Penghilangan Bukti

Deril duduk dalam diam di ruangan tempat ayahnya dirawat sejak semalam. Baginya, ini masih seperti keajaiban. Dia masih mengingat, bagaimana jantungnya ingin berhenti ketika melihat ayahnya tergeletak di lantai dapur rumah yang dingin kemarin malam.

"Kamu lebih baik istirahat," Serena membelai kepala Deril. Tangannya dapat merasakan hawa panas dari ubun-ubun anaknya. "Apa kamu sudah minum obat? Sepertinya demammu naik lagi."

"Aku nggak apa-apa, Bu," jawab Deril.

"Minumlah obat! Jangan buat ibumu khawatir!" sela Alex dari ranjang tempat tidurnya.

"Apa Ayah baik-baik saja?" tanya Deril. Sebenarnya, pertanyaan itu sudah dia ucapkan sebanyak sepuluh kali, semenjak Alex sadarkan diri.

Alex mendapatkan perawatan kumbah lambung setiap dua jam. Keadaannya membaik setelah itu. Beberapa obat yang Deril tidak mengerti apa itu meski sudah dijelaskan, sudah dimasukkan secara berkala oleh perawat yang merawat Alex. Untung saja, tubuh Alex kuat dan bereaksi baik terhadap obat-obatan.

Alex tersenyum lebar. Bibirnya agak kering karena masih harus puasa. "Ayah ini kuat! Kamu nggak perlu khawatir!"

Deril menunduk. Air mata langsung jatuh melewati pipinya. "Aku takut banget," aku Deril. Tangannya bahkan masih lemas sampai sekarang. "Kemarin Ayah pucat dan darah ada di mana-mana."

"Hhh... Itu salah Ayah," jawab Alex.

"Kenapa itu bisa jadi salahmu?" tanya Serena.

"Aku kelaparan saat sampai di rumah. Lalu, aku lihat ada ayam goreng di tong sampah. Ayam itu kelihatan bersih. Jadi, aku makan saja."

PLAK!

Serena menyarangkan pukulan ke kepala Alex. "Kenapa makan makanan yang sudah dibuang!?" cicit Serena, marah. "Apa kamu kekurangan makanan selama ini!?"

"Bukan begitu, Sayang," Alex berusaha menenangkan Serena yang melotot padanya. "Kemarin itu, ayam gorengnya benar-benar kelihatan baik-baik saja. Aku cuma kasihan. Lagipula, ini bukan pertama kalinya aku makan sesuatu yang basi. Aku pernah mengalami masa-masa sulit. Ingat?"

Serena menggigit bibir bawahnya. Dia kesal. Sangat kesal. Tapi, dia juga tidak bisa membantah ucapan suaminya. Mereka memang sudah bersama selama dua puluh tahun. Selama itu pula, kehidupan mereka tidak selamanya baik. Ada masa di mana Alex dan dirinya harus memakan makanan basi, demi bisa membeli susu untuk Deril.

"Aku mau menjenguk Diana," Serena berpaling.

"Jam besuk di HCU masih satu jam lagi, Sayang," Alex memanggil Serena, namun tidak digubris. Serena melengos keluar dari ruangan dengan wajah tertekuk. "Hhh..." Alex menghela nafas lagi. "Ngomong-ngomong, sebenarnya Ayah belum begitu jelas mendengar apa yang terjadi pada Diana. Ayah takut bertanya waktu ibumu masih ada di sini. Ibumu pasti sangat khawatir sekarang ini."

Deril mengepalkan tangannya. Kehangatan tubuh adiknya masih membekas di kedua lengannya. "Aku pulang ke rumah untuk ambil handphone dan tas Ibu. Lalu, aku panggil Diana untuk memberitahu apa yang sedang terjadi pada Ayah. Takutnya, dia kaget waktu menemukan tidak ada siapa-siapa di rumah waktu dia bangun. Tapi, Diana nggak ada di kamarnya. Tempat tidurnya hangat. Handphone-nya juga di sana. Kemudian, aku turun ke lantai satu lagi. Waktu bingung harus melakukan apa, aku sadar pintu belakang terbuka. Firasatku menyuruhku ke sana. Lalu--" Deril menelan ludah. Tenggorokannya kering. "Tangan Diana--" suaranya tercekat. Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.

Alex mengusap wajah. Dia tidak menyangka ada kejadian seperti itu di dalam rumahnya. "Kenapa Diana sampai melalui hal seperti itu?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri. Suaranya bergetar. Deril tahu, ayahnya sedang menangis sekarang.

Namun, apa yang bisa Deril katakan?

Diana mengalami ini, karena Dokter Stephen?

Tidak. Dia tidak mempunyai bukti apapun. Jika dia bicara omong kosong seperti itu, keluarganya akan mendapatkan masalah lagi. Deril yakin, Alex akan diam saja jika dia yang disakiti. Tapi, beda halnya jika putri kesayangannya yang terbaring di HCU.

"Bagaimana kondisi Diana?" tanya Alex.

"Kata dokter yang menangani, dia sudah melewati masa kritis. Saat ini tanda vitalnya baik. Responnya terhadap pengobatan juga baik. Kalau tidak ada masalah, dalam dua hari, Diana bisa pindah ke ruang rawat biasa."

"Syukurlah..." Alex memandang langit-langit rumah sakit. "Syukurlah Ayah punya kamu, Deril. Kamu benar-benar bisa diandalkan."

Deril menggeleng pelan. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Banyak hal terlintas di dalam kepalanya. Kecurigaan bahwa Dokter Stephen adalah dalang dari semua kejadian ini, membuatnya diam terpaku.

***

Deril kembali ke rumah, seperti apa yang Serena pinta. Lagipula, dia harus membersihkan diri. Noda darah masih ada di bajunya. Tampangnya berantakan. Dia juga bisa mencium bau keringatnya sendiri. Rencananya, Deril akan kembali ke rumah sakit setelah makan malam untuk menggantikan Serena. Ibunya juga perlu istirahat.

Tangannya lemas saat mengangkat untuk membuka pintu rumah. "Apa aku bersih-bersih sedikit, ya?" gumamnya sambil mendorong pintu depan hingga terbuka. "Lho?" matanya melebar melihat lantai dapur yang bersih. Deril berjalan cepat menuju dapur. Dia memeriksa setiap sudut. Dapurnya benar-benar bersih. Tidak ada setitikpun noda darah di sana. Bisa dibilang, dapurnya lebih bersih daripada saat Serena membersihkannya sendiri.

Deril terlonjak ketika handphone-nya bergetar di saku celananya. Serena menelepon.

"Halo, Bu?"

"Kamu sudah sampai rumah?" sapa Serena dari seberang.

"Sudah..." Deril menjawab lemah.

"Apa yang membersihkan rumah sudah pulang?"

Deril mengernyit. "Maksud Ibu?"

"Ibu dapat kenalan dari Dokter Stephen. Katanya Beliau punya orang yang bagus masalah bersih-bersih. Namanya Bu Sonya. Ibu diberitahu kalau Bu Sonya bisa bantu untuk bersih-bersih rumah pagi ini. Jadi, Ibu tidak perlu khawatir masalah rumah. Bu Sonya juga bukan orang yang jijikan masalah darah atau mun--"

Deril berlari ke arah kulkas, tanpa mendengarkan cerita Serena sampai selesai. "Sudah aku duga," geramnya, melihat ayam goreng dari Mika, lenyap dari tempatnya. "Itu adalah buktinya!" Deril memukul pintu kulkas. Dia merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. Dia kehilangan barang bukti di depan matanya.

Deril menoleh ke arah tong sampah. Kosong. Semua tampak sangat bersih. Deril terduduk lemas. Rumahnya telah dibersihkan dari semua bukti yang harusnya bisa dia serahkan ke kantor polisi. Bahkan, bau darah yang menyengat kemarin, tergantikan dengan wangi pemutih bercampur wangi bunga.

"Dia benar-benar membersihkan semuanya. Tanpa cela," bisik Deril. "Dia punya pemikiran selangkah di depanku. Sedangkan aku, masih bergelut dengan keluargaku yang menjadi korban." Deril menunduk. Kali ini, bukan air mata kesedihan yang mengalir. Namun, air mata marah. Dia tidak menyangka, hal mengerikan seperti ini bisa terjadi di dalam hidupnya yang sebelumnya tenang-tenang saja.

"Aku harus apa? Aku harus bagaimana?" tanya Deril pada dirinya sendiri.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!