AAP 4: Nelayan Tua

*Akira Anak Perampok (AAP)*

Malam itu. Di tengah sebuah telaga yang gelap, tampak ada sebuah api obor yang menyala cukup besar, memberi penerangan yang cukup bagi seorang nelayan dan perahunya. Meski angin cukup kencang bertiup, tetapi api obor itu tidak padam, dia hanya menari-nari tanpa konsep yang jelas.

Si nelayan yang adalah seorang tua berusia enam puluh satu tahun itu berdiri di atas perahunya sambil menata jala yang sedang dia tata dalam pegangannya.

Si nelayan yang mengikat kepalanya dengan kain putih itu lalu memasang kuda-kudanya sambil mengayun-ayunkan tangannya hendak melempar.

Sreeet!

Pada ayunan kesekian yang dianggap adalah ayunan ideal, si nelayan bernama Rala Badar itu melempar jauh dan luas jalanya ke air telaga yang gelap. Semua bagian jalan tertebar dan masuk ke dalam air kecuali seutas tali yang terpegang kuat.

“Nelayan-nelayan tua, tak ada teman untuk berdua, dalam gelap tanpa cahaya, tidak ada yang mengajak bercanda. Nelayan-nelayan tua, selagi kuat dan tidak buta, seberapa banyak ikan yang ada, aku akan selalu datang menjala. Nelayan-nelayan tua, biar tua tenaga masih perkasa, meski tidak ada istri di rumah, anggap saja istri ada di telaga. Hahahak!”

Sambil menunggu jalan turun ke dasar telaga yang tanpa cahaya, Rala Badar bernyanyi lagu tanpa musik dengan syair buah ciptanya yang spontanitas saja. Namun, lagu itu sering dia nyanyikan di saat-saat seperti itu, di saat menunggu. Lagu itu dia beri judul Nelayan Tua.

“Nelayan-nelayan tua, semakin tua semakin terasa, semakin lama semakin berusia, tapi mati tidak kunjung kudamba. Nelayan-nelayan tua, jala kutebar dengan gembira, mengurung ikan yang putus asa, kutarik jala penuh bahagia. Nelayan-nelayan tua, semakin malam semakin gulita, hawa dingin merangkul dada, tapi ikan semakin suka. Hahaha!”

Setelah bernyanyi dua putaran, Rala Badar mulai menarik tali di tangannya secara perlahan, seolah-olah tarikan itu memiliki ritme napas.

Awalnya biasa saja, seperti malam-malam biasa. Namun, ketika semakin ditarik, tetap biasa saja.

Sebagai seorang nelayan jala kawakan, Rala Badar bisa merasakan jika ada ikan besar yang tertangkap oleh jalanya.

“Ikan besar!” pekik Rala Badar tiba-tiba. Dia terkejut tapi kemudian girang.

Dengan bersemangat, lelaki tua itu menarik jalannya lebih cepat tapi lebih berirama, seolah-olah ada musik yang sedang bermain mengiringi kegembiraannya. Mulutnya pun bernyanyi Nelayan Tua lagi tapi versi gembira.

“Nelayan-nelayan tua, pagi siang malam berusaha, lelah keringat pun tak sia-sia, ikan besar datang bersua. Nelayan-nelayan tua, tidak sia-sia mengabdi setia, kepada Tuhan kuasa dunia, akhirnya dapat ganjaran pahala. Hahaha!”

Rala Badar terus menarik dengan tenaga kuat karena beban tarikannya sangat terasa berat. Perahunya sampai tergoyang-goyang.

“Tarik, Rala! Ikan besarmu datang! Tarik Rala! Ikan besarmu datang!” teriak Rala Badar setiap tangannya menarik.

Hingga akhirnya, sebagian besar dari jalanya sudah tertarik.

“Itu dia!” seru Rala Badar saat melihat sedikit dari sosok besar di dalam jala yang gelap.

Terlihat pula beberapa ikan seukuran telapak tangannya yang terjerat jaring. Namun, tiba-tiba Rala Badar terkejut karena merasa aneh.

“Ikan besarnya kenapa tidak bergerak?” tanya Rala Badar kepada dirinya sendiri. “Itu bukan ikan.”

Rasa heran dan penasaran justru membuat Rala Badar mempercepat tarikannya hingga tanpa irama dan lagu lagi.

Sosok besar di dalam jala terus ikut tertarik dan semakin mendekati perahu. Sosok yang gelap itu besar tapi tidak bergerak.

“Hah, berbaju dan berambut?” ucap Rala Badar. “Itu mayat.”

Memang benar Rala Badar, sosok yang awalnya dia anggap ikan besar itu ternyata sesosok tubuh yang tidak bereaksi atas jeratan jala. Bisa dipastikan bahwa itu adalah mayat.

Sebagai mantan seorang prajurit rakyat, Rala Badar tidaklah takut berhadapan dengan mayat. Dulu di medan perang, dia sudah sering memeluk mayat.

Karena itu, tanpa rasa takut atau ngeri, Rala Badar segera menggapaikan tangan kirinya meraih kain baju si mayat yang sudah semakin jelas oleh penerangan obor perahu.

“Anak perempuan,” ucap Rala Badar saat sudah memastikan sosok mayat yang rambutnya masih terkepang tunggal tersebut.

Rala Badar menarik tubuh yang masih terlingkup oleh jaring ikan sehingga merapat pada lambung perahu. Tubuh itu dia balik sehingga mengambang terlentang.

Ternyata seorang anak perempuan berusia belasan tahun dan memiliki wajah yang cantik. Rala Badar cepat memeriksa denyut nadi bocah perempuan yang tidak lain adalah Akira, putri mantan perampok terkenal yang sudah tobat.

“Hah! Masih hidup!” pekik Rala Badar.

Buru-buru Rala Badar meraih tubuh Akira dan menariknya naik ke atas perahu. Senaiknya Akira yang tidak sadarkan diri ke perahu, nelayan itu segera mengeluarkannya dari selimutan jala.

Rala Badar tidak peduli lagi dengan beberapa ikan yang menggelepar-gelepar di dalam jalanya. Ia lebih mengutamakan untuk menyelamatkan anak perempuan yang dijalanya.

“Anak cantik yang malang. Berkah Tuhan kau masih hidup, Nak,” ucap Rala Badar seperti orang panik.

Rala Badar segera menekan-nekan dada Akira menggunakan tumpukan dua telapak tangannya. Tekhnik itu dia pelajari saat berada di dalam Pasukan Infanteri 100. Tekhnik napas buatan dia lakukan dengan meniupkan udara lewat persentuhan bibir. Tidak terlintas sedikit pun di pikiran Rala Badar untuk melecehkan Akira yang masih bocah.

Rala Badar melakukan tindakan menekan dada dan memberi napas buatan berulang kali secara bergantian.

“Ya Tuhan, beri keberkahan kepada anak malang ini,” ucap Rala Badar lirih sambil terus berusaha.

“Uhhukr!”

Tiba-tiba tubuh Akira terhentak dan terbatuk sembari mengeluarkan air dari dalam tenggorokannya.

“Puji Tuhan!” teriak Rala Badar gembira bercampur haru.

“Uhhuk uhhuk!” Akira kembali terbatuk mengeluarkan air dari dalam perutnya.

Sejenak sepasang mata Akira terbuka dengan lemah.

“Ibu,” ucap Akira begitu lemah.

“Tidak apa-apa, Nak. Jangan takut. Kau bersama Kakek,” kata Rala Badar.

“Ibu!” sebut Akira lebih jelas.

“Ibumu tidak ada di sini, Nak. Tapi kau bersama Kakek. Kakek orang baik,” kata Rala Badar agar pikiran si bocah tidak takut.

Rala Badar lalu menengok mencari sesuatu di perahunya. Ternyata dia mencari botol air yang terbuat dari bambu.

“Ayo minum dulu,” kata Rala Badar sambil mengangkat belakang kepala Akira dan tangan lainnya menempelkan bibir tabung ke bibir Akira.

Akira pun menurut. Meski dia banyak minum air sungai ketika hanyut di kala malam, tapi dia merasa haus saat itu.

“Kakek si-si-siapa?” tanya Akira yang ingatannya masih normal.

“Nama Kakek Rala Badar. Kakek seorang nelayan telaga. Jangan takut, Kakek orang baik,” kata Rala Badar. “Namamu siapa, Nak?”

“Akira, Kek,” jawab Akira lemah.

“Kakek akan membawamu pulang, ya. Kau harus istirahat dan diobati. Wajahmu terluka. Mungkin juga tubuhmu ada yang luka,” kata Rala Badar.

Entah kenapa, ketika diingatkan tentang luka, Akira mendadak tersadar terhadap rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya.

“Aaak. Sakiiit!” erang Akira sembari mengerenyit menahan sakit.

“Iya, Nak. Kita segera pulang,” kata Rala Badar. “Berbaringlah di sini.”

Lelaki tua yang masih kuat itu segera mengambil dayungnya untuk pergi dari spot tersebut. Rala Badar pulang dengan membawa satu anak dan beberapa ekor ikan saja yang masih ada di dalam jaring yang belum sempat dia rapikan. (RH)

Terpopuler

Comments

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

bagus dong brarti bkn pedofil 🤣

2023-05-20

1

rajes salam lubis

rajes salam lubis

lanjutkan terus om

2023-04-21

0

rajes salam lubis

rajes salam lubis

aseeek

2023-04-21

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!