Sekolah menjadi tempat yang kurang menarik bagi Deril. Dia tidak seperti adiknya yang pandai bergaul, jadi dia menghabiskan waktunya dengan berdiam diri di kelas, memandang ke luar jendela seharian. Hujan masih saja awet menyapa bumi. Ajaibnya, kota ini tidak tertimpa banjir walau hujan bertahan seharian, tidak seperti kotanya dulu.
Sepulang sekolah, Deril menunggu Diana di dekat pintu gerbang. Deril bisa melihat beberapa teman sekelasnya berniat berbicara dengannya, namun Deril buru-buru menolak secara tidak langsung dengan menempelkan headset di telinga.
Tidak ada lagu yang dia putar.
Deril menatap layar handphone-nya yang menyala. Dia melihat gambar langit biru yang menjadi wallpaper, berpura-pura sibuk dengan dunianya sendiri. Dalam hati, Deril merutuki Diana yang terlambat pulang. Ini bukan kejadian pertama. Diana sering sekali terlambat saat jam pulang sekolah. Diana adalah gadis cantik yang cakap. Banyak anak menyukainya. Hal itu membuatnya tertahan untuk satu-dua alasan.
Pernah sekali Deril memutuskan untuk pulang lebih dulu, membiarkan Diana menikmati waktunya bersama teman-teman. Namun, Serena malah memberinya nasehat seharian karena meninggalkan adiknya sendirian. Deril lebih tidak menyukai hal itu, ketimbang harus menunggu Diana agak lama.
"Hei!"
Deril terlonjak ketika sebuah kepala menyembul di depan matanya. Hampir saja handphone-nya meluncur ke tanah. "A-apa!?" cicit Deril, kesal.
"Kita sekelas, kan? Kamu nunggu apa?" tanyanya.
Perempuan di depannya berambut sebahu dengan wajah oval. Rambutnya sedikit bergelombang. Meski tanpa riasan, perempuan itu tampak manis. Dia bahkan mempunyai lesung pipi.
"Nunggu adik," jawab Deril sembari membuang muka.
"Aku Nala," perempuan itu mengulurkan tangan. Ternyata tangannya sangat kecil. Setelah berdiri tegak, tubuhnya hanya setinggi dada Deril. "Aku duduk paling depan. Sebenarnya nggak suka, sih. Tapi, kalau duduk di belakang, aku nggak lihat apa-apa," Nala nyerocos.
Deril membalas jabatan tangannya. Mulutnya tetap terkatup. Dia masih berpikir kalau berteman tidak ada gunanya. Siapa tahu, beberapa bulan lagi ayahnya harus pindah karena mutasi lagi. Mutasi itu tidak bisa dihindari, berhubung mereka memerlukan uang dan Deril belum cukup umur untuk kerja part time.
"Aku kenalkan teman-temanku, ya?" tanya Nala. Belum sempat Deril menolak, Nala sudah berbalik dan melambai pada tiga orang laki-laki yang tadi Deril lihat. "Sini, guys! Dia nggak gigit, kok! Tampangnya aja yang seram!" panggil Nala.
Tiga orang laki-laki yang Nala panggil, berjalan berduyun-duyun menghampiri. Mereka memiliki wajah bersahabat. Tanpa ragu lagi, mereka mengulurkan tangan pada Deril.
"Bahma."
"Johan."
"Bian."
Deril menjabat tangan mereka bergiliran. Masih tanpa suara, Deril hanya memperhatikan lawan bicaranya.
"Kamu tinggal di mana? Pulangnya naik bis?"
Deril mengangguk. "Aku baru pindah ke daerah perumahan dekat hutan sana," jawab Deril seraya menunjuk arah kepulangannya.
Mereka berempat saling bertukar pandangan. Sedetik kemudian, mata mereka dipenuhi binar penuh harap, seperti mata seekor anak anjing yang menemukan daging untuk sarapan pagi.
"Jangan bilang ke daerah rumahnya Mika?"
"Kamu kenal Mika?"
Deril menggeleng. Mana mungkin dia langsung mengenal orang-orang yang tinggal di sekitar rumahnya, padahal dia baru pindah dua hari lalu. Deril bahkan masih sibuk dengan urusan dinding dan tata-menata kamarnya. Jika mereka bertanya pada Serena, mungkin akan ada jawaban, karena ibunya itu sibuk menyapa para tetangga di sekitar rumah.
"Wah! Kamu harus ketemu dia!" Nala menepuk lengan Deril, penuh semangat.
"Setuju banget sama Nala!" ujar Johan. "Aku pernah lihat Mika sekali, waktu main ke rumah Sebastian bulan lalu. Dia adalah perempuan tercantik yang pernah aku lihat!"
Alis Deril berkerut. Dia tiba-tiba saja teringat dengan gadis yang tinggal di sebelah rumahnya. Gadis itu luar biasa cantik. Jika ada yang lebih cantik daripada dia, pastinya hanyalah malaikat.
"Kapan-kapan, kita main ke rumahmu, ya?" pinta Bian, tidak kalah semangatnya.
"Lain kali. Rumahku masih sangat berantakan," jawab Deril. Perhatian Deril teralihkan pada kedatangan Diana. Bersama dengan tiga orang teman barunya, akhirnya Diana keluar dari gedung SMP. "Adikku sudah datang. Aku pulang duluan," pamit Deril buru-buru. Dia langsung melesat menghampiri Diana. "Diana, ayo pulang!"
Diana mendongak, diikuti beberapa temannya. "Teman-teman, kenalkan, ini kakakku. Dia anak SMA di gedung sebelah," Diana memperkenalkan Deril pada ketiga temannya.
Ketiga teman Diana terlihat antusias. Kapan lagi mereka bisa berkenalan dengan cowok SMA. Apalagi, Deril terbilang lumayan bertampang. Hanya kurang terawat saja.
"Halo, saya Deril, kakak Diana. Diananya saya ajak pulang, ya! Sudah ditunggu orangtua di rumah," Deril menyela percakapan dan langsung menyeret Diana ke luar gerbang sekolah.
"Ih, Kakak apaan, sih! Aku, kan, sudah bantu Kakak buat sosialisasi!" protes Diana sambil meronta-ronta, minta dilepas.
"Aku nggak perlu bantuanmu," ketus Deril. "Cepat pulang! Aku mau istirahat!"
Diana mendengus tidak percaya. "Tunggu aja sampai aku sudah SMA dan boleh pulang sekolah sendiri, aku nggak mau pulang sama Kakak lagi!" rajuk Diana.
Deril tidak menggubrisnya. Diana tidak tahu, betapa inginnya Deril lepas dari Diana yang selalu membuntutinya. Deril juga ingin memiliki kehidupannya sendiri. Misalnya pergi ke toko musik, dengan tenang memilih album yang dia minati, atau sekedar melihat-lihat list lagu terbaru bulan ini. Atau, dia bisa duduk di cafe kecil, menghabiskan uang jajannya minggu ini, sambil melihat matahari terbenam. Ketenangan seperti itu yang Deril inginkan.
Tangan Deril terangkat, menghentikan sebuah taxi. "Cepat masuk!" perintah Deril begitu taxi itu berhenti sempurna tidak jauh dari mereka. Diana manut saja. Dia tahu, tidak ada gunanya beradu mulut dengan Deril. Setelah memberitahu alamat rumahnya pada sopir taxi, Deril kembali menempelkan headset di telinga, kemudian menyandarkan kepalanya ke belakang. Mata Deril tertutup dengan tangan terlipat di depan dada. Jelas dia tidak mau mengobrol dengan Diana.
"Kalian orang baru di sini, ya?" sopir taxi yang bernama Budi malah memulai percakapan.
"Iya, Pak! Baru pindah dua hari yang lalu," Diana menanggapi. "Bapak asli sini?"
"Iya, Neng. Dari kakek buyut saya memang lahir dan menetap di sini."
Deril melirik ke luar jendela, ingin memastikan bahwa sopir taxi itu berbelok ke arah yang tepat. Deril menutup matanya lagi saat tahu mereka berada di jalan yang benar, tidak mau kalau dia sampai harus terlibat dengan percakapan antara adiknya dan sopir taxi itu.
"Kalau daerah sana, artinya perumahan yang sama dengan Neng Mika, ya?"
Begitu nama itu terdengar lagi di telinga Deril, dia mulai tertarik. Jika perempuan bernama Mika itu dikenal oleh anak seusianya, itu merupakan hal yang wajar. Tapi, jika sampai sopir taxi juga mengenalnya, artinya Mika setara dengan seorang artis.
"Ngomong-ngomong, kalian bule, ya?"
"Ayah kami orang Amerika, Pak," Diana dengan mudah membeberkan asal-usulnya, padahal baru bertemu dengan orang asing. "Yah... Hujan lagi."
Deril spontan menoleh keluar lagi. Gerimis mulai menyapa. Tidak heran, bulan-bulan ini adalah musim hujan. Dia harus menghadapi udara yang lebih lembab dari hari biasa.
Sesampainya di depan rumah, tidak ada yang menyambut kedatangan mereka. Deril menduga, ayahnya sudah mulai beraktifitas di kantor barunya yang ada di pusat kota yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari rumah mereka. Sementara ibunya, mungkin juga pergi ke supermarket yang tadi mereka lewati untuk membeli keperluan dapur. Mereka tidak mungkin makan mie instan tiga hari berturut-turut.
Diana langsung melenggang masuk ke dalam rumah, membiarkan Deril tertinggal di belakangnya. Deril tidak segera masuk. Tentu saja pandangannya teralih pada rumah sebelah. Diam-diam, dia berharap bisa melihat perempuan itu lagi.
Tanpa diduga, harapannya terkabul. Kepala perempuan itu menyembul dari balik jendela lantai satu rumah sebelah. Rambut hitamnya yang panjang tergulung ke atas, memamerkan lehernya yang jenjang. Ada coretan tinta merah muda di pipinya. Sepertinya dia sedang melukis.
***
(Terima kasih pada para pembaca yang bersedia menunggu dan setiap membaca novel karya saya ^^
Semoga kesabaran kalian masih panjang untuk menunggu kelanjutan ceritanya.
Jangan lupa like dan bintangnya ⭐⭐⭐⭐⭐
Terima kasih, salam hangat)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments