"Rasanya nggak enak cerita, kalau kita nggak saling kenal," laki-laki itu mengulurkan tangannya sambil nyengir, memamerkan giginya yang rapi. Jelas terlihat di wajahnya bahwa dia telah merasa menang karena berhasil menarik perhatian Deril.
"Deril," akhirnya Deril menyambut uluran tangan itu. Tidak ada gunanya jika dia menghindar sekarang. Deril sangat ingin tahu tentang anak laki-laki yang menghilang, atau wanita yang bernama Xiao Ying itu.
"Bayu."
"Kalau kamu memberitahu cerita yang membosankan, aku akan langsung cabut," ancam Deril dengan pandangan mengancam.
"Dijamin nggak buat bosan!" Bayu menjawab dengan penuh percaya diri. Dia memeluk lututnya yang menghadap ke Deril. "Kamu mau tahu yang mana dulu, nih?"
"Semuanya."
Bayu menarik nafas panjang. Dia menegakkan tubuhnya, bersiap bercerita. "Jadi, desa kita ini punya dua rahasia besar yang tabu untuk dibicarakan," Bayu memulai. Rambut ikalnya bergerak ketika angin malam menerpa. "Cerita pertama, adalah tentang anak kecil yang menghilang, entah kemana."
"Lo kenal?" tanya Deril.
Bayu menggeleng. "Nggak banyak orang yang kenal anak itu. Kakakku kira-kira seumuran sama dia. Kalau dia masih hidup, umurnya sudah dua puluh lima tahun," jawab Bayu. "Menurut cerita dari kakakku, dia anak yang suka dipukuli sama bapaknya. Bapaknya suka minum alkohol, terus mukulin dia berkali-kali."
"Aku pernah baca kalau bapaknya itu nggak kerja, ya?"
Bayu mengangguk dengan semangat. "Dia gelandangan di sini. Kadang hidup dari jual botol bekas yang dia kumpulkan. Kalau warga lagi ada kerjaan membangun, kadang dia juga diajak untuk bantu-bantu. Tapi, dasar orangnya memang nggak baik, hasilnya juga nggak baik."
"Gimana maksudnya?"
"Nggak jarang dia di depak sama mandor bangunan karena bikin onar. Senggol sedikit, langsung main hantam! Orangnya cepat tersinggung. Sampai anaknya juga jadi sansak."
"Apa nggak bisa dipisahkan dengan anaknya?"
Bayu geleng-geleng kepala. "Dia berkeras mau sama anaknya terus. Pokoknya, kalau ada yang mendekat, dia langsung ngamuk. Pakai bawa-bawa parang segala. Polisi aja kewalahan sama orang gila itu!"
Kening Deril berkerut. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, dan dia ingin melemparkan semua pertanyaan itu pada Bayu.
"Aku tahu, aku tahu," kata Bayu tiba-tiba. "Pasti banyak yang mau kamu tanyakan sekarang. Kasih aku waktu untuk cerita pelan-pelan, ya!" pintanya. "Jadi, anak itu namanya Ardi. Seorang anak yang lahir dari hasil pemerkosaan. Bapaknya diminta tanggung jawab waktu warga tahu ibunya Ardi hamil."
"Nggak masuk akal!" Deril geram.
"Ya, kan?" Bayu setuju dengan Deril. "Kalau zaman sekarang, pastinya korban pemerkosaan bakalan dijauhkan sama pelakunya. Lha ini malah disuruh nikah! Pastinya pernikahan itu nggak akan berhasil! Akhirnya ibunya Ardi kabur. Mana ada perempuan yang tahan sama gelandangan nggak jelas yang nggak mikir besok mau makan apa?"
"Dia tidak bawa anaknya kabur bareng?" tanya Deril.
Bayu menghembuskan nafas berat. "Nggak. Ardi ditinggal waktu umurnya delapan tahun, kata kakakku. Dia jadi anak terlantar, tapi tidak banyak yang bisa dilakukan. Bapaknya gila! Dia tidak mau pisah sama Ardi. Warga sekitar cuma bisa bantu masalah makan sehari-hari. Ardi juga nggak sekolah. Anak itu banyak menghabiskan waktu dengan memulung sampah atau bantu warga yang perlu tukang sapu di halaman rumah mereka."
"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Deril.
"Waktu umurnya lima belas tahun, bapaknya ditemukan meninggal di rumah mereka. Di mulutnya banyak darah dan botol minuman keras ada di mana-mana. Sebelumnya, bapaknya itu sudah sering muntah darah. Kata kakakku, dia meninggal karena muntah darah kebanyakan minum alkohol. Tapi--" Bayu memicingkan matanya, "--ada juga spekulasi kalau Ardi meracuni bapaknya."
"Kenapa begitu?"
"Ardi senyum-senyum waktu bapaknya ditemukan meninggal."
'Ayah dan anak sama gilanya!' batin Deril sambil menelan ludah. "Apa polisi tidak curiga?"
"Hhh..." Bayu menghela nafas lagi. "Bisa ngomong apa? Tidak ada warga yang mau ambil pusing masalah meninggalnya orang gila. Bapak Ardi langsung dimakamkan sesuai adat di sini."
"Setelah itu?"
"Rapat diadakan untuk memutuskan bagaimana nasib Ardi selanjutnya. Waktu itu, Ardi masih lima belas tahun, kan? Dia nggak bisa hidup sendirian. Semua warga takut kalau nantinya Ardi bakalan jadi kayak bapaknya. Ardi harus punya panutan untuk hidup yang lebih baik. Kalaupun mulai sekolah dasar, pastinya sudah terlalu terlambat. Tapi, kalau mengirim Ardi ke panti asuhan, takutnya dikira ngusir. Tidak ada yang tahu tabiatnya Ardi waktu itu. Dia memang lebih banyak diam, tapi, waktu dia nyengir di pemakaman bapaknya, semua jadi ikutan takut."
"Di saat itu dia menghilang?" terka Deril.
"Iya. Belum ada jawaban pasti dari petinggi desa sini, Ardi tiba-tiba saja menghilang. Upaya pencarian dilakukan berbulan-bulan dengan bantuan polisi. Tidak ada petunjuk ataupun hasil setelah dicari selama enam bulan. Akhirnya, tidak ada lagi yang peduli. Para warga malah merasa lega karena anak bermasalah akhirnya hilang dari desa ini dengan sendirinya."
Perasaan Deril bercampur aduk. Ada rasa takut sekaligus kasihan pada anak bernama Ardi. "Sampai sekarang nggak ada kabar?"
"Tidak ada sama sekali. Kayaknya warga sini sudah lupa sama anak itu," jawab Bayu.
"Ibunya Ardi juga tidak pernah ke sini?"
"Tidak pernah. Sekalipun."
Deril diam sejenak. Cerita itu tidak begitu menarik lagi baginya, namun cukup pantas untuk didengarkan, menimbang banyaknya waktu kosong yang dia miliki saat ini. Deril melirik ke arah rumah yang dijadikan tempat berkumpul ibu-ibu arisan. Tidak ada tanda kalau acara itu akan berakhir.
"Mereka bakalan selesai sekitar jam sepuluh malam," Bayu bicara, seolah bisa membaca pikiran Deril. "Masih ada waktu. Mau lanjut cerita di warung dekat sini? Lumayan sambil ngopi," ajaknya.
"Ngopi?"
"Malam-malam begini, enaknya ngopi sambil ngobrol, kan? Aku yang traktir!"
"Kamu sebenarnya sudah bapak-bapak, ya?" sindir Deril.
Bayu menyilangkan tangan di depan dada. "Memangnya yang boleh ngopi cuma bapak-bapak? Pasti kamu nggak pernah ngopi sebelumnya, ya?"
Deril tidak menjawab. Dia memang bukan penikmati kopi. Pernah suatu waktu dia mencoba kopi Alex, tapi Deril sadar kalau itu bukan seleranya saat ini. Kopi membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan dia tidak menyukai hal itu. "Aku mau ikut kalau ditraktir teh," tawar Deril.
"Oke, oke, tidak ada paksaan kamu harus minum kopi. Dan ini aneh! Kenapa masalah kopi saja, jadi sepanjang ini?" Bayu geleng-geleng kepala sembari bangkit dari duduknya. Deril buru-buru ikut bangkit. Tidak ada gunanya dia diam di sini sendirian.
"Kakakmu sudah dua puluh lima tahun?" Deril tiba-tiba tertarik.
"Kakak pertama. Aku anak kelima dari tujuh bersaudara."
"Wah!!!"
Bayu tertawa kecil. "Kapan-kapan, kamu bisa main ke rumahku supaya tahu bagaimana ributnya keluargaku."
'Kita bahkan belum berteman dekat, tapi sudah mengundang orang ke rumah?' pikir Deril, heran.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments