Bukti yang Menguap

Dokter Stephen memandang Deril dengan wajah penuh amarah. Kesan baik hati dan ramah yang selama ini dirasa oleh Deril, menghilang begitu saja. Laki-laki jangkung yang kini berdiri di hadapannya terlihat sangat menyeramkan.

"Ada apa dengan Mika?"

Bukannya langsung masuk ke dalam rumah, Dokter Stephen malah menyelidiki Deril yang masuk pekarangannya tanpa izin.

"Ada orang di dalam!" jawab Deril sengit. Dia tidak percaya bahwa Dokter Stephen malah menanyainya ketimbang memastikan keselamatan anak gadisnya.

"Mika di dalam."

Deril emosi sendiri. Dia sudah hampir menyelinap masuk, kalau saja dia tidak bisa menahan diri. "Mika di dalam dengan seorang laki-laki! Mereka--" Deril menelan ludah dengan susah payah.

"Mereka apa?"

"Dokter masuk saja!" cicit Deril. "Dokter masuk sekarang dan pastikan sendiri apa Mika baik-baik saja!" Deril pastinya sudah putus asa, sampai tidak khawatir saat membentak orang yang lebih tua darinya seperti sekarang ini.

Dokter Stephen menghela nafas panjang. Tanpa mendebat lagi, dia berbalik dan pergi menuju pintu depan. Deril mengekor dengan tidak sabar. Dokter Stephen membuka pintu depan rumahnya dengan sensor sidik jari. Bagi Deril, itu bukan hal yang lumrah di tempat seperti ini. Tapi, berhubung mereka adalah keluarga kaya raya, tentu saja kecanggihan itu cocok dengan mereka.

"Boleh saya masuk?"

Dokter Stephen melirik sinis. Sangat terlihat dia keberatan dengan tingkah Deril. "Kamu sebegitu inginnya memastikan Mika baik-baik saja?"

"Ya!" Deril menjawab mantap. "Saya menyaksikan sendiri bahwa ada orang yang sedang bersama Mika dan mereka--" Deril tidak menyelesaikan kalimatnya, meski emosinya sedang menggebu-gebu.

Kening Dokter Stephen berkerut. "Mereka apa?" tanyanya lagi.

Deril menggigit bibirnya. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa Mika tengah diruda paksa oleh seseorang. "Dok, kita masuk saja dulu!" kilah Deril. Dengan semua keributan yang dia buat, ditambah Dokter Stephen mengulur waktu, bisa saja laki-laki tambun itu sudah kabur.

Dokter Stephen akhirnya memutar kenop pintu dan menariknya hingga terbuka lebar. Beliau masuk lebih dulu, lalu Deril mengikuti di belakangnya. Mata Deril langsung menyapu ruang tamu Dokter Stephen. Tidak ada sofa besar yang Deril lihat lewat jendela tadi. Artinya, kejadiannya bukan di sana.

"Silakan kalau kamu mau memeriksa," Dokter Stephen tampak lebih tenang dari yang Deril bayangkan. Padahal, yang Deril tahu, Dokter Stephen sangat sayang pada Mika, bahkan bisa dikatakan sedikit berlebihan. Tapi, reaksinya saat ini di luar dugaan, seolah yakin tidak ada hal buruk yang terjadi di dalam rumahnya.

Karena mendapatkan izin dari si empunya rumah, Deril berjalan lebih masuk ke dalam. Dia menoleh ke kanan dan kiri ruangan. Deril bisa melihat ada banyak sekali kamera CCTV di setiap sudut ruangan, seolah Dokter Stephen ingin memantau setiap gerak-gerik orang yang ada di dalam rumahnya.

"Ada apa, Pa?"

Suara kecil dan lembut itu, terdengar dari puncak tangga. Ketika Deril mendongak, Muka berdiri di sana. Mata Deril membelalak kaget saat melihat Mika telah berganti pakaian. Saat ini, dia memakai kaos oblong merah jambu berpadu dengan celana jeans yang memamerkan kulit paha putihnya.

"Deril mengira kamu ada dalam bahaya," jawab Dokter Stephen dengan nada tenang.

"A-aku jelas tadi lihat kamu sama orang di sini," sahut Deril cepat. "Kamu nggak apa-apa?"

Mika menggeleng, namun tidak menjawab. Hal itu membuat Deril sedikit curiga. Namun, tatapan mata Mika yang tidak berkedip, membuat Deril memilih untuk bungkam.

"Kenapa kamu nggak pernah kelihatan di luar rumah?" selidik Deril. Dia memang tidak melihat Mika hampir seminggu lamanya. Mungkin lebih.

"Aku sakit," jawab Mika singkat.

"Anakku gampang sakit," Dokter Stephen menambahkan. "Kamu lihat sendiri, dia kurus begitu. Makanya aku tidak izinkan dia pergi ke mana-mana. Tidak semua orang tahu bagaimana menangani orang sakit, kan?"

Deril memandang Mika lurus-lurus. Perasaannya tidak enak. Tetapi, Mika tidak bereaksi dan hanya berdiri di puncak tangga.

"Dokter," Deril membuka mulutnya. "Ayo kita lihat rekaman CCTV! Saya lihat, ada banyak kamera di rumah ini," pinta Deril.

"Kamu melewati batas!" tiba-tiba Dokter Stephen marah. "Mika sendiri tidak apa-apa! Kamu bisa melihatnya dengan kedua matamu! Apa kamu pikir, Mika berbohong!? Ini rumahku! Jangan seenaknya ikut campur!"

"Papa..." Mika memanggil dari atas.

Dokter Stephen mendongak dengan wajah memerah. Jelas dia sedang marah. Beberapa detik kemudian, Dokter Stephen menghela nafas panjang. "Maaf, aku terbawa emosi," ujarnya.

"Deril, kamu pulang saja," kata Mika.

Deril sempat merasa kecewa karena Mika memintanya pergi. Padahal, dia melewati semua kekacauan ini, karena dia yakin bahwa Mika membutuhkan pertolongannya. Dia juga tidak rabun, dan pastinya semua yang dia saksikan bukanlah sebuah halusinasi.

"Maaf, saya mengganggu," Deril menunduk pada Dokter Stephen. Kemudian, tanpa melihat Mika lagi, Deril berlalu pergi. Dia berjalan cepat melewati halaman depan rumah Dokter Stephen yang cukup luas. Anehnya, kebanyakan tanaman itu ternyata palsu. Hanya dua pohon besar yang benar-benar tumbuh di sana. "Tidak aneh. Makanya tidak ada tukang kebun yang aku lihat, padahal banyak sekali tanaman tumbuh dengan indah. Ternyata palsu," gumam Deril.

Dia kembali ke rumah dengan tampang masam. Serena yang melihat anaknya tiba-tiba masuk dari pintu depan, menjadi bingung. "Kapan kamu keluar?" tanya Serena.

Deril baru sadar, seharusnya dia juga kembali diam-diam saat ini. "Baru saja."

"Ibu tidak lihat kamu lewat," jawab Serena. "Ada perlu apa ke luar?"

"Cuma buang sampah," Deril menjawab asal.

Serena menoleh sekilas ke arah kalender. "Jangan mengeluarkan sampah sembarangan. Ingat pilah sampahmu sebelum di bawa ke luar! Kalau kamu bingung, Ibu sudah tulis jadwal pembuangan sampah di kalender."

"Iya, Bu. Aku masuk dulu," Deril buru-buru pamit. Tanpa menunggu jawaban dari Serena, dia segera melesat ke arah tangga. Deril bisa menganggap dirinya masih beruntung, karena Serena tidak menyadari bajunya yang kotor karena tanah.

Deril kembali berdiri di depan jendela kamarnya. Dia tidak yakin, apakah jendela yang menghadap ke rumah perempuan paling cantik di sini, adalah sebuah keberuntungan atau malah membawa petaka. Satu hal yang pasti, Dokter Stephen jelas sudah melabelinya dengan remaja kurang ajar yang suka memeriksa rumah dengan bukti yang tidak jelas.

"Aaaarrgh!" Deril mengacak-acak rambutnya. "Ini sama saja dengan tiket menuju penolakan lebih cepat, kan? Padahal aku berniat mengajak Mika melukis bersama sekalian pendekatan. Tapi, aku malah buat ribut begini."

BRUG!

Deril menghempaskan dirinya di atas tempat tidur. Dia merasa sangat lelah. Dia memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.

"Ada apa, ya? Aku yakin, Mika nggak akan salah ngomong di saat seperti itu. Apa aku yang salah menafsirkan, ya?" ujarnya pada diri sendiri.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!