Laki-laki Misterius

Deril masih mengintip Dokter Stephen dan Mika yang terlihat dari jendela. Otaknya tidak berhenti berpikir, ada apa sebenarnya. Meski begitu, Deril tidak bisa pergi ke sana begitu saja dan menerobos masuk. Dia tidak sedekat itu dengan keluarga Dokter Stephen.

Merasa tidak ada yang bisa dia lakukan, Deril memutuskan untuk tetap diam. Matanya mencoba merekam sejelas mungkin momen itu.

Dokter Stephen memainkan piano setidaknya selama lima belas menit. Selama itu pula, Mika tidak bergerak dengan wajah ketakutan. Deril mengambil pensil dan buku sketsanya. Dia mulai menumpahkan momen yang dia ingat di atas buku sketsa.

Lima belas menit kemudian, ketika sketsanya hampir rampung, Deril mulai berpikir untuk apa dia membuat itu. "Merekam ekspresi Mika?" jawabnya pada diri sendiri. "Hahahaha! Sejak kapan aku tertarik sama perempuan?"

Deril meletakkan buku sketsa dan pensilnya. Dia mulai mengambil sapu, lalu membersihkan loteng yang menjadi hak miliknya. Ketika mulai membersihkan, saat itulah Deril sadar bahwa tempat itu lumayan besar.

Tok! Tok! Tok!

"Ya?" Deril menjawab cepat.

Serena muncul ketika pintu terbuka. "Ayahmu sedang menerima paketmu di bawah. Kamu mau lihat?"

Wajah Deril berubah sumringah. "Makasih, Bu!" Deril langsung berlari melewati Serena. Kakinya melangkah buru-buru menuruni sekaligus dua anak tangga. Benar kata Serena, Alex tengah mengecek paket yang baru saja turun dari mobil box pengantar barang.

"Yah, punyaku?" tanya Deril.

Alex mengangguk. "Kamu menghabiskan uang sakumu untuk membeli alat-alat ini?" Alex balik bertanya.

"Iya," Deril menjawab jujur. Dia memang memakai uang sakunya bulan lalu untuk membeli alat lukis yang dia inginkan. Deril rela menahan lapar hingga sore hari selama sebulan demi datangnya hari ini.

"Lain kali, jangan lupa makan. Ayah akan memberikan uang ekstra untuk hobimu." Alex mengacak-acak rambut Deril, kemudian pergi masuk ke dalam rumah.

"Silakan tanda tangan di sini," Pengantar Paket menyodorkan selembar kertas pada Deril. Setelah membubuhkan tanda tangannya, Pengantar Paket langsung berlalu.

"Asyik! Asyik!" Deril berjingkat-jingkat kegirangan. "Malam ini aku mau gambar pakai canvas baru!" Dia memeluk paketnya. Ketika tidak sengaja menoleh ke rumah Mika, ternyata Mika ada di sana. Kepala gadis itu menyembul dari jendela lantai dua. Dia tengah memperhatikan Deril.

Deril mengusap-usap kepalanya. "Apa aku kelihatan konyol?" bisiknya. Pipi Deril sedikit memerah karena malu dengan tingkahnya sendiri. Deril mendongak, memberanikan diri untuk menyapa. Dia tersenyum canggung pada Mika.

Mika membalas senyumannya. Bibirnya bergerak. "Kamu melukis?" tanya Mika tanpa suara.

Deril nyengir dan mengangguk. "Kamu juga?" balas Deril, sama tanpa suara.

Mika mengangguk sekali. Namun, senyumannya menghilang. Dia menatap Deril lurus-lurus. Mereka hanya saling tatap untuk sekian lama.

"Aku masuk, ya?" Deril memutuskan untuk pamit, karena tidak ada tanda-tanda kalau Mika akan mengajaknya ngobrol lagi. Deril mengamit canvas di ketiaknya, lalu kedua tangannya memeluk tiga paket lainnya yang seukuran satu lengannya.

"Bisa bawa sendiri?" tanya Serena saat melihat Deril berjalan melewati dapur.

"Bisa," jawab Deril. Tenaganya sedang terisi penuh karena dia merasa sangat bersemangat setelah paketnya datang. Apalagi, tadi Alex berkata akan memberikan uang ekstra. Lalu, dia juga sempat bertegur sapa dengan Mika.

"Apa aku coba saja ajak Mika melukis bersama, ya?"

***

Deril tidak menyangka bahwa dirinya akan terjebak di sebuah acara arisan bersama wanita-wanita seumuran ibunya. Deril mencoba mengingat kembali, bagaimana dia bisa berakhir di sini.

Awalnya, dia sedang duduk santai di halaman depan. Matahari sore sudah terhalang oleh rumahnya. Deril suka udara sore di tempat itu. Halamannya belum tertata sepenuhnya. Beberapa bunga masih berada di dalam polibag.

Kemudian, di saat Deril tengah menikmati semua itu, Serena datang menghampiri dan meminta Deril mengantarnya ke suatu tempat. Serena yang mengemudi, tentu saja. Deril belum bisa membedakan pedal. Dan di sinilah Deril berakhir. Lima kilometer jauhnya dari rumah. Duduk di sofa sebuah rumah sederhana, diapit ibu-ibu yang tengah ngobrol ke sana ke mari.

"Kalau tahu Nak Deril ikut, saya juga akan bawa anak perempuan saya."

"Kayaknya anak saya lebih cocok."

"Anak saya cuma dua tahun lebih muda dari Deril. Anak saya yang cocok."

"Beda umur terlalu jauh ga cocok, Jeng!"

"Anak gadis saya lagi sekolah di luar negeri. Sama dia aja, ya?"

"Kejauhan, Bu! Saya juga punya anak gadis."

Deril merasa pusing dan mual ketika banyak suara yang telinganya tangkap. Dia melirik pada Serena yang masih asyik berbicara dengan peserta arisan lainnya. Merasa Serena tidak akan menariknya keluar dari masalah ini, Deril langsung pamit tanpa basa-basi. "Maaf, saya mau cari angin di luar." Deril kabur dari hiruk-pikuk pesta arisan di dalam rumah.

Dia berjalan cepat dan pergi ke seberang jalan, di mana mobil Serena terparkir. Deril duduk di pinggir trotoar, sambil menikmati udara malam. Baru saja dia mengosongkan pikiran, Deril mendengar ada pergerakan dari arah kirinya.

"Oh, aku kira nggak ada orang!"

Laki-laki yang datang tampaknya juga kaget dengan kehadiran Deril.

"Mmm, kamu juga nunggu ibumu arisan?" tanyanya.

Deril mengangguk saja. Dia sedang tidak ingin mengobrol dengan siapapun.

Rupanya, laki-laki itu tidak mengerti dengan 'penolakan' halus yang Deril tunjukkan. Dia malah duduk di sebelah Deril tanpa permisi. "Kamu si anak bule yang baru pindah ke desa ini, ya?"

Deril tidak merasa harus menjawab pertanyaan itu. Baginya, itu bukanlah pertanyaan. Siapapun bisa melihat bahwa Deril berdarah campuran. Tidak semua orang Indonesia memiliki rambut asli berwarna pirang dan mata berwarna hijau. Ditambah dengan tinggi badan di atas rata-rata serta berkulit putih pucat.

Terkadang Deril merasa iri dengan penampilan yang Diana miliki. Diana mewarisi rambut hitam kelam milik Serena, meski mata mereka sama-sama berwarna hijau terang. Kulit perempuan yang putih dianggap lumrah di Indonesia, sedangkan laki-laki berkulit putih akan terlalu menarik perhatian. Diana mendapatkan sebagian besar gen Serena, sementara Deril lebih mirip dengan Alex.

"Kata ibuku, kamu pindahnya di sebelah rumah Mika, ya? Kenal?"

"Kenal."

"Apa kamu nggak merasa ada yang aneh?"

Deril menoleh cepat saat laki-laki itu berkata demikian. Laki-laki di sebelahnya mengenakan kaos oblong kebesaran dipadu celana hitam panjang yang sudah kusam. Seakan tidak terpengaruh dengan dinginnya angin malam, dia hanya memakai sandal jepit. Rambutnya bergelombang dan sedikit berantakan. Dia juga memiliki jerawat di pipinya.

"Apanya yang aneh?"

"Mika itu cantik banget."

Deril menghela nafas panjang. Dia sempat berharap bahwa orang ini akan mengatakan sesuatu yang baru. Namun, dia hanya mengatakan kenyataan yang semua orang sudah tahu.

"--kayak operasi plastik."

Alis Deril berkerut. "Hah?"

"Bener, kan? Cantiknya kelewatan! Nggak lumrah!"

"Kamu iri?"

"Nggaklah! Aku, kan, laki-laki!"

Deril tidak melanjutkan percakapan. Percuma baginya. Dia hanya akan membuang-buang waktunya jika bicara dengan orang yang tidak punya nalar.

"Apa kamu tahu kasus anak hilang di desa ini?" tiba-tiba laki-laki itu bertanya.

Deril teringat tentang kasus yang tempo hari dia baca di internet. Sedikitnya, dia tahu cerita itu, namun tidak secara pasti.

"Atau cerita tentang ibunya Mika yang kabur?"

"Nggak tahu," dusta Deril, berharap bisa mendengar lebih mengenai kedua hal itu.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!