Balas Dendam

Rasa marah dan jijik bercampur aduk menjadi satu di dalam diri Deril. Matanya terpancang tidak berkedip, memandang Dokter Rendi yang masih bicara dengan Serena. Dia yakin. Matanya tidak akan membohonginya. Dokter Rendi adalah orang yang pernah bersama Mika.

Tangan Deril mengepal setiap kali melihat senyuman terulas di wajah Dokter Rendi. Dia ingin melayangkan banyak pukulan ke wajah menyebalkan itu. Bukan karena cemburu, lebih karena amarah yang hampir meledak di dalam dadanya.

'Melakukan hal itu dengan anak di bawah umur...' batin Deril berkali-kali di dalam dirinya.

"Terima kasih, Dok!" Serena sedikit membungkuk ketika mengatakannya, sebelum akhirnya Dokter Rendi beranjak pergi. Serena berbalik pada Deril. "Kamu kenapa, Nak? Tegang sekali sejak tadi," tanya Serena, yang ternyata menyadari perilaku aneh Deril.

"Nggak ada apa-apa, Bu," dusta Deril. Rahangnya mengeras seiring dengan menjauhnya Dokter Rendi dari tempat tidurnya.

Alis Serena terangkat. Jelas bahwa dia tahu kalau anaknya sedang berbohong. Ibu mana yang tidak tahu kalau anaknya sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, Serena tidak mau melewati batas. Dia tidak mau melukai harga diri Deril sebagai laki-laki. Serena memilih untuk mundur.

"Kita pulang sekarang?" tanya Serena.

Deril mengangguk sekali. Masih sulit baginya untuk meredakan amarah di dalam dirinya. Jika dia mengeluarkan suara sedikit saja, pasti itu akan menjadi nada tinggi.

Serena menepuk pundak Deril beberapa kali, berharap sebagian ketegaran dirinya terbagi pada putranya. Sebenarnya, Serena tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu Deril. Bukan hanya masalah pubertas. Bagi Serena, sebelum anaknya sendiri yang membuka mulut, dia akan diam saja sambil mengamati dari belakang. "Ibu akan ambil obat dulu. Kamu tunggu di sini, ya!" ujar Serena, lalu pergi meninggalkan Deril.

Deril menyibak rambutnya ke belakang sambil menghembuskan nafas panjang. Emosinya membuat tenaganya terkuras habis. Demamnya memang sudah turun, tapi kepalanya masih terasa berputar. Kalau saja dia diminta untuk berjalan sekarang, dia pasti akan semaput.

***

Deril merebahkan dirinya sesampainya mereka di rumah. Dia menyandarkan kepalanya yang terasa berat ke sandaran kursi ruang tamu. Sofa itu terasa empuk dan nyaman saat ini. Sebenarnya, dia ingin sekali ke kamarnya untuk membersihkan diri.

"Kamu mau Ibu mandikan?" tawar Serena.

Deril tertawa kecil. "Bisa-bisa Ibu pingsan," sahutnya.

Serena ikut tertawa kecil. "Benar juga. Anak Ibu sudah sebesar ini sekarang. Apa sudah bisa mencuri hati Mika?"

"Uhuk! Uhuk!" Deril tersedak ludahnya sendiri. Dia sampai duduk tegak karena ibunya itu tiba-tiba mengubah topik pembicaraan. "Ibu, bisa berhenti membicarakan Mika?" pinta Deril.

"Kamu sudah ditolak?"

"Kapan aku bilang kalau aku suka dia!?" cicit Deril dengan wajah merah padam.

"Jadi, kamu nggak suka sama dia?"

"Bukan nggak suka!"

Serena tersenyum menang. "Apa Ibu harus mengundang Mika untuk makan malam?"

Deril menghela nafas lagi. "Ibu pikir, Dokter Stephen akan memberinya izin?"

"Ibu lumayan dekat dengan Dokter Stephen," aku Serena. "Dia ramah untuk ukuran dokter spesialis yang kaya raya."

Deril sanksi dengan perkataan ibunya. Menurutnya, Dokter Stephen bukanlah orang ramah seperti yang orang-orang katakan. Deril merebahkan dirinya kembali. Pikirannya melayang pada Mika. Wajah cantik nan rupawan gadis itu, tidak mau hilang sejak pertemuan pertama mereka.

TING! TONG!

Serena mendongak dari minibar untuk melihat ke luar jendela. "Oh! Mika datang!"

Deril langsung bangkit dari duduknya. "Mika?"

Serena mengangguk sambil tersenyum simpul. "Bukakan pintunya!"

Kaki Deril bergerak begitu saja ke arah pintu depan, lalu membuka pintu dengan cepat. Jantungnya sudah hampir meledak karena terlalu bersemangat. "Ha-halo!" sapa Deril sembari mengangkat satu tangan dengan canggung.

Mika mengangguk pelan, lalu menyodorkan sebuah kotak makan pada Deril. "Dari Papa."

"Apa ini?" tanya Deril, tapi tetap menerima pemberian Mika.

"Daging ayam. Digoreng. Enak."

Alis Deril terangkat ketika mendengar jawaban Mika. Dia terdengar aneh waktu menjawab. Seingat Deril, mereka memang tidak banyak berbicang.

"Duuuh, anak ini! Kenapa tamu dibiarkan berdiri di luar?" Serena datang menghampiri. "Ayo, Nak Mika! Masuk dulu! Tante sudah buatkan teh."

Mika tidak langsung bergerak dari tempatnya. Dia sempat melirik ke arah rumahnya untuk sekian detik. Deril ikut melirik. Ternyata Dokter Stephen berdiri di belakang salah satu jendela lantai satu. Deril ganti melirik ibunya. Rupanya Serena tidak menyadari hal itu.

"Masuk aja," ulang Deril.

Akhirnya Mika mengangguk. Serena berbalik duluan untuk kembali ke dapur, sementara Deril bergerak menyingkir dari pintu depan, membiarkan Mika melewatinya dan duduk di ruang tamu.

Deril duduk agak jauh dari Mika. Dia tidak mau kalau Mika sampai mencium bau keringat dari seragamnya yang mulai mengering. Namun, jika Deril mengganti bajunya sekarang, itu akan terkesan bahwa dia terlalu mencari perhatian.

"Silakan!" Serena menyodorkan secangkir teh hangat pada Mika. "Deril, kamu mau peluk kotak makan itu berapa lama? Sampai isinya dingin?"

"Oh! Iya!" Deril buru-buru berlari ke dapur dan mengambil kotak makanan lain untuk mengganti kotak makan yang Mika bawa.

"Tumben sekali Tante lihat Mika keluar rumah. Ke sini buat nengok Deril, ya?" Serena memulai percakapan.

"Iya. Tadi Deril pingsan."

"Iya, iya. Tante sudah dengar dari ayah kamu. Kalian juga yang bawa Deril ke rumah sakit, kan? Terima kasih banyak, ya, Mika," kata Serena bersungguh-sungguh. "Besok, Tante akan mampir ke rumah untuk berterima kasih sama ayah kamu. Hari ini, Tante mau fokus mengurus Deril dulu. Tapi, sepertinya Deril sudah lebih sehat dibandingkan sebelumnya karena kamu datang."

"Ibu, jangan ngomong yang aneh-aneh!" seru Deril, sebal melihat Serena bicara semaunya ketika ada celah. Dia buru-buru menyelesaikan pekerjaanya di dapur, hingga salah satu ayam terjatuh dari kotak makan. Deril berjongkok untuk mengambilnya. Sebenarnya merasa sayang kalau harus membuang ayam goreng itu. Warna keemasannya bahkan luar biasa sempurna, hingga membuat perutnya berbunyi.

'Hhh, ini nggak bisa dimakan lagi,' batin Deril. Dia mengintip dari balik minibar, memastikan Serena ataupun Mika tidak sedang memperhatikannya. Deril cepat-cepat membuang ayam itu setelah memastikan keadaan aman. Lalu, dia meletakkan ayam goreng di tempat ibunya biasa meletakkan makanan.

***

Deril terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debam keras disertai batuk-batuk yang tidak berhenti. Deril memegang kepalanya. Demam kembali menyerang. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi.

"Siapa yang batuk-batuk jam segini?" gerutu Deril, sembari bangkit dari tempat tidurnya. Deril meraih tablet penurun panas yang diletakkan Serena di atas meja belajar, hendak meminum dua tablet. Sayangnya, air di dalam gelas sudah habis.

"Kebetulan," gumam Deril. Dia harus pergi ke dapur untuk mengambil air, sekalian saja dia melihat siapa yang sedang batuk-batuk. Mungkin salah satu keluarganya juga terserang demam.

Deril menuruni tangga, menuju lantai satu. Keadaan saat itu lumayan gelap. Penerangan hanyalah berasal dari lampu taman. Bahkan, cahayanya tidak masuk sepenuhnya karena terhalang tirai. Deril meraba dinding saat mencapai dasar tangga, mencari saklar lampu. Tidak baik jika dia berjalan dalam keadaan gelap, apalagi kepalanya pusing sekali.

"Uhuk! Huk! Huk!"

Suara batuk itu semakin terdengar. Deril yakin kalau suara itu berasal dari dapur. Dia berjalan cepat menuju sumber suara. "Ayah!" jerit Deril, waktu mendapati Alex tersungkur di lantai dapur dengan darah di lantai dan juga bajunya. "Ayah! Ada apa!?" Deril semakin panik.

Wajah Alex tampak pucat pasi ketika terangkat. Darah ada di mana-mana. Tatapan matanya kosong, seakan sedang mati-matian menahan sakit. Hanya batuk yang keluar dari mulut Alex. Setiap kali dia berusaha bicara, batuknya semakin keras dan darah semakin banyak yang keluar.

"Tunggu! Tunggu sebentar, Ayah!" Deril bangkit dan berlari ke kamar orangtuanya di lantai dua. "BU!" Deril membuka pintu tanpa permisi. "IBU! AYAH DI DAPUR! CEPAT!"

"Ada apa?" Serena yang masih setengah sadar menyibak rambutnya ke belakang. Karena Deril sudah menghilang dari ambang pintu, Serena turun dari tempat tidurnya. Dia terjatuh sekali ke lantai karena belum sadar sepenuhnya. "Deril?" panggil Serena saat menuruni tangga. Dia melihat sekelebat bayangan di dapur, jadi Serena ikut menghampiri dapur.

Deril menghampiri tepat  sebelum Serena berhasil melihat Alex di dapur. "Bu! Ini kunci mobil! Cepat keluarkan mobil!" Deril menyerahkan kunci ke tangan Serena dan mendorongnya menuju pintu garasi.

Setelah memastikan Serena tidak melihat Alex saat ini, Deril buru-buru melepas bajunya dan membersihkan noda darah di wajah ayahnya sebanyak mungkin. Dia tidak yakin kalau Serena bisa bertahan jika melihat keadaan suaminya.

Deril mengangkat Alex dan menyeretnya untuk masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu di depan gerbang rumah. Dengan tenaga yang tersisa, Deril mendorong Alex masuk ke dalam mobil. Serena menjerit tertahan saat melihat suaminya. "Bu! Ke rumah sakit! Cepetan!" seru Deril.

Meski agak kikuk karena kaget dengan apa yang dia lihat, Serena berusaha mengendalikan dirinya agar bisa mengemudi dengan aman sampai rumah sakit. Di saat yang bersamaan, Deril melihat seseorang dari rumah sebelah.

Dokter Stephen berdiri di depan pintu depan rumahnya yang megah. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana tidurnya. Penampilannya sangat rupawan, walau hanya terbalut piyama dan dengan penerangan minimal. Namun, Deril dapat melihat ekspresinya dengan jelas. Dia tersenyum kecil dengan binar mata penuh kemenangan.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!