Deril tidak bisa tersenyum. Tubuhnya kaku begitu mata mereka saling bertaut. Wajah khas penduduk lokal yang perempuan itu miliki, membuat Deril mabuk kepayang. Deril merasakan ada yang aneh pada dirinya. Jantungnya terus saja berpacu, membuat keringat dingin mengucur di pelipisnya.
Sama seperti Deril, perempuan itu tidak bergerak. Dia balik memandang Deril tanpa berkutik sedikitpun. Mata bulatnya tidak berkedip.
Tangan Deril terangkat. Dia melambai kecil pada perempuan itu, yang langsung Deril akui bahwa itu perbuatan paling bodoh dan canggung dalam hidupnya. Merasa kewarasannya akan terganggu jika dia berdiam diri lebih lama lagi, Deril memilih berlari masuk ke dalam rumah.
"Kenapa Kakak lari-lari?" Diana yang melihat Deril masuk dengan nafas tersengal-sengal, bertanya. Diana sedang menuangkan segelas air putih untuk dia bawa ke kamarnya.
"Kamu mau nyemil di kamar lagi?" terka Deril. Sebenarnya dia mendapatkan pesan dari Serena untuk melarang adiknya memakan cemilan apapun sebelum makan malam. Tapi, Deril memilih tutup mulut saja, daripada harus mengomel seperti perempuan.
"Yup!" Diana membawa gelas yang berisi penuh dan berjalan melewati Deril. "Jangan ganggu aku sampai jam makan malam, ya!"
Tangan Deril mengepal. Dia ingin sekali menjitak kepala adiknya itu, agar otaknya kembali ke porosnya. Entah sejak kapan adik kecilnya yang dulu sangat dia sukai, berubah menjadi perempuan menyebalkan seperti itu.
Setelah memastikan pintu depan terkunci kembali, Deril naik ke lantai dua dan segera mengganti seragam sekolahnya. Dirinya tidak sabar untuk ke loteng. Alex telah memberinya kuasa penuh untuk loteng seluas tiga meter itu. Tentu saja setelah memastikan bahwa Diana tidak menginginkannya juga. Deril akan membersihkan loteng itu sore ini, sambil memikirkan akan dijadikan apa tempat itu.
TING TONG!!!
Suara bel pintu menggema di seluruh sudut rumah. Kaki Deril baru saja menapak pada anak tangga pertama menuju loteng. Deril menoleh ke arah kamar Diana. Tidak ada pergerakan dari sana.
TING TONG!!!
Deril mendengus nafas kasar. Tentu saja Diana tidak akan bermurah hati membukakan pintu untuk tamu yang datang. Akhirnya Derillah yang turun.
Awalnya, Deril merasa sangat kesal saat berjalan ke ruang tamu. Namun, rasa kesalnya itu menguap begitu mendapati tetangga sebelah berdiri di depan hidungnya. "Ha-ha-ha... Ehem!" Deril berdeham saking gugupnya. "Halo!" suara Deril berubah 180 derajat.
Laki-laki paruh baya berbadan jangkung yang berdiri di hadapan Deril, tersenyum ramah. "Sore, Nak!" sapanya, memecah kekakuan. "Nama saya Dokter Stephen. Saya tetangga sebelah rumah."
Deril memandang orang yang memperkenalkan diri sebagai seorang dokter itu dengan seksama. Deril memikirkan betapa beruntungnya laki-laki itu. Memiliki wajah tampan, tubuh atletis, profesi yang menghasilkan banyak uang, dan juga seorang putri yang sangat cantik.
"Maaf karena pekerjaan saya membuat saya sibuk belakangan ini. Anak saya bilang, ibumu sempat datang dua kali untuk menyapa, tapi saya sedang tidak di rumah. Anak saya pemalu, jadi dia tidak akan membukakan pintu untuk orang asing."
"I-Ibu... Nggak... Em, tidak di rumah..." Deril tidak tahan untuk tidak melirik ke arah gadis belia di belakang Dokter Stephen.
"Kami membawa kue untuk camilan," lanjut Dokter Stephen. Apa kami boleh bertamu?"
"Ya! Boleh!" Deril menjawab cepat. Tentu saja dia tidak mau menolak. Deril menepi dari ambang pintu depan, membiarkan Dokter Stephen dan anaknya masuk. Lalu, dia mengarahkan tamunya untuk duduk di ruang tamu. "Mungkin sebentar lagi ibu saya akan pulang. Saya akan buatkan minuman."
"Ya, ya! Kamu santai saja. Kami punya banyak waktu hari ini," jawab Dokter Stephen.
Deril berjalan cepat menuju dapur yang ada di sebelah ruang tamu. Dia bersyukur karena setidaknya dia bisa membuat teh hangat. Dalam lima menit, Deril sudah menyuguhkan dua cangkir teh di meja ruang tamu.
"Silakan." Deril mengutuk dirinya karena tangannya gemetar saat menyodorkan cangkir teh.
"Makasih," anak gadis Dokter Stephen menerima cangkir tehnya.
'Waaaah... Aku nggak tahu kalau minum teh saja, orang bisa seanggun ini. Mirip putri raja,' batin Deril sambil memandang perempuan di depannya tanpa berkedip.
"Apa anak saya secantik itu?"
Deril menjadi salah tingkah berkat pertanyaan itu. Wajahnya memerah sampai ke telinga. "Saya tidak pernah lihat perempuan secantik anak Dokter."
Dokter Stephen menoleh dengan tatapan bangga ke arah anaknya. "Perkenalkan dirimu!" pintanya.
"Aku Mika," gadis itu mengulurkan tangan.
'Benar dugaanku! Dia Mika!' batin Deril.
Deril menyambut uluran tangan Mika. "Aku Deril."
"Sepertinya kalian sebaya. Mika berumur lima belas tahun bulan depan."
Deril mengangguk saja. Dia tidak bisa memalingkan perhatiannya dari Mika. Benar kata teman-teman sekelasnya, Mika sangat cantik! Deril mau-mau saja kalau harus membuang waktu untuk menatap wajah Mika.
"Siapa, Kak?"
'Aaargh! Pengganggu datang!'
Dokter Stephen dan Mika menoleh ke arah tangga. Diana berdiri tegap di tempatnya ketika melihat sosok Mika.
"Hai!" Diana tampak antusias. "Jangan-jangan ini Kak Mika, ya?"
"Kok bisa tahu?" tanya Deril.
Mata Diana berputar. "Astagaaa! Semua orang membicarakan gadis bernama Mika waktu aku bilang tinggal di sini. Masa ada lagi, yang lebih cantik daripada ini?" sahut Diana ketus. Diana ikut bergabung bersama mereka. Tidak kalah tertariknya dengan Mika, Diana secara terang-terangan menunjukkannya.
"Kak Mika umur berapa?"
"Masih lima belas tahun."
"Nggak jauh beda sama aku," timpal Diana. "Lain kali nginap di sini, ya!"
Mika melirik pada Dokter Stephen yang tersenyum saja. "Aku nggak suka menginap."
Diana manyun mendengar jawaban Mika.
"Nggak semua orang suka heboh kayak kamu waktu mau tidur," celetuk Deril.
"Itu namanya mengakrabkan diri!" bela Diana. "Daripada Kakak, nggak pernah bawa temen pulang ke rumah," ejeknya.
Deril baru akan mendebat, ketika deru suara mobil memasuki halaman rumahnya. Deril mendongak ke luar jendela, mendapati mobil minivan ayahnya telah datang. Serena di bangku kemudi, berusaha secermat mungkin dalam memarkir kendaraannya. Dia tidak mau suaminya mendapati mobil itu terparkir tidak rapi di garasi rumah.
"Ibu datang!" Diana melompat dari sofanya, berlari kecil ke luar dari pintu depan dan menyambut Serena.
"Saya bantu Ibu bawa barang belanjaan dulu. Silakan diminum tehnya," pamit Deril. Dia mengikuti jejak Diana untuk membantu Serena.
"Wah, siapa ini yang datang?" sapa Serena ketika masuk ke dalam rumah. Di belakangnya ada Diana dan Deril mengikuti dengan masing-masing membawa dua kantong belanjaan di tangan mereka.
"Selamat siang, Bu Serena!" Dokter Stephen bangun dari duduknya, begitu pun Mika. "Maaf baru bisa menyapa sekarang. Jadwal di rumah sakit belakangan sangat padat."
"Salam kenal, Dok!" Serena mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh Dokter Stephen. "Beruntung sekali ada tenaga medis yang tinggal di dekat rumah saya. Ah, bukan berarti saya mau ada yang sakit!"
"Hahahaha! Banyak orang yang bilang kalau mereka beruntung ada dokter di kompleks ini!" sambung Dokter Stephen. Dia tampak bangga dengan identitasnya.
"Gadis kecil ini, apakah anak Anda?" tanya Serena, berpaling pada Mika. Binar mata Serena tampak berbeda ketika melihat Mika. Siapa, sih, yang tidak mau punya menantu seperti Mika.
"Saya Mika," Mika mengulurkan tangan. Senyum manis Mika telah menghipnotis Serena, sampai-sampai Serena hanya bengong saat melihatnya.
"Apa anak saya secantik itu?" Dokter Stephen menyela.
"Ini pertama kalinya saya melihat anak perempuan secantik Mika," puji Serena dengan jujur.
Dagu Dokter Stephen sampai terangkat karena pujian bertubi-tubi yang dia dapatkan. "Andai istri saya masih ada di dunia ini, pastinya dia akan senang dengan semua pujian kalian."
***
(Hai, Sobat ^^
Terima kasih karena sudah setia menunggu dan mendukung novel ini.
Semoga sabar kalian amat sangat panjang dalam menunggu update novel saya ^^
Maaf karena proses lama.
Salam hangat ^^)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments