Kecurigaan

Pikiran Deril tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang Bayu katakan. Meski sudah lewat hampir seminggu, dugaan-dugaan negatif terus saja muncul.

Yah... Memang lebih gampang untuk berpikiran negatif daripada berpikiran positif, kan?

Deril sedang duduk di depan meja belajarnya yang ada di dekat jendela kamar. Matanya mengarah pada jendela lantai dua rumah Dokter Stephen. Jendela itu belum tertutup tirai, walau matahari sudah tenggelam beberapa menit lalu. Lampu rumah itu tampak temaram. Meski jendela mereka hanya berjarak lima meter, Deril tidak bisa melihat dengan jelas ke dalamnya.

"Seminggu..." gumam Deril sambil memainkan pulpen dengan jari-jari tangannya.

Sudah hampir seminggu dia tidak melihat Mika. Padahal, dia ingin menawarkan untuk melukis bersama di akhir pekan ini. Tapi, dia berakhir menghabiskan waktu senggangnya di loteng, sendirian. Deril meregangkan tubuhnya. Dia menguap lebar. Rasa kantuk menyerang, tapi dia tidak boleh tidur di jam segini, jika tidak mau menghabiskan malam hari dengan mata terbuka lebar.

Di saat bersamaan ketika dia menguap, sebuah siluet yang dia kenal tiba-tiba saja muncul dari balik jendela lantai dua rumah Dokter Stephen yang tirainya tidak tertutup. Deril cepat-cepat menutup mulutnya.

"Mika!" Deril langsung duduk tegap, sadar dengan siapa yang muncul.

Ekspresi Mika tidak berubah ketika mereka bertukar pandang, tampaknya tidak kaget saat melihat Deril dari jendela rumah sebelah. Tangan Mika terjulur ke arah tirai, hendak menutupnya. Namun, sebelum tirai tertutup sempurna, Mika membuka mulutnya dan mengucapkan sesuatu tanpa suara.

Hanya sedetik.

Dan itu berlangsung cepat.

Deril sempat bengong, tidak berani berkedip, seakan kilasan kejadian itu akan menghilang begitu saja jika dia mengerjap. Untuk beberapa detik, Deril hanya diam dengan pandangan terpancang pada jendela di seberangnya.

"Apa?" gumam Deril.

Kepalanya mencoba mereka ulang apa yang baru saja terjadi. Mulut Mika sudah pasti bergerak. Namun, apa yang ingin dia katakan?

"Kak!"

Pintu kamar tiba-tiba menjeblak terbuka, membuat Deril kembali sadar. Diana masuk berhambur sambil memeluk beberapa buku pelajarannya.

"Ketok pintu dulu!" Deril memperingatkan.

Diana meletakkan buku-buku itu di depan Deril, acuh saja dengan kakaknya yang merasa tidak nyaman. Dia mengangkat wajahnya dengan mata memelas. "Tolong ajari aku!"

Deril terkesiap. Matanya membulat sempurna, seakan mendapatkan jawaban dari soal paling sulit sedunia. Gerakan mulut Diana sama persis dengan gerakan mulut Mika beberapa detik lalu. "Coba bilang lagi!" pintanya pada Diana.

"Bilang apa?"

"Yang tadi kamu bilang!" desak Deril.

Alis Diana berkerut, tapi dia mengikuti permintaan Deril. "Tolong a--"

"Ulang! Ulang!" Deril mendekatkan wajahnya pada Diana.

"Apa, sih!"

"Coba bilang 'tolong' pelan-pelan!"

Diana menghembuskan nafas keras. "Toooolooonnggg..." jawabnya lambat-lambat.

Deril bangkit dari duduknya. Dia kaget sendiri dengan apa yang dia sadari. "Kamu belajar sendiri, ya! Kakak ada kerjaan!" kata Deril sebelum berlari meninggalkan Diana.

Dia berlari ke arah pintu belakang. Sebisa mungkin, Deril tidak membuat suara. Dia tidak mau ditanya macam-macam oleh Serena yang tengah menonton televisi di dapur. 'Jelas tadi Mika bilang 'tolong,' batinnya sambil membuka pintu belakang rumahnya. Dia melirik ke arah rumah Dokter Stephen. Ada dua kamera CCTV di halaman belakang rumahnya. Dia tidak akan bisa menyelinap lewat pintu belakang.

Seingat Deril, mobil Dokter Stephen tidak ada di depan rumahnya. Dokter Stephen memang tidak memiliki waktu pasti untuk pulang ke rumah.

"Jangan-jangan ada pencuri yang masuk!"

Deril berpikir lagi.

"Tapi, kenapa Mika biasa saja? Dia bahkan menutup tirai. Kalau benar ada pencuri, dia pasti akan menyelinap ke luar rumah atau teriak minta tolong, kan? Kenapa harus bisik-bisik?"

Deril mengambil gunting rumput, memutuskan untuk berpura-pura menggunting rumput, meski sekarang sudah terlalu malam untuk melakukan hal itu. Deril ingin mencari celah di mana CCTV tidak akan menangkap gambar dirinya, sampai dia bisa pergi ke rumah Dokter Stephen.

Sampailah Deril pada pagar kayu yang ternyata rusak di bagian bawahnya, namun tidak begitu terlihat karena tertutup tanaman. Deril bersyukur Serena belum menjamah bagian itu, jadi pagar kayu yang lapuk belum sempat diperbaiki. Deril mencoba menyusupkan kepalanya melewati pagar kayu. Dia mendongak dan mencari-cari CCTV.

'Aman!' batinnya.

Deril bergerak perlahan, berusaha tidak berisik ketika badannya menggesek daun-daun kering di tanah. Dia memastikan sekali lagi bahwa sekelilingnya aman, kemudian mengendap-endap mendekati jendela. Seakan keberuntungan berpihak padanya, tirai jendela itu tidak tertutup sempurna. Secepat yang dia bisa, Deril meneliti rumah itu.

"Mika!" Matanya menangkap keberadaan Mika. Gadis itu tengah duduk di sebuah sofa berukuran besar. Rambut hitamnya tergerai di bahu kanannya. Dia memakai dress tidur tipis dengan bahu terbuka. Wajah Mika tidak begitu terlihat karena jarak mereka lumayan jauh. Tapi, Deril sangat yakin bahwa gadis itu adalah Mika.

Deril mencoba membuka jendela di depannya. Ternyata, jendela itu terkunci rapat. Deril melihat kembali ke dalam rumah, mencoba mencari celah untuk masuk. "Rumah sebesar ini, pasti ada jalan la--" Deril berhenti bicara. Dia shock dengan apa yang dia lihat. Seorang laki-laki bertubuh tambun tiba-tiba saja muncul dan berdiri di depan Mika. Hal yang lebih mengerikannya adalah laki-laki itu tidak mengenakan sehelai benangpun di tubuhnya. Dia meraih kepala Mika dan mendekatkannya ke bagian tubuh bawah.

Deril langsung merasakan rasa mual yang luar biasa. Dia menahan diri untuk tidak muntah, ketika laki-laki tambun itu menggerakkan kepala Mika ke depan dan belakang. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Mika dilepas hanya dalam hitungan detik. Deril melihat Mika mengusap bibirnya yang basah.

"TELAN!" tiba-tiba laki-laki itu berseru.

Mika menutup mulutnya. Kemudian, laki-laki itu membelai rambut Mika dengan lembut. Detik berikutnya, laki-laki itu berjongkok di depan Mika. Dia mengangkat kaki Mika tinggi-tinggi dan menyingkap dress Mika. Kepalanya masuk begitu saja ke dalam dress. Mika berusaha menjauhkan kepala laki-laki itu, namun usahanya sia-sia karena Mika bertubuh kurus. Bahkan, tulang Mika bisa saja patah jika laki-laki itu menekannya sedikit lebih keras lagi.

"Nggak masuk akal!" Rasa marah menyelimuti dirinya. Deril tahu bahwa Mika lebih muda setahun darinya, dan adegan dewasa seperti itu tidak pantas dilakukan, apalagi dengan pria yang bahkan lebih tua dari ayahnya sendiri. Tanpa berpikir panjang, Deril berlari ke arah pintu depan untuk mendobrak pintu rumah Dokter Stephen.

BRUG!

Deril terlempar ke belakang ketika berbelok dan menabrak sesuatu. Kepalanya berdenyut karena membentur tanah.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Suara bariton yang pernah Deril dengar sebelumnya, membuat Deril buru-buru bangkit dari jatuhnya. Deril merasa lega ketika melihat Dokter Stephen berdiri di hadapannya.

"Dok! Tolong Mika!" pinta Deril.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!