AAP 7: Daftar Sekolah

*Akira Anak Perampok (AAP)*

“Bagaimana jika kau Ayah daftarkan di Sekolah Ksatria Banin?” tanya Rala Badar kepada Akira.

Dia duduk serius menghadap kepada Akira yang sedang memotong-motong daun bawang.

“Jika aku sekolah, apakah aku akan tinggal di sana?” tanya balik Akira. Dia memang tidak tahu-menahu tentang lembaga sekolah resmi seperti Sekolah Ksatria Banin yang terkenal.

“Iya. Kau hanya bisa pulang ketika waktu libur atau Ayah yang datang menjengukmu di asrama,” jawab Rala Badar.

“Berarti, jika aku sekolah, Ayah akan tinggal sendirian lagi. Tidak ada yang akan membantu Ayah,” kata Akira.

“Benar. Ayah memang sudah terbiasa sendiri. Mungkin yang paling berat adalah Ayah akan kesepian. Ayah akan sangat merindukanmu. Namun, aku akan sangat bangga jika kau kelak menjadi anak yang berbakat dan memiliki gelar pendidikan yang baik,” ujar Rala Badar. “Banyak sekali orang-orang lulusan Sekolah Ksatria Banin yang sekarang memiliki kedudukan bagus di kemiliteran Negara Zonic atau bekerja di badan-badan pemerintahan. Bahkan bisa bekerja di Istana Battleham.”

“Aku tidak ingin mencari jabatan di pemerintahan yang telah membunuh keluargaku, Ayah,” kata Akira, tetapi itu di dalam hatinya saja. Dia lalu berkata kepada ayahnya, “Baik, aku akan bersekolah jika diterima di sekolah itu. Aku akan menjadi orang hebat saat besar nanti.”

“Bagus!” pekik Rala Badar sambil bangkit berdiri seraya tersenyum lebar.

Rala Badar lalu pergi dengan tergesa-gesa ke dalam kamarnya. Tidak berapa lama, dia kembali keluar menemui Akira sambil menggendong sebuah guci sebesar perut perempuan hamil.

“Apa itu, Ayah?” tanya Akira.

Prakr!

Tanpa menjawab, Rala Badar membanting guci tersebut ke lantai tanah rumahnya yang keras. Guci tersebut pecah dan berserakanlah kepingan-kepingan koin bercetak yang banyak.

Koin-koin uang shebel itu terdiri dari dua warna, yaitu warna perunggu dan warna perak. Uang shebel perunggu jumlahnya lebih mendominasi. Sedangkan uang shebel perak hanya sedikit.

Satu shebel perak bernilai 20 shebel perunggu, dan 1 shebel emas senilai 25 shebel perak.

“Waaah! Uang celengan Ayah banyak sekali!” seru Akira terperangah.

“Bantu Ayah menghitungnya. Ini untuk biaya sekolahmu. Meski seandainya kau lolos tes, pasti ada biaya sekolahnya,” kata Rala Badar.

“Iya.”

Maka dengan senang hati Akira beralih membantu ayahnya dalam menghitung uang tabungan tersebut.

“Berapa lama Ayah menabung uang sebanyak ini?” tanya Akira.

“Sekitar lima tahun lalu.”

“Ayah menabung pasti ingin membeli sesuatu?”

“Tidak. Ayah menabung saja, tidak tahu untuk membeli apa. Tapi karena Ayah sekarang memiliki tujuan yang membutuhkan uang, maka uang tabungan Ayah bisa kita gunakan. Nanti Ayah akan rajin menabung lagi untuk tambahan biaya sekolahmu.”

“Hahaha! Berarti Ayah akan semakin giat mencari ikan untuk dijual.”

“Benar. Itu demi anak kesayangan Ayah. Hahaha!”

“Kapan kita akan pergi?”

“Besok.”

“Apakah jauh?”

“Sekolah Ksatria Banin ada di Kota Patre. Kita harus naik kuda ke sana. Mungkin satu hari perjalanan. Ayah akan menyewa kuda dan Ayah akan memakai pakaian prajurit Pasukan Infanteri 100. Itu sebagai tanda bahwa Ayah memang seorang veteran.”

“Pasti besok Ayah sangat gagah.”

“Hahaha!” Keduanya tertawa.

Memang, keesokan paginya, Rala Badar sudah siap berangkat dengan berpakaian seorang prajurit. Sepatu boot, pelindung paha dan tangan, baju pelindung, hingga helm, semuanya berbahan kulit tebal warna biru gelap yang baunya sangat khas. Sabuk logamnya begitu khas dan memiliki kepala berukir angka 100. Itu adalah salah satu simbol Pasukan Infanteri 100.

Selain tanda itu, Rala Badar masih memiliki tanda prajurit yang terbuat dari lempengan logam bercetak yang terbuat dari perunggu.

Dia juga menyandang sebilah pedang yang bersarung. Pedang itu adalah pedang khusus Pasukan Infanteri 100, bukan senjata pedang prajurit umum.

Setelah mendapatkan kuda sewaan, Rala Badar dan Akira pun pergi naik kuda.

Akira sendiri tampil rapi dan cantik dengan pakaian yang sederhana. Dia memang tidak memiliki pakaian bagus. Ketika dia mulai tinggal bersama ayah angkatnya, orang tua itu membelikan pakaian anak perempuan bekas tapi bagus. Saat ini dia berangkat dengan membawa beberapa setel pakaian juga.

Rala Badar berkuda santai karena dia membawa boncengan. Akira duduk di depan. Sesekali Akira yang memegang tali kendali kuda.

Mereka meninggalkan pinggiran Kota Bowei dan menuju ke Kota Patre. Mereka harus melewati pinggiran sebuah hutan, dua bukit dan dua lembah.

Rala Badar dan Akira singgah beberapa kali di perjalanan, apakah di tengah jalan atau di sebuah desa. Beberapa kali juga mereka bertemu Pasukan Singa Banin yang merupakan pasukan keamanan provinsi.

Melihat Rala Badar dalam tampilan seragam prajurit perang, jelas menarik hati para prajurit Pasukan Singa Banin untuk bertanya. Namun, setelah dijelaskan maksud dan tujuan Rala Badar berpakaian prajurit dari pasukan yang tidak aktif, mereka bisa menerima alasan itu dan membiarkan Rala Badar dan Akira melanjutkan perjalanan.

“Aku ingin mendaftarkan cucuku bersekolah di Sekolah Ksatria Banin,” jawab Rala Badar ketika ditanya oleh prajurit.

Dia dan Akira sudah sepakat bahwa Akira akan disebut “cucu” oleh ayahnya dengan maksud menghindari kecurigaan dari prajurit pasukan keamanan. Ketimpangan usia yang jauh terpaut bisa meciptakan kecurigaan jika Akira diperkenalkan sebagai anak. Dan akan sangat berbahaya jika para prajurit itu tahu bahwa Akira adalah anak dari seorang mantan perampok yang dibunuh oleh pasukan besi, apakah itu Pasukan Algojo Hitam atau Pasukan Zabaniyah.

Setibanya di Kota Patre, hari sudah senja. Jadi Rala Badar harus bermalam lebih dulu. Besok pagi barulah mereka akan pergi ke Sekolah Ksatria Banin.

*****

 

Keesokan paginya.

Rala Badar sejak dua jam yang lalu terus berjalan tanpa henti dari sisi ruang yang satu ke sisi yang lain. Seperti itulah sikap lelaki berwajah tegas itu jika sedang berdebar-debar menunggu sesuatu yang sangat dia harapkan.

Sesekali Rala Badar membenarkan posisi helm kulit lusuhnya. Bahkan sudah dua kali dia membuka helmnya lalu memasangnya kembali.

Pagi ini Rala Badar masih mengenakan pakaian kebanggaannya, pakaian yang sepuluh tahun lalu dia pakai ketika pergi berperang ke perbatasan utara negerinya.

Bagi Rala Badar, hari ini adalah hari yang sangat istimewa, salah satu momentum istimewa dalam sejarah hidupnya. Rasanya seperti sedang menunggu kelahiran bayi pertama.

“Pak Rala!” panggil wanita di balik kaca yang geleng-geleng kepala melihat aktivitas Rala Badar bak layaknya alat penggosok pakaian.

“Ya?” tanya Rala sambil cepat datang mendekat ke lubang-lubang kaca tempat orangtua biasa mendaftarkan anaknya.

“Bisakah Bapak duduk di kursi dan menunggu dengan tenang?” tanya wanita cantik itu seraya tersenyum agar tidak menyinggung perasaan Rala Badar.

“Oh! Jika saya duduk di kursi, saya akan semakin merasa tidak tenang,” kata Rala sambil tersenyum pula.

“Jika begitu, silahkan Bapak lanjutkan!” kata wanita petugas itu dengan tetap tersenyum.

Rala pun kembali berjalan menuju sisi ruangan yang nanti dia akan berbalik dan berjalan lagi. Wanita petugas di dalam ruangan kaca hanya kembali geleng-geleng, membuat petugas wanita lainnya yang satu ruangan denganya hanya tertawa.

Beruntung di ruang tunggu pendaftaran itu tidak ada orang lain selain Rala Badar. Mungkin akan berbeda suasananya jika di ruang tunggu pendaftaran itu ada orang lain.

Rala seketika berbalik ketika mendengar suara langkah sepatu menuruni tangga, jalan yang tadi dilalui anaknya menuju ruangan tes kelayakan. Rala segera berlari kecil menuju tangga.

Dari atas turun seorang pemuda berpakaian rapi serba putih. Sepatu khususnya membuat setiap langkahnya berdetak khas. Kedua tangannya memakai sarung tangan putih yang tebal. Pemuda berambut pendek itu memiliki tatto tiga garis putih pendek dia atas alis kirinya.

Melihat yang turun hanya seorang pemuda, Rala Badar agak kecewa. Lelaki bertangan kasar itu kembali berbalik dan berjalan lagi hendak melanjutkan mondar-mandirnya.

“Pak Rala Badar!” panggil pemuda yang baru turun itu.

“Ya, aku!” sahut Rala terkejut seraya berpaling ke belakang. Ternyata yang memanggilnya adalah pemuda yang baru turun itu. Rala segera berbalik dan datang mendekat.

“Namaku Sukrama, salah satu guru tes. Anak Bapak lulus semua tes dasar untuk Kelas Putih. Sekarang Bapak ikut aku untuk melihat anak Bapak menjalani tes tingkatan!” kata pemuda itu. “Mari ikut aku!”

Pemuda bernama Sukrama itu kembali menaiki tangga. Rala Badar mengikuti. (RH)

Terpopuler

Comments

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

sampe bab ini dulu omm next lnjt lagi

2023-05-20

1

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

cucu atw anak nihhhh

2023-05-20

1

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩

mungkin klo bertujuan antara Cirebon Surabaya sampe x yak😂

( Cirebon kotaku, Surabaya kota dia)🙃

2023-05-20

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!