Kemalangan

Nafas Deril tercekat ketika dia mengenali wajah yang ada di dalam gundukan tanah basah di halaman belakang rumahnya. Tubuhnya tidak kalah dinginnya dengan ujung-ujung jarinya yang gemetar. Dia kedinginan, bukan karena hujan gerimis yang membuat suhu sekitar turun beberapa derajat. Namun, dia menggigil karena mendapati tubuh adiknya tertanam di bawah tanah.

"Diana..." suaranya bergetar hebat. Dengan sisa kekuatan dan keberanian di dalam dirinya, Deril mengulurkan tangan untuk menyentuh tubuh Diana.

Masih hangat.

Sebuah harapan mengalir di dalam dirinya. Air matanya keluar tanpa bisa dia tahan. Tanpa pikir panjang, Deril merangkul tubuh Diana. Dia sendiri kaget dengan kekuatan yang dia miliki setelahnya. Diana terasa ringan di dalam pelukannya. Tubuh adiknya masih hangat. Hanya itu yang ada di kepala Deril.

Deril berlari kembali ke dalam rumah. Detik itu, dia mengutuk dirinya yang tidak belajar mengemudi. Deril meraih handuk yang ada di jemuran, melilit tubuh Diana sebisanya agar kehangatan tidak pergi dari sana.

"Uhuk!"

Deril menunduk. Wajah pucat adiknya berubah. Pipinya memerah, walau hanya sedikit. "Diana! Diana! Bertahanlah! Kita ke rumah sakit sekarang!" seru Deril. Dia meletakkan Diana di atas meja makan, lalu meraih handphone-nya untuk memesan taxi online.

TING! TONG!

Deril tersentak karena bunyi bel rumah di tengah kesunyian. Dia terdiam sejenak. Otaknya perlu waktu untuk memproses apa yang sedang terjadi.

TING! TONG!

Mata Deril kembali tertuju pada Diana. "Tunggu sebentar," bisik Deril, seraya menepuk bahu adiknya. Deril berlari menuju pintu depan yang hanya berjarak lima meter dari tempatnya berdiri. Dia mengintip dari lubang pintu. "Mika?"

Deril menarik daun pintu hingga terbuka. Sosok Mika yang kecil berdiri di hadapannya. Dia mengenakan sweater abu tebal yang sedikit basah karena air hujan. Rambut panjangnya tergerai bebas menutupi punggung.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Deril, tidak percaya.

"Aku lihat kamu. Halaman belakang. Diana?"

Deril mencerna sejenak apa maksud dari jawaban Mika. "Ah! Iya, adikku--" Deril menelan akhir dari kalimatnya. Dia tidak sanggup jika harus mengatakan bahwa dia menemukan adiknya dikubur di halaman belakang rumah.

Mika menengok ke arah rumahnya. "Aku telepon mobil. Sudah ke sini. Tunggu!"

"Apa Dokter Stephen ada di rumah?" tanya Deril. Seingatnya, Dokter Stephen adalah ayah yang tidak akan membiarkan anak gadis kesayangannya menemui remaja yang sudah membuat masalah. "Kembalilah! Ayahmu bisa marah!"

"Papa kerja," Mika menjawab cepat. Dia mundur beberapa langkah ketika suara deru mobil terdengar. "Datang! Cepat!"

Deril melihat cahaya lampu mobil mendekat dari jalanan utama. Dia langsung berbalik, berlari menghampiri Diana yang tergeletak di lantai. "Diana? Diana?" panggilnya sambil merangkul tubuh Diana. Walau tidak ada respon dari Diana, namun melihat dia bernafas saja, membuat Deril sedikit tenang. "Mika, makasih!" ucapnya ketika melewati Mika. Deril bergegas masuk ke dalam mobil yang baru saja berhenti di depan rumahnya.

"Dengan--"

"Deril. Saya yang pesan. Bisa antar ke rumah sakit secepatnya? Adik saya sekarat!" pinta Deril.

***

Serena berdiri dengan mata terbelalak. Wajahnya lebih pucat sekarang ini. Beberapa detik kemudian, ketika dia sudah bisa mengendalikan dirinya, kakinya melangkah menuju ranjang UGD di mana Deril meletakkan Diana.

"Saya menemukan adik saya terkubur di halaman belakang. Tolong! Dia masih bernafas!" pinta Deril ketika seorang dokter jaga menghampirinya.

Dokter itu baru akan membuka mulut, mendebat apa yang Deril katakan. Tapi, dia mengurungkan niatnya dan langsung memeriksa Diana. Dua orang tenaga medis lainnya ikut membantu memasang alat-alat di tubuh Diana.

"Deril... Nak... Ada apa?" Serena menghampiri Deril.

Deril menoleh kaget ke arah ibunya. Sedetik lalu, dia lupa kalau ibunya ada di sini. "Bu, ayo kita duduk dulu!" pinta Deril.

Serena tidak bergerak. Dia bahkan tidak berkedip melihat Diana tidak sadarkan diri. "Anakku... Masih hidup, kan?"

"IBU!" Deril berteriak, membuat Serena memalingkan wajah ke arah putranya. "Ibu, aku mohon, jangan bicara sembarangan!" pinta Deril. Dia menarik lembut tangan ibunya, agar mengikutinya menjauh dari ranjang Diana. Tidak ada gunanya membuat Serena melihat apa yang terjadi.

"Ada apa?" tanya Serena, saat dia duduk kembali ke tempatnya semula.

"Waktu aku pulang, Diana tidak ada di kamarnya. Aku cari ke semua lantai, tapi Diana menghilang. Lalu, aku lihat pintu belakang terbuka. Aku punya firasat buruk, jadi aku ke sana." Deril menoleh pada dokter jaga yang memberikan instruksi pada tenaga medis di sebelahnya. "Aku menemukan Diana terkubur di halaman belakang," Deril mengakhiri ceritanya.

"Maaf, Dokter mau bicara," tiba-tiba seorang perawat menghampiri Deril.

Deril menepuk tangan ibunya beberapa kali, sebelum meninggalkan Serena duduk sendirian. Deril tahu kalau saat ini, ibunya sangat terguncang. Bagaimana tidak? Dalam sehari, dua orang anggota keluarga terbaring di UGD dalam keadaan tidak sadarkan diri. Deril lebih khawatir dengan kondisi Serena yang tidak berkata apapun.

"Deril!"

Deril menoleh ke belakang ketika namanya disebut. Suara itu terdengar familiar di telinganya. Jantung Deril berdetak lebih cepat ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

"Pagi, Dok!"

"Pagi, Dok! Operasinya sudah selesai, Dok?"

"Lebih cepat dari biasanya, Dok?"

"Iya. Ternyata lebih mudah dari bayangan saya," jawab Dokter Stephen dengan wajah penuh senyum. "Ini tetangga saya. Apa ada masalah?" Dokter Stephen menepuk bahu Deril.

"Apa Dokter kenal dengan pasien Alex?"

"Oh, tentu! Dia ayah Deril. Ada apa?"

Tangan Deril mengepal. Dia merasa sesak setiap kali Dokter Stephen berbicara. Ada rasa curiga membuncah di dalam dadanya. Senyuman Dokter Stephen tidak bisa hilang dari kepalanya. Tapi, kenyataan bahwa Dokter Stephen menolongnya, tidak bisa diubah.

"Pasien Alex keracunan makanan. Dia sempat muntah darah dan datang tidak sadarkan diri. Saat ini kondisi pasien sudah stabil. Kami sudah lakukan kumbah lambung setiap dua jam. Tanda vital dalam keadaan stabil. Tapi, masih perlu dirawat di HCU karena hasil darahnya tidak baik."

"Keracunan makanan?" ulang Dokter Stephen. Dia menunduk pada Deril. "Apa ayahmu suka makan sembarangan?"

Deril menganga. Sekilas, dia ingat dengan apa yang terjadi di dapur. Di samping tubuh ayahnya, ada sepotong ayam goreng yang tidak habis di makan. Rahangnya mengeras dengan segala pikiran negatif di dalam kepalanya.

"Dok Dian, pastikan kamar HCU tersedia untuk ayah Deril!" pesan Dokter Stephen.

"Baik, Dok!" jawab dokter jaga UGD. "Oh, iya!" dokter itu menoleh pada Deril. "Untuk adiknya, bisa lakukan pendaftaran dulu? Kami berencana rotgent dada. Saturasi oksigennya tidak bagus, namun saat ini terkontrol dengan bantuan oksigen."

"Baik! Saya akan daf--"

"Adik?" tanya Dokter Stephen.

"Iya, Dok. Barusan Pak Deril bawa adiknya ke sini. Katanya--" Dokter Dian melirik Deril sekilas, "--Pak Deril menemukan adiknya terkubur. Kami belum dengar cerita pastinya."

Ketika pandangan mereka bertemu, Deril merasakan desiran aneh di dadanya. Mata Dokter Stephen yang berkilat membuatnya takut. Tapi, Deril tidak bisa memalingkan wajahnya. Bulu kuduknya meremang.

"Diana ditemukan?" tanya Dokter Stephen. "Terkubur?"

Jeda beberapa detik dari pertanyaan yang dilontarkan Dokter Stephen itu, membuat kaki Deril lemas. Dia tidak bisa berpikir rasional lagi. Deril merasa bahwa Dokter Stephen menyembunyikan sesuatu.

"Deril! Ayah sudah sadar!" Teriakan dari Serena membuat pikiran Deril teralihkan.

Deril menoleh pada ibunya yang masuk ke dalam bilik perawatan ayahnya. "Terima kasih untuk bantuannya, Dok," kata Deril.

"Mengejutkan, kamu bisa menemukan adikmu terkubur."

Rahang Deril mengeras. Perkataan Dokter Stephen dirasa sangat ambigu. "Ya. Tuhan masih berpihak pada saya," geram Deril.

Dokter Stephen tersenyum kecil. "Selama mereka di sini, mereka akan mendapatkan perawatan yang paling baik. Kamu tidak usah khawatir."

"Terima kasih," jawab Deril sekali lagi, tanpa perasaan berterima kasih.

"Sebaiknya kamu jaga keluargamu baik-baik, ketimbang main-main di luar rumah." Dokter Stephen menepuk bahu Deril.

Mungkin, kalimat itu terdengar seperti sebuah nasihat biasa di telinga orang lain. Tetapi, bagi Deril, itu lebih terdengar seperti sindiran. Dokter Stephen mengatakan itu, bukan karena sedang merasa iba dengan nasib buruk keluarga Deril.

Deril dibuat mengalami hal ini, seperti sebuah kesengajaan. Sebuah musibah yang sengaja ditujukan untuk dia. Kemalangan yang terjadi karena dia 'bermain-main di luar rumah', alias berkeliaran di rumah orang lain.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!