Deril melihat ayahnya yang sedang mendapatkan penanganan dari tenaga medis di rumah sakit yang tadi sore dia datangi. Alex terkulai lemah dengan wajah pucat pasi. Bercak darah mengering di dadanya.
Serena menarik lengan Deril. Dia gemetaran. Jika tidak ada Deril di sebelahnya, dia pasti sudah pingsan saat ini.
"Bu, tenanglah," pinta Deril.
Serena mulai menangis. Air mata yang sedari tadi dia tahan, akhirnya tumpah membasahi pipi kurusnya. Deril merasa pusing. Ini pertama kalinya dia melihat ibunya sesedih itu. Deril meraba kantong celananya. Ternyata dia tidak membawa apapun ke rumah sakit.
"Bu, aku harus kembali ke rumah. Aku akan ambil semua keperluan. Sekalian registrasi."
"Ah! Diana!" Serena bangkit dari duduknya. Dia tersadar sudah meninggalkan anak gadisnya sendirian di rumah.
Deril menepuk lengan ibunya. "Biar aku yang periksa. Ibu tenanglah dan temani Ayah di sini. Aku akan kembali secepat mungkin," ujar Deril. Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Deril langsung menuju front office untuk mendaftarkan ayahnya sekaligus memesan taxi.
'Ada yang tidak beres. Ayah tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ayah juga tidak pernah cerita apapun. Jadi, tidak mungkin batuk darah itu karena sakit. Ayah orang yang paling sehat di antara kami. Pasti ada sesuatu yang membuat Ayah sampai seperti sekarang,' pikir Deril.
Langkahnya terhenti sejenak, ketika dia memikirkan wajah Dokter Stephen beberapa waktu lalu. 'Dia aneh,' batin Deril lagi. Deril berjalan lebih cepat menuju front office.
"Saya mau mendaftarkan ayah saya," ujarnya sebelum benar-benar sampai di depan meja front office. Seorang laki-laki yang tadinya terkantuk-kantuk duduk di belakang meja, sampai terlonjak kaget dengan kehadiran Deril.
"Oh, baik, baik!" jawab petugas sambil mengambil selembar kertas pendaftaran. "Silakan diisi dulu!"
Deril meraih pulpen dan menulis dengan cepat. "Apa bisa pesankan saya taxi sekarang?" tanyanya sambil menulis.
Petugas front office tampak sedikit bingung dengan tingkah Deril, namun tetap membantu Deril untuk memanggil taxi. "Sekitar lima menit lagi, taxi akan tiba," lapor petugas itu.
Deril menyerahkan formulir pendaftaran pada petugas front office. "Ayah saya sedang ditangani di UGD. Ada ibu saya di sana, yang pakai jaket hitam. Saya akan pulang sebentar, nanti saya kembali lagi. Jika ada apa-apa, nomor ini adalah nomor saya," jelas Deril, seraya menunjuk nomor teleponnya.
"Baik, terima kasih," jawab si petugas.
***
Mobil taxi berbelok menuju perumahan Deril. Hujan gerimis menerpa. Udara menjadi semakin dingin. Lampu-lampu jalan bersinar redup. Tidak ada siapapun di jalanan. "Sebelah kiri, Pak! Rumah pagar hijau," kata Deril pada sopir taxi. Namun, matanya tertuju pada rumah Dokter Stephen.
Tidak ada siapapun di depan rumah itu. Tidak seperti tadi, Dokter Stephen tidak ada di depan rumahnya sambil memamerkan senyuman mencurigakan. Deril memutuskan untuk tidak memikirkan arti senyuman Dokter Stephen saat ini. Ada hal yang lebih mendesak.
"Diana!" seru Deril begitu pintu rumah terbuka. Sama seperti saat dia meninggalkan rumah, hanya lampu dapur yang menyala. Jejak darah Alex masih ada di sana, membasahi lantai dapur. Hanya saja, darah itu sudah mengering sekarang.
Deril naik ke lantai dua karena Diana tidak menjawab panggilannya. Mungkin Diana tidak terganggu dengan suara ribut di lantai bawah tadi, atau tidak mendengar deru mesin mobil yang menyala. "Diana?" panggil Deril sekali lagi setibanya dia di depan pintu kamar Diana. "Diana?"
Tetap tidak ada jawaban.
Tok! Tok! Tok!
"Diana!"
Keheningan menjawab panggilan Deril. Deril menempelkan telinganya di pintu kamar Diana. Dia sama sekali tidak mendengar adanya suara dari dalam kamar. Deril menghela nafas panjang. Diana biasa memakai headset jika sedang tidur. Pernah suatu waktu, dia tidak bangun bahkan saat ada gempa.
Deril berlari ke kamarnya. Dia memasukkan apa saja yang menurutnya penting ke dalam ransel. Tidak lupa dengan obat penurun demam yang batal dia minum. Deril melepas bajunya. Keringat yang diserap baju itu sudah kering sepenuhnya. Dia mengambil baju baru dan juga memasukkan satu baju tambahan di ranselnya.
Langkahnya berlanjut ke kamar orangtuanya. Pintu kamar itu masih terbuka. Selimut Serena menjuntai ke lantai. Deril melipat asal selimut itu. Dia merasa kasihan pada ibunya. Deril pergi ke meja rias yang ada di dekat jendela. Tangannya membuka laci pertama. Kartu-kartu penting orangtuanya ada di sana. Dia memasukkan semuanya ke dalam ransel. Tidak lupa dia memasukkan handphone Serena juga.
Setelah dirasa semua hal penting sudah dia bawa, Deril kembali ke depan kamar adiknya. Masih tidak ada suara apapun terdengar dari dalamnya. "Diana!" Deril agak meninggikan nada suaranya. "Hei, bangun! Aku mau ke rumah sakit! Kamu tidur atau mati, sih!?" Deril sebal sendiri.
DOK! DOK! DOK!
Deril menggedor pintu kamar Diana dengan keras. Dia memutuskan untuk mencoba memutar kenop pintu, walau besar kemungkinan pintu itu terkunci dari dalam. "Woi! Diana! Kamu nggak de--"
Tempat tidur Diana kosong.
Deril mengedarkan pandangan ke segala sudut. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Diana di mana pun. Deril berjalan cepat menuju kamar mandi yang lampunya tidak menyala. "Diana?" panggilnya untuk kesekian kalinya.
Tidak ada jawaban.
Tangannya meraih gagang pintu dan daun pintunya mengayun terbuka begitu saja. Sama dengan kamar Diana yang kosong, tidak ada apapun yang bisa ditemukan di sana. Deril mengambil handphone-nya untuk mengubungi Diana. Tidak lama kemudian, dering handphone Diana terdengar dari arah tempat tidur.
"Ke mana anak itu?" gumam Deril. Dia berjalan ke arah tempat tidur. Tangannya merasakan bahwa tempat tidur itu masih hangat. Diana ada di sana beberapa saat lalu. "Diana!" Deril masih mencoba memanggil adiknya.
Dia menyusuri anak tangga, mencoba mencari adiknya di lantai satu. Namun, tidak ada yang berubah dari semenjak dia meninggalkan lantai itu beberapa saat lalu. Deril hampir tidak punya ide, ke mana adiknya pergi malam-malam begini.
Sampai, hembusan angin dingin menyapa wajahnya. Deril menoleh cepat, mendapati pintu belakang sedikit terbuka. Deril berjalan cepat menghampiri pintu belakang. Dia tidak ingat kalau pintu ini terbuka. Pastinya tidak ada yang membiarkan pintu belakang terbuka. Alex juga tidak mungkin masuk lewat pintu belakang.
Deril menelan ludah dengan susah payah. Hal pertama yang terlintas di kepalanya adalah adanya pencuri. Tapi, di dalam rumah tua seperti ini, tidak banyak barang berharga yang tersisa. Serena juga tidak mempunyai banyak perhiasan dan kamar orangtuanya tidak berantakan seperti habis dimasuki pencuri.
Kepala Deril mendongak ke luar. Gerimis masih membasahi bumi. Wangi udara malam saat itu begitu segar. Kemudian, hidung Deril menangkap bau tanah yang tidak biasa. Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber bau. Di tengah kegelapan malam, matanya memicing melihat sebuah gundukan tanah di sudut halaman belakangnya. Tidak ada gundukan tanah sebelumnya di sana.
Deril berlari menuju gundukan itu. Betapa kagetnya dia, ketika mendapati sebuah jari menyembul dari sisi gundukan. Dia mundur beberapa langkah. Otaknya membeku. Detik berikutnya, dorongan kuat untuk menggali gundukan tanah itu muncul di dalam dirinya.
"Bukan Diana, kan?" suara Deril bergetar. Dengan tangan kosong, Deril mulai mengais tanah itu secepat yang dia bisa.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
wulanzahira
udah curiga q ama dokter stephen jangan2 dia dibalik smua kejadian...
2023-04-11
1