Deril memacu sepedanya lebih cepat. Debu halus tertinggal di belakang, ketika roda sepeda melewati jalanan pedesaan yang aspalnya tidak rata. Sesekali Deril harus meliuk, menghindari jalanan yang berlubang. Wajahnya tampak cerah. Dia sangat senang karena mendengar kabar bahwa ayahnya akan pulang sore ini.
Hari ini adalah hari pertama Deril kembali ke sekolah. Sambutan luar biasa dia terima dari teman-teman sekelasnya, meskipun mereka tidak cukup dekat. Deril tidak masalah akan hal itu. Apalagi, ada yang bersedia meminjamkan catatan mereka, selama Deril tidak masuk sekolah. Masalah sekolah, tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Dia juga bisa mengikuti pelajaran yang tengah berlangsung.
Matahari belum terbenam di ufuk Barat, dan Deril sudah tiba di rumah. Dia membuka gembok gerbang rumahnya dengan tangan gemetaran. Nafasnya memburu hingga wajahnya merah.
Begitu gembok terbuka, Deril segera menggiring sepedanya menuju garasi mobil. Dia berencana menyambut ayahnya dengan rumah bersih dan makanan hangat di atas meja. Dia sudah memesan makanan pesan-antar yang dijadwalkan pukul tujuh nanti. Ayahnya akan punya waktu untuk membersihkan diri sesampainya di rumah.
"Waktunya banyak untuk bersih-bersih," gumam Deril sembari memasukkan kunci ke pintu depan. Namun, begitu Deril hendak memutar kuncinya, ternyata pintu rumah tidak terkunci. Deril diam sejenak. Pikirannya kembali ke waktu pagi tadi, ketika dia meninggalkan rumah untuk pergi sekolah. Deril sangat yakin, kalau dia memastikan pintu depan terkunci.
Matanya meneliti gerendel pintu dan jendela yang ada di sekitar. Tidak ada tanda-tanda dibuka secara paksa. Deril dapat mendengar suara dari dalam rumahnya. "Oh, mungkin Ibu," ucapnya pada diri sendiri. Tanpa merasa curiga, Deril langsung masuk ke dalam.
"Oh, selamat siang!"
Deril terlonjak kaget, saat mendengar suara asing dari arah dapur rumahnya. Dia semakin kaget, ketika melihat Bu Sonya berdiri di depan bak cuci piring.
"Ini pertama kali kita ketemu, ya?" Bu Sonya tersenyum simpul pada Deril. "Saya Sonya, yang biasa disewa Dokter Stephen untuk bersih-bersih rumahnya. Tadi pagi, Bu Serena menghubungi saya untuk bantu beberes rumah. Katanya, biar anaknya dan Pak Alex nanti bisa tidur dengan nyaman."
Deril tidak menjawab sapaan Bu Sonya. Bagaimanapun, dia tahu sedikit-banyaknya cerita tentang Bu Sonya. Kecurigaan Deril tentang Bu Sonya yang 'membersihkan' rumah Dokter Stephen setelah pesta minum teh, dan juga bukti-bukti yang menghilang setelah Bu Sonya datang tempo hari, membuat Deril takut.
'Dia adalah kaki tangan Dokter Stephen,' hanya pikiran itu yang terlintas saat ini di kepalanya. Deril bisa membayangkan ada pistol di balik celemek merah muda yang Bu Sonya kenakan. Orang itu bisa saja menghabisi Deril tanpa ampun, jika Dokter Stephen mengkehendakinya.
'Apa yang mereka inginkan dari rumah ini?' batin Deril. 'Apa dia membuat makanan beracun lagi?'
"Kenapa, Nak?" tanya Bu Sonya. "Kalau kamu tidak percaya saya disewa Bu Serena, kamu bisa telepon ibumu dulu. Saya tidak akan ke mana-mana."
Deril menelan ludah dengan susah payah. Tangannya mengepal, ingin membulatkan tekadnya. "Apa Bu Sonya yang datang waktu keluarga saya di rumah sakit waktu itu?"
Bu Sonya memandang langit-langit dapur untuk beberapa detik, seperti mencoba mengingat maksud pertanyaan Deril. "Oooh! Yang katanya Pak Alex keracunan itu, ya?" Bu Sonya memastikan. "Iya, saya yang datang. Apa pekerjaan saya kurang bersih? Saya sudah jadi asisten rumah tangga selama sepuluh tahun. Saya pikir, saya tidak akan melewatkan setitik debu sekalipun."
"Pekerjaan Bu Sonya terlalu bersih," geram Deril.
Alis Bu Sonya terangkat. Dia tidak mengerti, apakah itu termasuk pujian atau kekecewaan. Jelas bahwa Deril mengucapkan kalimat positif, namun air muka Deril tidak tampak seperti orang yang senang mendapati pekerjaannya dibantu.
"Saya akan buatkan makan malam. Kata Bu Serena, Pak Alex akan pulang malam ini. Nak Deril bisa istirahat sampai Pak Alex datang," lanjut Bu Sonya. Dia memutuskan untuk tidak memperpanjang keingintahuannya.
"Tidak perlu," Deril menolak cepat. "Saya sudah memesan pesan-antar. Dan tidak bisa dibatalkan," Deril memberi penekanan pada kalimat terakhir, berharap Bu Sonya cepat mundur dan pergi dari hadapannya. Deril ingin cepat-cepat menghubungi ibunya, agar tidak meminta bantuan pada Dokter Stephen ataupun Bu Sonya untuk lain kali.
"Baiklah kalau begitu," Bu Sonya mengangguk mengerti. Pandangannya kembali pada piring kotor yang tadi pagi belum sempat Deril cuci setelah sarapan. "Oh, ya! Apa kamu tahu bagaimana kondisi Mika belakangan ini?"
"Maksudnya?"
"Dulu, saya biasa dipanggil oleh Dokter Stephen dua minggu sekali, untuk membersihkan kekacauan yang Mika buat di rumah. Kamu pasti sudah dengar tentang kabar ibunya Mika yang menghilang, kan? Katanya, anak itu sangat stres dan kadang-kadang jadi mengamuk di rumah."
Kening Deril berkerut. Itu cerita baru baginya. Menurut Deril, Mika bukanlah orang yang menunjukkan emosinya di depan Dokter Stephen. Dia dan Mika memang mengobrol beberapa kali, dan di saat itu barulah Mika menunjukkan ekspresi ketakutan. Tapi, jika berhadapan dengan Dokter Stephen, sebisa mungkin dia akan berwajah tenang. Tapi, kalau sampai mengamuk? Apakah mungkin?
"Terakhir saya dipanggil, rumah itu juga tidak begitu berantakan. Lalu, kondisi Mika juga baik-baik saja. Padahal, biasanya, kalau sudah mengamuk, Mika bisa sampai luka-luka. Bahkan, bulan lalu, dia sampai tidak bisa jalan dan pucat."
Deril tidak bereaksi. Selain karena tidak tahu bahwa Mika punya kebiasaan mengamuk, Deril juga tidak mau berbagi informasi apa saja yang dia ketahui pada pihak musuh. Hal yang paling benar yang harus dia lakukan, hanyalah diam.
"Tapi, kalau mengamuk begitu, apa mungkin yang lebam-lebam cuma bagian kakinya saja?" Bu Sonya tiba-tiba bertanya hal tidak masuk akal. "Dulu, waktu saya punya anak usia sepuluh tahun yang suka tantrum, lebamnya nggak cuma di bagian paha saja. Yah, namanya anak ngamuk, pasti kepentok sana-sini, kan?"
Kilasan ingatan kejadian Dokter Rendi yang hendak melakukan hal tidak wajar pada Mika, berkelebat cepat di depan mata Deril. Dia bisa menghubungkan cerita Bu Sonya dengan apa yang matanya saksikan.
'Itu bukan amukan. Mika diperkosa dengan cara kejam. Lebam di kakinya adalah bukti bahwa dia melawan,' batin Deril dengan dada yang sakit seperti tersayat.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments