Setelah menangis tadi malam, tidak ada lagi yang Zavia ingat. Dia tiba-tiba saja sudah terbangun dengan sepotong kain kecil yang menempel di keningnya. Dia berpikir sejenak seraya menatap benda itu lekat-lekat.
Tidak ada orang lain yang melakukan, pasti Mikhayla. Gaunnya kini sudah berganti dengan piyama, tas dan semua aksesoris yang dia gunakan sudah tersusun rapi di tempatnya.
"Astaga."
Zavia memang terlahir lemah tampaknya. Hanya karena dipeluk Renaga tadi malam, dia sampai sakit. Bukankah seharusnya biasa saja? Atau ini sudah menggambarkan jelas jika kehadiran Renaga hanya akan membuat hidupnya sakit.
Pelan-pelan dia menggerakkan tubuhnya, sungguh rasanya benar-benar tidak nyaman. Belum selesai berpikir demi menenangkan diri, perut Zavia terasa perih.
Lapar, perutnya memang kosong sejak tadi malam. Meski kepalanya masih terasa berat, Zavia tetap melangkah pelan menuju ruang makan. Sudah hampir jam sembilan, Mikhayla benar-benar tidak mengganggu waktu tidurnya.
Seperti biasa, jika pagi-pagi begini kedua orang tuanya akan sibuk dan tidak ada di rumah. Hanya ada asisten rumah tangganya di sini, Zavia yang sudah terlalu lapar segera duduk dan meraih beberapa lembar roti di sana.
Baru saja selesai mengoleskan selai di atasnya, roti itu raib seketika. Sudah biasa Zavia begini, dia tidak akan berteriak meski adiknya sudah menabuh genderang perang di pagi hari.
"Tumben, biasanya marah," sindir Azkara sengaja memancing emosi.
"Capek." Zavia benar-benar lelah, tidak ada keinginan dalam dirinya untuk bertengkar bersama Azkara.
"Oh iya? Padahal baru dipeluk, kalau lebih dari itu mati mungkin ya."
Zavia yang sejak tadi tidak peduli, sontak menatap tajam Azkara. Rasa laparnya mendadak hilang, bibir pucat Zavia ingin sekali memaki sang adik, sayangnya tenaga Zavia bahkan tidak cukup untuk membalas ucapan Azka.
"Bukan begitu, Azka ... dari kemarin aku keliling cari kado buat Cia, terus semalem pulangnya malam."
"Biasanya juga Kakak begadang, tidur cuma beberapa jam dan banyak kegiatan di luar kampus ... tidak sampai panas begini besoknya."
Zavia pasrah saja ketika adiknya menempelkan punggung tangan tanpa perasaan di keningnya. Hendak mengelak dia juga tidak bissa, ucapan Azkara memang benar dan tidak bisa dia jawab secara logika.
"Masih panas ya?"
"Hm, sedikit ... mau ke rumah sakit? Tadi Mama bilang kalau Kakak masih panas, kita berobat lagi saja."
"Tidak, nanti sembuh sendiri."
Azkara hanya mengangguk pelan, tugasnya memastikan Zavia masih bangun pagi ini sudah selesai. Pria itu segera berlalu dengan membawa tas ransel di punggungnya, sedikit berusaha mejadi anak kebanggaan Papa.
Usai sarapan, Zavia berpikir untuk mandi agar tubuhnya sedikit lebih segar. Akan tetapi, baru saja menginjakkan kaki di anak tangga ketiga, bel berbunyi berkali-kali.
Sebenarnya ingin dia abaikan, tapi khawatir jika yang datang memiliki kepentingan mendesak. Terpaksa, Zavia melangkah meski jujur saja dia lelah sekalipun hanya membuka pintu.
"Morning!!"
Betapa terkejutnya Zavia kala melihat Giska membawakan sesuatu untuknya. Tidak sendirian, tapi juga bersama Fabian dan juga Renaga.
Zavia tidak langsung menjawab, dia masih berdiri tanpa mempersilahkan mereka untuk masuk segera. Tampaknya, kehadiran Renaga membuat Zavia sedikit kaku hingga tidak seperti biasa.
"Zavia ... masih panas?"
Sama seperti Azkara yang sedikitpun tidak ada lembut-lembutnya, Fabian juga sama. Usai memastikan suhu tubuh Zavia, pria itu masuk dengan santainya seakan dia pemilik rumah.
"Masuk, Kak ... Giska, bawah buburnya sini."
Melihat sahabatnya diam saja, Fabian mengambil tindakan. Sudah dia duga, akan ada yang berbeda setelah mereka sudah sama-sama dewasa begini.
"Tahu dari mana aku sakit, Gis?"
"Mama kamu tanya kita semalam kemana saja, karena kamu sakit ... terus aku tanya Azka pagi ini kamu masih sakit, jadi aku ajak Fabian dan kak Aga sekalian."
Zavia hanya mengangguk pelan dan tidak mengucapkan apa-apa setelahnya. Didatangi dalam keadaan pucat dan berantakan semacam ini, dia sedikit malu.
Mereka sebenarnya masih sama, bahkan Giska segera menyiapkan bubur ayam yang akan mereka makan berempat pagi ini. Sementara Giska di ruang makan, Fabian sudah asik sendiri di depan televisi.
Di sisi lain Renaga yang merasa bersalah dengan keadaan Zavia memerhatikan wanita itu dari kejauhan. Apa mungkin mobilnya semalam tidak nyaman? Atau mungkin Renaga terlalu lama memeluknya di luar dan Zavia masuk angin. Pikiran-pikiran semacam itu bertebaran di kepala Renaga.
Hingga lamunannya buyar kala Giska duduk di sebelahnya. Renaga mengalihkan pandangan, apalagi saat ini di meja makan hanya ada mereka berdua. Sedangkan Zavia tampaknya tengah merayu Fabian untuk bergabung segera.
"For you, my future husband."
"Giska ...."
Renaga memejamkan matanya, ucapan spontan Giska ketika memberikan bubur itu membuat Renaga serba salah. Dia tidak setega itu membuat Giska berhenti, tapi untuk pagi ini dia tidak bisa.
"Bercanda, Kak ... serius banget," ucap Giska mengangkat kedua jemarinya sebagai permintaan maaf.
"Kita sudah dewasa, jangan terlalu banyak bercanda ... apalagi, jika perasaan yang kamu bawa. Giska paham, 'kan?" tanya Renaga lembut seraya mengacak rambutnya.
Sebenarnya aku tidak bercanda, Renaga.
"Iya, paham." Pada akhirnya dia menjawab berbeda dari apa yang dia pikirkan.
.
.
- To Be Continue -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Borahe 🍉🧡
Azkara adalah Mikhail jilid 2. sm" gila. hahaha
2024-11-22
0
@bimaraZ
kenapa ada novelmu yg terlewat aq baca kak desh....pdhl udah kemana2 baru nemu cerita zavia😊
2024-09-21
1
Hani Ekawati
Tokoh Azkara dinovel Istri rahasia dosen killer jd Sadboy😁 dinovel Hijrah cinta sang pendosa jd pemeran utama 😁
2024-08-06
1