Deril duduk meringkuk di halte bis dekat sekolahnya. Sepeda yang tadi pagi dia gunakan untuk berangkat ke sekolah, terparkir rapi di sebelahnya. Deril merasa tidak enak badan.
Ia mengeratkan jaket sampai sebatas dagu. Semilir angin siang membuatnya merinding. "Harusnya tadi nggak usah ikut upacara bendera," dia menyesal karena memaksakan diri berdiri di lapangan dan membuat suhu tubuhnya naik lagi.
Deril menoleh ke kanan dan kirinya. Tidak banyak anak sekolah yang terlihat. Sekolah sudah bubar sejak setengah jam lalu. Bahkan, Diana sudah pulang bersama teman-teman barunya.
Kepalanya menunduk, memandang jari-jari tangan yang merah padam. Bumi terasa berputar. Deril merasa, dia tidak akan bisa melanjutkan perjalanan untuk pulang. Jadi, dia menyandarkan tubuhnya ke belakang, memutuskan untuk tidur sejenak. Mungkin dengan beristirahat, dia akan menjadi lebih baik nanti.
***
"Deril, Deril?"
Goyangan pelan terasa dari lengan kanan Deril. Dia membuka mata dengan susah payah. Udara sekitar menjadi lebih dingin dari biasanya.
"Kamu bisa jalan?"
Mata Deril mengerjap. Dia tidak menyangka bahwa Dokter Stephen tengah berdiri di hadapannya saat ini. Dokter Stephen mengenakan kemeja abu rapi, seperti biasanya. Aroma obat menguar ketika angin berhembus.
"Ayo! Masuk ke mobil saya!" Dokter Stephen mengamit lengan Deril, membantu Deril untuk berdiri dengan kedua kakinya. "Pelan-pelan!"
Deril menurut saja. Badannya sudah sangat lemas, ditambah rasa panas yang membara, keluar dari setiap bagian tubuhnya. Deril berjalan sempoyongan sampai masuk ke dalam mobil sedan mahal milik Dokter Stephen.
Dia merebahkan kepalanya saat pintu mobil tertutup. Kepalanya pusing luar biasa. Deril harus menahan dirinya agar tidak muntah di dalam mobil Dokter Stephen.
"Kamu nggak apa-apa?" suara kecil dan lembut membuat Deril terlonjak kaget. Mika duduk di bangku depan. Wajah tanpa senyumnya begitu Deril rindukan.
"Kamu apa kabar?" sambar Deril. Dia langsung duduk tegak. Tentu saja dia tidak menyangka bahwa Mika akan ada di sana.
"Aku baik," Mika menjawab singkat. "Kamu sakit?"
"Kayaknya iya," Deril mengusap wajahnya. Penampilannya pasti sangat kacau saat ini.
BRUG!
Suara bagasi ditutup membuat kedua kembali ke posisi semula. Deril melihat Dokter Stephen berjalan memutari mobil untuk kembali ke kursi kemudi. "Saya akan antar kamu ke rumah sakit," kata Dokter Stephen waktu mobil menyala.
"Tidak perlu, Dok! Kita pulang saja," tolak Deril. Dia khawatir orangtuanya akan cemas jika tahu dia ada di rumah sakit saat ini. Deril yakin, dia hanya terserang demam biasa.
Dokter Stephen memutar badannya. "Kamu tidak terlihat baik-baik saja. Andai saya tidak lewat jalan ini, bisa saja kamu sudah pingsan," jawab Dokter Stephen.
Deril tidak punya pilihan lain selain menurut saja. Dia tidak mau membuat masalah untuk kedua kalinya, setelah kekacauan yang dia sebabkan tempo hari. Laju sedan Dokter Stephen terasa lembut, hingga membuatnya mengantuk. Keringat dingin mengalir dari pelipis Deril. Dia kembali merebahkan kepalanya, mencoba membuat dirinya senyaman mungkin.
Mika diam-diam melirik ke belakang beberapa kali. Deril melihatnya. Ada yang aneh dengan sorot mata Mika. Meski wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, Deril tahu bahwa ada sesuatu yang ingin Mika katakan.
Tersadar bahwa kewaspadaannya menurun, Deril langsung duduk kembali. Dia berusaha tidak membuat gerakan mencurigakan dan menarik perhatian Dokter Stephen di bangku kemudi. Deril melihat ke sekeliling mobil. Mengira-ngira skenario terburuk yang akan terjadi, yang mengharuskannya sampai lompat dari dalam mobil jika diperlukan.
Pemandangan di luar jendela tampak asing. Deril belum pernah melewati jalan besar di sekitar desanya. Tidak banyak mobil yang melewati mereka. Jalanan didominasi oleh pengendara motor.
Mobil Dokter Stephen berbelok setelah perempatan lampu merah, memasuki sebuah halaman depan sebuah gedung bertingkat lima dengan lambang rumah sakit di depannya.
Deril bernafas lega karena dia benar-benar dibawa ke rumah sakit. Bertepatan ketika Dokter Stephen memarkir mobilnya, handphone Deril bergetar di sakunya.
Serena menelepon.
"Halo?" sapa Deril.
"Kamu di mana? Diana sudah pulang dari tiga jam lalu, tapi kamu belum sampai rumah? Sebentar lagi waktunya makan malam."
"Aku dibawa ke rumah sakit sama Dokter Stephen, Bu," Deril berusaha terdengar kalem. Serena adalah tipe ibu yang panikan. Pikirannya akan dengan senang hati menjadi negatif ketika mendengar kata 'rumah sakit'.
"Apa? Kenapa? Ada apa? Kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, Bu. Cuma demam. Tapi tadi ketiduran di halte bis. Jadi, demamnya malah naik." Deril melihat Dokter Stephen turun dari kemudi. "Bu, susul aku ke rumah sakit, ya! Aku kirim lokasinya."
"Oke, oke! Ibu ke sana sekarang." Serena langsung mengakhiri telepon.
Deril membuka pintu di sebelahnya, berusaha keluar sendiri. Tapi, seorang laki-laki berseragam security langsung menghampirinya dengan kursi roda.
"Antar dia ke IGD. Minta Dokter Gian menangani. Bilang saja titipan saya," perintah Dokter Stephen pada security yang memapah Deril untuk duduk di kursi rodanya.
Setelah itu, Dokter Stephen ataupun Mika tidak terlihat lagi di sekitar Deril. Dia menduga, Dokter Stephen sudah mengajar Mika untuk pulang. Yah... mana mungkin Dokter Stephen membiarkan dia dekat-dekat dengan Mika lagi.
"Kita akan berikan infus supaya demamnya cepat turun. Sekalian cek darah, ya, Dik," ujar Dokter Gian, seorang dokter umum di IGD yang menerima pesan dari Dokter Stephen.
Deril sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk menjawab. Begitu kepalanya menyentuh bantal, kesadarannya seakan melayang meninggalkan tubuh. Dia merasakan adanya suntikan di tangan kirinya. Saat membuka mata, selang infus sudah terpasang. Dinginnya cairan infus menjalar dari tangannya. Tidak lama kemudian, Deril akhirnya tertidur.
***
"Anak saya kenapa, Dok?"
"Menurut hasil tes darah, pasien Deril positif mengalami demam berdarah. Trombositnya masih di atas seratus, jadi masih bisa rawat jalan. Tapi, saran saya, pasien Deril harus cek darah setiap hari. Kalau trombositnya sudah di bawah seratus, lebih baik rawat inap."
"Saya akan ajak anak saya cek darah setiap hari."
"Kalau bisa, di jam segini lagi, ya, Bu!"
Deril membuka matanya dengan susah payah. Suara Serena membuatnya terbangun. Dia merasakan bajunya yang basah oleh keringat. Deril menoleh ke arah kirinya, di mana dua orang dewasa tengah berbincang.
Deril melihat rambut ibunya yang terikat berantakan. Ibunya pasti buru-buru pergi ke rumah sakit, hingga tidak memperhatikan penampilan. Deril bergerak sedikit, ingin melihat lawan bicara Serena yang terhalangi.
"Hah!?" mata Deril membelalak kaget. Dia merasa tidak asing dengan laki-laki bertubuh tambun yang sedang bicara dengan ibunya.
"Oh, kamu sudah bangun," Serena menghampiri dan duduk di sebelah ranjang Deril. "Gimana? Enakan rasanya?"
Namun Deril terlalu kaget untuk menjawab pertanyaan Serena. Dia memandang laki-laki tambun itu tanpa berkedip sekalipun. Kilasan-kilasan kejadian menjijikkan berkelebat di kepala Deril.
"Dia Dokter Rendi. Spesialis penyakit dalam yang bertugas hari ini. Kebetulan tadi Dokter Rendi belum pulang, jadi Ibu minta sekalian konsultasi."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments