"Kamu dari kemarin betah sekali nongkrong di sini."
Alex menghampiri anak laki-lakinya yang sedari tadi duduk tenang di halaman depan rumah mereka. Sebenarnya Alex sudah merasa tertarik sekali dengan tingkah anaknya. Sering kali Deril duduk di sana sambil menggambar atau sekedar mendengarkan lagu.
Hal pertama yang terlintas di kepala Alex adalah kemungkinan Deril sedang dalam masa puber. Dan targetnya tentu saja anak gadis tetangga sebelah yang cantik luar biasa.
Alex merasa bangga karena tipe anaknya ternyata setinggi itu.
"Aku lagi mau santai-santai," jawab Deril.
Mendengar jawaban Deril yang tidak seperti biasa, Alex menjadi semakin tertarik. Dia duduk di sebelah Deril. Ada segelas es jeruk yang sudah tidak lagi dingin di atas meja.
Halaman rumah mereka belum rampung sepenuhnya. Serena baru menggarap hal-hal kecil, seperti menanam rumput mutiara di beberapa bagian dan menanam beberapa jenis bunga di sudut halaman. Satu pohon yang cukup besar menaungi sebagian halaman depan rumah. Berbeda dengan halaman depan rumah Dokter Stephen, halaman mereka tidak terlalu luas, namun cukup besar untuk digarap.
Sinar matahari tidak menerpa terlalu banyak karena terhalang bangunan rumah. Halaman depan adalah tempat bersantai yang tepat saat senja tiba.
Tetapi, bagaimanapun nyamannya tempat itu, Alex tahu bahwa anaknya bukanlah orang yang suka melamun. Alex terbiasa melihat Deril melukis di kamarnya. Hal itulah yang membuat Alex memberikan loteng pada Deril. Itu akan menjadi tempat pengembangan bakatnya.
"Apa tidak ada yang mau kamu lakukan?" Alex memancing.
Mata Deril masih terpancang pada salah satu jendela di rumah Dokter Stephen. Mika tidak pernah muncul lagi di sana.
"Tidak ada," jawab Deril.
Alex menghela nafas panjang. "Ayah sudah dengar masalah kemarin."
Deril menoleh cepat. Jantungnya berdegup dengan kencang. "Ma-masalah apa?" tanyanya.
"Tentang kamu yang menerobos rumah Dokter sebelah."
Deril menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu bahwa masalah ini tidak akan berlalu dengan mudah. Orang seperti Dokter Stephen tidak akan membiarkan Deril lepas begitu saja setelah membuat heboh. Masih untung kalau Dokter Stephen tidak membicarakan masalah ini pada tetangga lainnya. Bisa-bisa Deril dicap sebagai orang aneh dan tidak punya masa depan di sini.
"Itu salah paham," Deril membela diri.
"Mau cerita? Siapa tahu, Ayah bisa kasih saran yang bagus."
Deril menimbang sejenak. Baginya, ada yang aneh dengan keluarga Dokter Stephen. Mereka memang tampak seperti keluarga bahagia dari luar. Namun, ada beberapa potongan kejadian yang menurut Deril dirasa janggal.
"Aku pernah ketemu orang yang namanya Bayu." Deril memutuskan untuk memberitahu Alex mengenai pertemuannya dengan Bayu. "Dia bercerita hal yang menurutku aneh."
"Cerita seperti apa?"
"Misal saja, Ayah mendapati Ibu menghilang tanpa jejak. Bagaimana perasaan Ayah?"
"Waaah... Ayah bisa gila!" Alex menjawab sambil geleng-geleng kepala. "Mungkin, kalian akan menjadi kekuatan untuk Ayah hidup, tapi semua tidak akan sama tanpa ibu kalian."
"Apa Ayah tahu, kalau istri Dokter Stephen menghilang dan sampai sekarang belum ditemukan?"
Alis Alex terangkat. "Kamu dengar itu dari orang yang namanya Bayu?"
Deril mengangguk. "Bukan hanya Bayu," lanjut Deril. "Aku juga sempat ngobrol sama ibu-ibu di sini, tentang keluarga Dokter Stephen."
Alex tertawa kecil. "Jadi, kamu punya hobi baru? Ngerumpi kayak ibumu?"
"Bukan, Yah!" cicit Deril, sebal dengan kesimpulan yang Alex katakan. "Ayah bisa fokus, nggak, sih? Aku mau cerita ini fokus ke keluarga Dokter Stephen!"
"Hhh..." Alex berhenti tertawa. "Oke, oke. Lanjutkan!"
"Menurutku, Dokter Stephen agak aneh. Muka juga aneh."
"Apa yang membuat kamu berpikir seperti itu?"
Deril melirik sekilas ke arah rumah besar bertingkat yang berdiri kokoh di sebelah rumahnya. Rumah dari seorang gadis yang awalnya menarik perhatian Deril. "Dokter Stephen terlihat tidak begitu terganggu dengan kejadian traumatis itu. Menurutku, dia terlalu fokus pada Mika. Padahal, kabar istrinya tidak diketahui sampai sekarang."
"Harusnya bagaimana?"
Bahu Deril terangkat. "Bolak-balik kantor polisi?"
"Mungkin kamu tidak tahu. Kamu, kan, tidak melihat aktifitas Dokter Stephen setiap hari," bela Alex.
Deril tidak menjawab. Ayahnya ada benarnya. Dia harus mengikuti kegiatan Dokter Stephen setiap hari untuk memperkuat dugaannya itu.
"Dan lagi, Dokter Stephen harus melanjutkan hidup demi anaknya, kan? Kalau dia membuang waktu untuk hal yang tidak bisa dia ubah, Mika tidak mungkin menjadi anak sehat seperti sekarang."
"Kalau benar dia sehat, kenapa Mika tidak pergi ke sekolah?"
"Dia tidak sekolah?"
Deril menggeleng dengan wajah yakin. "Anak-anak di sekolahku tahu tentang gadis yang cantik luar biasa di lingkungan ini, tapi tidak pernah benar-benar bertemu atau bicara dengan Mika. Tidak ada yang pernah melihat dia berada di sekolah."
Alex mengatupkan tangannya di antara lutut. Dia duduk agak condong ke depan, menandakan bahwa dia mendengarkan cerita anaknya dengan seksama.
"Kalau aku tidak salah ingat, Mika ke luar negeri waktu kecil dan baru balik ke sini sekitar dua tahun lalu."
"Artinya dia menghabiskan masa kecilnya di luar negeri?"
"Iya."
"Sama Dokter Stephen?"
"Tidak."
"Lha? Terus?" tanya Alex.
"Mika ke luar negeri sendirian. Menurut kesaksian, ibunya menghilang waktu mau nyusul Mika."
Kening Alex mengkerut. "Bukannya ini mencurigakan? Polisi turun tangan?"
"Tidak ada hasil dari kepolisian. Makanya aku bilang, Dokter Stephen terlalu tenang untuk ukuran suami yang kehilangan istri tercintanya. Tapi dia terlalu fokus pada Mika." Deril mengalihkan perhatiannya pada mobil Dokter Stephen yang muncul dari tikungan. Artinya jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Hari ini adalah hari Minggu. Dokter Stephen biasa pulang pukul segini. "Selain itu, aku sempat lihat Mika berekspresi aneh."
"Kita juga sedang melakukan hal mencurigakan dengan ngobrol di sini sambil menatap rumah tetangga sebelah," potong Alex.
"Ya, makanya, Ayah jangan lihat ke sana juga, dong!" protes Deril.
Alex mengganti arah duduknya. Dia menatap rumah Pak Brama yang ada di seberang rumah mereka. Rumah bercat hijau terang itu, terlihat sangat mencolok daripada rumah lainnya.
Mobil Dokter Stephen berhenti di depan rumahnya. Dokter Stephen turun dari mobil untuk membuka pintu gerbang. Deril menunduk supaya pandangan mereka tidak bertemu.
"Tempo hari Dokter Stephen bermain piano. Begitu mendengar lantunan melodinya, aku tahu kalau itu adalah lagu bahagia yang membuat siapapun semangat. Tapi, Mika malah kelihatan sangat ketakutan. Mika juga mengirim sinyal minta tolong padaku. Tapi, waktu aku menerobos masuk, Mika seolah memojokanku."
"Memangnya, apa yang kamu lihat sampai kamu nekat menerobos masuk?" tanya Alex. Sebenarnya, dia mendengar versi Dokter Stephen lebih dulu. Dokter Stephen mengatakan bahwa Deril memiliki imajinasi yang tinggi dan suka mencampuri urusan orang lain. Alex tidak langsung percaya. Bagaimanapun, dia sudah menjadi ayah Deril semenjak Deril dilahirkan di dunia ini. Alex tahu sifat anak laki-lakinya Jadi, dia tidak mau percaya begitu saja pada omongan Dokter Stephen, meski lawannya adalah orang dewasa dengan pendidikan tinggi.
Tenggorokan Deril menjadi kering ketika kilasan kejadian tempo hari, kembali dia ingat. "Mika sedang melakukan hubungan seksual dengan seorang pria," jawaban itu meluncur sangat cepat dari mulutnya.
Melihat ekspresi ayahnya yang menganga tidak percaya, Deril sudah siap untuk diberi nasehat panjang lebar, bahkan dihukum tidak boleh keluar rumah oleh ayahnya. Deril tidak punya bukti untuk apa yang dia katakan. Jadi, itu bisa dibilang bahwa Deril hanya mengucapkan omong kosong.
"Nak," Alex mendesis. Matanya berkilat, membuat Deril takut. "Ayah juga pernah melihatnya sekilas," bisik Alex.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments