” tertawa keras Akira mendapati dirinya jatuh, padahal ia sudah mencoba hati-hati.
Kabaro segera meluncur di atas kain pel khusus mendekati Akira. Ia ulurkan tangan untuk membantu Akira berdiri. Akira menyambut tangan itu sambil tertawa-tawa. Kabaro juga jadi tertawa.
“Apa yang tadi kau lakukan, begitu mengagumkan?” tanya Akira seraya memuji Kabaro.
“Hahaha! Aku hanya mengepel lapangan, apanya yang mengagumkan,” kata Kabaro sambil tertawa salah tingkah. Jika seperti itu, terlihat sekali kekocakan lelaki berhidung mancung tapi agak bengkok itu.
“Aku berjalan bisa terpeleset, tetapi kau justru meluncur begitu asik. Apakah cara meluncur seperti itu diajarkan di sekolah ini?” tanya Akira.
“Tidak, ini tidak diajarkan di sekolah, tetapi ada pelajarannya di sekolah ini,” jawab Kabaro. “Aku baru kali ini melihatmu di sekolah ini. Apakah kau murid baru?”
“Iya. Namaku Akira. Aku baru masuk hari ini di Tingkat Lima,” jawab Akira.
“Namaku Kabaro. Aku murid Tingkat Sembilan. Sekarang adalah waktunya istirahat, semua murid berada di ruang makan. Kenapa kau justru berada di sini? Dan sedang apa kau tadi? Tadi aku kira kau setan yang tidak mengerti bahasaku,” kata Kabaro.
“Aku seorang Muslim. Waktu siang seperti ini aku harus melaksanakan salat. Aku mencari tempat yang kira-kira tidak dilihat orang lain,” jelas Akira.
“Oh, kau beragama yang kaum perempuannya suka memakai penutup kepala, seperti yang kau pakai di kepalamu itu?” terka Kabaro sambil menunjuk balutan kain pada kepala Akira.
“Iya,” kata Akira lalu membuka balutan kain pada kepalanya.
“Apa itu salat?” tanya Kabaro ingin tahu.
“Gerakan-gerakan yang menggunakan bacaan-bacaan tertentu saat menyembah Tuhan pencipta segala alam dan seluruh isinya,” jawab Akira.
“Oh. Mungkin sama ketika aku menyembah Dewa Api. Maafkan aku karena membasahi kakimu saat sedang menyembah,” kata Kabaro.
“Tidak apa-apa. Oh iya, aku tidak mengerti dengan perkataanmu tadi. Gerakan meluncur tadi tidak diajarkan, tetapi pelajarannya ada di sekolah ini?” kata Akira.
“Namanya Tarian Salju. Para master tidak akan ada yan mengajarkan ilmu itu di kelas ....”
“Lalu bagaimana kau bisa semahir itu jika tidak diajarkan?” tanya Akira memotong.
“Aku belajar sendiri dari buku,” jawab Kabaro sedikit berbisik.
“Kau dapat dari mana bukunya?” tanya Akira memburu, menunjukkan bahwa ia begitu tertarik dengan ilmu berseluncur itu.
“Nanti kau melapor kepada Hakim Gorang,” tukas Kabaro dengan wajah merengut.
“Tidak. Aku anak baru, mana mungkin aku melapor, bisa habis aku. Aku janji tidak akan melapor. Kau bisa menghukumku jika aku melapor,” kata Akira.
“Janji?”
“Iya. Aku tidak akan bocorkan!” tandas Akira seraya tersenyum.
“Kalau begitu kita berteman,” kata Kabaro, tanpa membalas senyum Akira.
“Kenapa tidak bersahabat?” tanya Akira.
“Orang yang bersahabat denganku harus tunduk dalam Kehormatan Ksatria Banin!” tandas Kabaro.
“Apa itu?” tanya Akira tidak mengerti.
“Kehormatan Ksatria Banin adalah cara penghormatan anggota atau sahabat yang lebih muda kepada yang lebih tua. Ksatria Banin adalah nama pasukan legenda yang berasal dari Banin, pasukan yang tidak pernah terkalahkan dalam pertempuran dan peperangan. Mereka memiliki cara penghormatan yang disebut Kehormatan Ksatria Banin,” jelas Kabaro.
“Baik, aku akan tunduk dalam Kehormatan Ksatria Banin,” kata Akira tanpa pikir panjang.
“Kalau begitu, sebut aku Sahabat Pertama. Sekarang berlutut satu kaki!” perintah Kabaro.
Mendelik cantik Akira mendengar perintah itu.
“Persahabatan ini tidak akan merugikanmu, Akira. Aku bukan orang jahat,” kata Kabaro.
Akira akhirnya tersenyum. Ia lalu turun berlutut satu kaki di depan Kabaro.
“Menunduk dan luruskan tinju kananmu!” perintah Kabaro lagi.
Akira mengikuti arahan itu. Ia kini berlutut dengan satu kaki, wajah menunduk, dan tinju tangan kanan diluruskan ke depan.
“Sebut panggilanku!” perintah Kabaro.
“Sahabat Pertama!” sebut Akira.
Pak!
Tiba-tiba Kabaro menampar kepal tangan kanan Akira, membuat Akira terkejut mendongak.
“Hahaha! Itu tandanya penghormatanmu diterima dan kau masih diakui sebagai sahabat di dalam Ksatria Banin. Jika tinjumu tidak ditampar, berarti sahabat yang lebih tinggi sedang marah kepadamu atau sudah tidak mengakuimu sebagai sahabat,” jelas Kabaro. “Setelah ditampar, kau boleh berdiri.”
Akira lalu bangkit berdiri.
“Dengan kita bersahabat dalam Kehormatan Ksatria Banin, berarti kita sudah seperti satu keluarga yang harus saling menjaga, saling menolong serta saling menjaga rahasia dan kehormatan. Kau mengerti, Akira?”
“Mengerti. Tapi, selain aku, siapa lagi yang tunduk dalam Kehormatan Ksatria Banin?” tanya Akira.
“Baru aku dan kau,” jawab Kabaro sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya.
Terkejut Akira dengan mulut ternganga.
“Hahaha! Aku masuk jebakan!” kata Akira setelah tertawa terbahak.
Melihat Akira tertawa kencang, Kabaro pun tertawa.
“Sekarang panggilanmu adalah Sahabat Kedua di dalam Kehormatan Ksatria Banin!” kata Kabaro. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩
ohhh terbalik ternyata
biasanya orang yg ditampar itu yg lgi pda marah nya
2023-05-22
1
𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩
mendelik geulis atulah kumaha om
2023-05-22
1
𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩
ksbaro otodidak ternyata
2023-05-22
1